Jakarta itu kota plural. Semua orang dari berbagai suku, daerah, bahkan negara tinggal di sana. Jakarta ya ibukota negara saya, Indonesia. Isi di dalamnya penuh sesak dengan manusia, kendaraan, rumah, gedung perkantoran, pedagang kaki lima, dan macam-macam. Macet selalu menjadi keluhan utama jika tinggal di sana. Waktu pun seolah hanya mainan. Tak ada yang bisa mengendalikan apa yang terjadi di sana. Untunglah pada saat menulis ini, saya tidak sedang di Jakarta dalam jangka waktu cukup lama. Saya sedang menikmati indahnya kampung halaman, menjadi anak hits di kampung (setelah sekian lama berkiprah jadi artis ibukota. Hahaha...)
Entah apa magnet utama yang membuat Jakarta selalu dirindukan. Yang jelas siapapun yang pernah ke sana kebanyakan ingin kembali lagi. Tidak peduli Jakarta akan semakin sesak dan macet dengan pertambahan penduduk yang tak terkendali. Segala macam bisnis bersaing, baik sehat atau tidak. Eh, tapi saya tidak akan membahas Jakarta lo ya.
Budaya ber-elu gue
Pernah merasa kikuk saat seseorang tiba-tiba kalau ngobrol pakai "aku kamu"? Atau tiba-tiba meleleh sampai tidak bisa tidur? Hm, sayangnya saya belum pernah mengalami itu. Begini, saya lahir di Situbondo. Di sana, lingkungan lebih terbiasa menggunakan kata "saya kamu". Kalau ada orang yang bilang "aku kamu" itu tidak jadi masalah, hanya sedikit berbeda dibandingkan yang lain.
Lulus sekolah saya hijrah ke Kota Malang untuk melanjutkan studi. Saya masih bertahan menggunakan "saya kamu" sampai akhirnya tidak sadar ber-"aku kamu". Bahkan logat saya pun berubah. Saat pulang ke Situbondo, saya kadang tertawa mendengar logat teman-teman. Mungkin begitulah cara saya dulu berbicara. Tak ada niat untuk itu. Teman-teman tidak mempermasalahkan itu juga.
Setelah studi di Malang usai, kembali saya hijrah ke Jakarta. Selama setahun bekerja di sebuah perusahaan yang notabene isinya tidak benar-benar orang Jakarta, saya masih aman untuk menggunakan "aku kamu" atau "saya kamu". Meski Jakarta sangat kental dengan "lo gue", saya tak terpengaruh. Untuk orang yang lebih tua saya pakai "saya" dan untuk yang sebaya ya "aku kamu" mau jenis kelaminnya apapun. Teman-teman pun mayoritas pakai "aku kamu". Tak dapat dipungkiri saya pernah ber-elu gue untuk percakapan di media sosial dan di kehidupan nyata sih.
Kemudian pindah bekerja ke perusahaan lain, penggunaan "aku kamu" menjadi masalah cukup serius. Mayoritas teman-teman sudah ber-"lo gue" dan waktu itu saya sudah berkomunitas yang beberapa dari mereka juga ber-"lo gue". Beberapa teman komplain, "Hih, kenapa sih lo pake 'aku kamu' sama cowok?" Saya hanya bengong dan menimpali, "Memangnya kenapa?" Lagian ber-"aku kamu"nya ke semua orang, bukan hanya sama cowok. Beberapa kali dikomplain begitu, saya masih kekeuh untuk ber"aku kamu". Penggunaan "lo gue" masih belum bisa saya pakai sampai sekarang.
Sebenarnya saya pernah diskusi dengan teman tentang itu di sebuah meja bundar kantin, saat hujan, dan kami berempat kelaparan. Akhirnya kami memutuskan makan mi instan di kantin.
"Gue elu kan sebenarnya bahasa daerah. Malah aku jijik sama cowok yang kalo ngomong sebut namanya, tapi kan itu budaya. Jadi mau gimana lagi?" kata Mawar disertai tawa membahana.
"Malah aku dimarahi kalo di rumah ngomong gue elu," timpal Y.
"Ya gak apa-apa kali kamu ngomong aku kamu. Kamu kan dari Jawa. Kita mah maklum aja," sahut Z.
Pernah juga membahas masalah ini dengan teman spesial, halah teman spesial. "Emangnya di kantor kamu ngomong elu gue?"
"Iya. Kalo di rumah sih enggak. Lagian kamu kan memang ngomong aku kamu. Beberapa teman sih gitu. Dia berubah ngomong aku kamu karena ada rasa atau mau pedekate."
Beberapa kali juga saya menemukan kasus teman yang datang dari kampung memaksakan diri untuk ber-"elu gue". Apakah masalah besar? Kadang jadi masalah sih karena cara mereka berbicara itu tidak alami. Sama seperti saat saya mencoba ber"elu gue". Bukannya malah dianggap wajar, tapi ditertawakan. Haha...
Apa harus ber-elu gue?
