Aku selalu percaya bahwa batik bukan hanya kain. Ia adalah bahasa yang ditulis dengan lilin, dibaca dengan hati, lalu diwariskan lewat generasi. Maka ketika aku berkunjung ke Pameran Batik Situbondo di Paseban, Alun-alun Situbondo, aku merasa seperti pulang. Di balik tiap goresan malam dan warna yang melekat pada kain, tersimpan cerita tentang alam, budaya, dan manusia Situbondo. Batik Situbondo bukan sekadar motif yang indah dipandang, tetapi cermin dari sebuah identitas. Aku kagum bagaimana kain yang mungkin tampak sederhana bisa menjelma jadi simbol kebanggaan, sekaligus pengingat bahwa budaya Situbondo masih berdenyut dengan kuat di tengah arus zaman. Batik Daun Kelor, Filosofi Hidup dari Alam Situbondo Di antara banyak karya yang dipamerkan, ada satu yang paling membuatku terpukau, yautu batik daun kelor. Motif kecil berbentuk oval yang tersusun majemuk ini seolah menyalin kehidupan orang Situbondo, sederhana tetapi kuat. Bukankah kelor dikenal sebagai tanaman seribu manfaat? Maka...
Saat menonton S Line, kemudian aku tahu aku harus menulis review drama Korea ini. Alasannya sederhana, aku kagum bagaimana sebuah drakor viral ini berani membicarakan luka batin, trauma, dan PTSD tanpa harus menjejalkan istilah psikologis secara gamblang. Justru di situlah kekuatannya. Kisah Shin Hyun-Heup (Arin) bukan hanya tentang “melihat garis merah” di atas kepala orang lain, melainkan tentang bagaimana seorang remaja yang hancur berusaha berdamai dengan masa lalunya. Sebagai penonton, aku merasakan perjalanan ini bukan sekadar fantasi misteri. Ada kejujuran pahit yang membuatku berkaca pada luka manusia yang sering disembunyikan. Dan S Line menampilkannya dengan cara yang unik, lewat simbol garis merah yang menghubungkan orang-orang yang pernah terikat secara intim. Dari Trauma Menuju Kekuatan untuk Bangkit Sejak episode pertama, aku langsung dibuat terenyuh melihat kehidupan Shin Hyun-Heup. Gadis SMA ini hidup dengan trauma berat setelah ibunya membunuh ayahnya karena pers...