Suatu ketika saya dihadapkan pada pria separuh baya sedang memukul
kepala kucing dengan keras sambil berteriak. Terkejut, kucing itu sontak
bersembunyi, meringkuk di bawah mobil. Pria berkumis itu bukan siapa-siapa, dan
kucing berwarna hitam dan putih itu juga bukan miliknya. Kucing itu hanya
meminta belas kasihan dengan mengeong tak henti. Kucing itu ketakutan.
sumber : www.sodahead.com |
“Dia berak di dalam (rumah, red ) kemaren, Mas,” sahutnya
tanpa kutanya. Hati kecil saya ingin melempar sepatu ke arah orang itu, tapi
urung. Saya memendam berang, lalu meninggalkan laki-laki itu.
Kejadian itu mengingatkan saya beberapa tahun silam, saat bapak
sedang marah dan menendang anak kucing peliharaan saya hingga terlempar sejauh 2
m. Saya cuma bisa terhenyak dan sedih karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Beberapa hari kemudian, saya mendapati pria berkumis itu
sedang memberi makan kucing yang ia pukul beberapa hari yang lalu. Ia
meletakkan tulang ikan dan kucing itu melahapnya. Kebencian saya mendadak
hilang. Terlebih pria itu sangat rajin bekerja. Dari situ saya kembali teringat
bapak. Bapak saya juga berkumis, rajin bekerja, mampu mendidik saya hingga
sepandai ini, dan ah, saya sudah lama melupakan kebencian kepadanya. Kebaikan
hatinya melebihi kebencian saya. Tidak mungkin saya membenci orang yang
bersusah payah memelihara saya dengan baik. Saya titipan Tuhan dan ayah saya
bersama ibu menjaga dengan cinta. Saya tak pernah lagi membenci bapak dan ibu.
Berbekal kebencian yang sama, saya pernah membenci salah
satu dosen. Dosen itu terkenal killer
dan kebetulan saya berulah. Saya menjadi bahan caci-makinya jika kebetulan
dosen itu mengajar. Mungkin sampai saat ini dosen itu masih menyimpan rasa
tidak sukanya, sebab beberapa kali bertemu pascalulus, saya tersenyum menyapa
tapi tak dianggap sedikit pun. Permintaan pertemanan di media sosial juga tak
diterima. Namun, saya baru mendapat informasi jika dosen itu bermaksud
menyambungkan pertemanan dengan teman saya yang lain. Lagi-lagi saya harus
kecewa dan menyadari bahwa setiap kesalahan yang dilakukan sekecil apapun,
pasti orang lain ingat. Itu menjadi pelajaran buat saya meski sering lalai
berbuat salah.
Saya adalah seorang pembenci dan sulit memberi maaf pada
dasarnya. Namun, waktu dan kesalahan-kesalahan di masa lalu membuat kepala saya
tak lagi idealis dengan prinsip emosi tinggi. Saya sadar kalau manusia memang
tempatnya salah. Kekurangan adalah hak milik manusia. Jika saya terus-menerus
bergelut dan resah dengan kebencian-kebencian itu, bagaimana saya bisa
menjalani hidup untuk bahagia? Kalau di suatu kesempatan saya tampak berkata
jahat, mungkin itu wujud kekecewaan saya, ya mungkin memang sedang kesal.
Setiap orang berhak marah tapi tidak punya hak untuk membenci seumur hidup.
Sebenarnya, dalam hidup itu tak pernah ada alasan untuk
membenci meski sampai saat ini juga saya masih membenci—memaafkan—membenci—memaafkan—membenci
(lagi) beberapa golongan. Namun, selalu ada cara untuk memaafkan. Selalu ada
celah untuk menerima kekurangan orang lain. Kebencian memang menyenangkan untuk
diungkit, tetapi itu tidak membersihkan jiwa. Fokus manusia seharusnya pada
kelebihan orang lain, bukan pada kekurangannya. Ah, nampaknya saya sedang
menasehati diri sendiri. (Uwan Urwan)
Comments