Nah yang jadi pertanyaan, apakah semua orang yang datang ke Jakarta harus ber"elu gue"? Saya sih akan bilang tidak. Jakarta itu kota dengan ragam corak, budaya, bahasa, dan keyakinan. Harusnya tidak mempersempit ruang gerak orang-orang di dalamnya. Bukannya lebih bebas ya? Terserah orang-orang di dalamnya mau ber-aku kamu, elu gue, saya kamu, beta kamu, daku dikau, atau you and I. Bukan menjadi masalah besar, bukan?
Sebenarnya yang saya bahas juga bukan masalah besar, toh sebagian besar teman-teman saya tidak mempersoalkan itu. Hanya saja untuk kelompok-kelompok tertentu, masalah ini jadi besar karena berhubungan dengan tingkat kebaperan lawan jenis atau sesama jenis. Saya jadi berpikir, apakah perempuan-perempuan/laki-laki yang seringkali baper adalah mereka yang terlalu luluh jika seseorang mulai ber-aku kamu, padahal hal yang sama juga dilakukan kepada orang lain?
Jadi agak dilema akhirnya ya? Cuma saya jadi punya tips buat kamu yang baru datang ke Jakarta dan kikuk saat dipaksa keadaan untuk ber-elu gue
1. Kudu punya prinsip.
Kalau tidak suka dengan budaya ber-elu gue, jangan dilakukan. Bolehlah sekali-kali ber-elu gue dengan teman dekat, tapi tetap hati-hati. Beberapa orang punya prinsip bahwa ber-elu gue itu tidak sopan.
2. Ikuti kata hati.
Tidak ada salahnya sih ber-elu gue dengan teman-teman. Toh biasanya itu dilakukan untuk semakin mengakrabkan diri. Sama halnya saat orang-orang si Surabaya yang memanggil temannya dengan sebutan, "Cuk".
3. Bawa nama daerah
Menurut saya malah kita harus tunjukkan dari mana kita berasal. Meski saya tidak tahu banyak budaya, asal mulanya, dan hal lain tentang Situbondo, minimal saya selalu menyebut Situbondo dalam setiap kesempatan. Tujuannya untuk mengenalkan dong sekaligus mendekatkan orang-orang yang sedaerah. Hehe.. Teman-teman saya sekarang cukup familiar dengan Situbondo meski belum pernah travelling sih. Ya soalnya sebelum-sebelum ini banyak yang tidak tahu Situbondo. Lumayanlah saya promosikan kota kelahiran. Wkwkwk.
Nah apalagi buat kamu yang sangat khas menyebut kata aku dengan "beta". Mungkin akan terdengar asing, tapi jika dibiasakan, orang akan tertarik bahkan mungkin meniru.
Lalu bagaimana buat orang Jakarta yang terlanjur baper karena di-aku kamu-in? Nah ini sebenarnya yang bikin heran. Sebelum baper, sebaiknya mereka tahu dari mana mereka berasal. Sangat jarang saya temui orang Jakarta asli di sana. Kebanyakan pendatang yang akhirnya ber-elu gue.
Sebaiknya kamu juga perlu tahu bahwa kata aku, saya, dan kamu itu Bahasa Indonesia baku. Meski beberapa orang memang punya modus ber-aku kamu setelah sekian lama ber-elu gue, tapi sebaiknya tidak diumumkan. Aku juga punya tips buat kamu yang sudah kental dengan elu-gue-nya
1. Jangan mudah baper atau ge-er.
Beberapa orang ber-aku kamu memang sudah jadi kebiasaan dan tidak bisa diubah lagi. Jangan langsung di-judge kalau dia naksir kamu. Perhatikan apakah orang itu juga ber-aku kamu pada orang lain atau tidak. Kalau iya, kebaperanmu harus segera dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat... (loh).
2. Stay calm
Jangan merasa geli kalau ada teman yang ber-aku kamu. Sadarlah bahwa kamu tinggal di Indonesia dan setiap orang berhak menggunakan kata apapun. Mau dia pakai bahasa daerah atau bahasa baku.
3. Bertanya langsung
Kalau kamu khawatir dengan seseorang yang tiba-tiba mengubah bahasanya jadi aku kamu, baiknya tanya langsung. Kalau kamu menaruh hati padanya dan dia pun merasakan hal yang sama, bukankah itu bagus? Terlalu lama memberi sinyal dan menerima sinyal aneh itu tidak baik. Lebih baik blak-blakan. Kalau tidak suka sebaiknya putuskan apa yang terbaik buat dua belah pihak.
Jadi, masih mau ber-elu gue atau ber-aku kamu? Pilihan tiap orang berbeda, setidaknya kalau memang suka seseorang, langsung ungkapkan daripada bermain sandi. Zamannya sudah berubah mas mbak. Hanya pramuka yang pakai sandi. Wkwkwk. (Uwan Urwan)
Comments
:D
tapi ndak apa-apa, dicoba saja..