Cinta
itu ibarat buah cabai. Merah, menggoda, dan menarik. Dalam teori apapun
warna merah adalah lambang hasrat dan cinta. Sama seperti buah cabai
merah. Penampilannya saja membuat bibir kelu, ketika empat pasang seri
memotong, biji-biji terlepas. Lidah menekan dan menarik biji-biji itu
dengan gaya adesif yang disebabkan karena ludah. Bukan bacin!
Cabai! Lihat saja bentuknya yang langsing. Dialah wanita. Cabai itu wanita penggoda. Dia akan menggoda mulai dari mata sampai birahi. Pantas saja bibir gincu merah lebih disukai perempuan. Suaminya akan menggigit hingga biji-biji keluar. Sementara lidah punya gaya magnet sehingga saling berlekatan dengan biji-biji itu. Beberapa detik kemudian saraf terjaga karena rasanya. Menggelegar.
Ah, saya baru tahu kalau ada rasa ketujuh, ‘menggelegar’. Bukan petir menyambar. Namun, rasakan saja cabai pedas. Pedasnya super pedas. Apalagi cabai keriting yang menggeliat itu. Pedasnya akan membahana di seluruh ruang otak. Semua organ akan terangsang dan terjaga.
Sebenarnya saya ingin mengatakan apa sih? Cabai atau perempuan? Atau wanita? Apakah analogi saya terlalu vulgar? Sensor saja kalau vulgar. Toh, saya tidak akan melakukannya. Saya sudah muak dengan cabai atau cinta atau atau atau atau tetek bengeknya.
Cinta itu tahi kucing bagiku.
Saya menyesal pernah mencintai dan masih ingin mencintai. Bahkan sampai saat ini sedang mencintai seseorang. Dia bukan perempuan. Dia bukan laki-laki. Dia bukan… Dia bukan manusia. Binatang? Salah besar. Dia juga bukan hewan. Siapa? Kamu bertanya siapa?
<Bodoh, jelas-jelas kamu mengatakan seseorang!>
Iya, saya tahu. Saya menyerah. Dia manusia.sama sepertimu. Tahu kan bagaimana rasanya jatuh cinta?
<Aku sudah pernah mengatakan padamu sebelumnya>
Iya, saya tahu. Namun, ini beda. Saya mencintainya tapi saya takut. Saya takut kalau cinta saya ini hanya sebatas cinta. Katamu cinta rela berkorban, cinta itu tulus, cinta itu indah, dan cinta itu bahagia. Iya kan?
<.Memang. Lantas, apa masalahmu? Kamu tidak tulus? Kamu tidak bisa berkorban? Kamu tidak bahagia? Bohong!>
Saya tidak bisa mencintai lagi. Saya tersiksa dengan cinta. Saya tidak bisa! Jatuh cinta membuat saya sulit tidur, sulit bernapas, sulit konsentrasi dengan pekerjaan, dan sulit menyuapkan nasi ke dalam mulut. Hidup saya menjadi berantakan. Belum lagi, teman-teman menganggap saya gila karena sering tersenyum sendiri. Bukankah pantas kalau saya mengatakan kalau cinta itu tahi kucing. Sekali tahi menempel di meja, baunya akan menyengat kemana-mana.
<Tapi aku setuju dengan perandaianmu tentang cinta dan cabai. Itu sebuah metafora yang… entahlah, mungkin terasa menjijikkan tapi memang begitu kenyataannya.>
Ah, kau sama sekali tidak membantu.
<Kalau begitu tidak perlu mencintainya.>
Tidak bisa. Saya harus mencintainya. Kalau tidak, saya akan lebih gila lagi.
<Saranku, lebih baik kamu periksakan diri ke dokter jiwa.>
Saya tidak gila! Maksudmu apa?
<Ah, baru tiga detik yang lalu kamu mengatakan gila. Gila karena cinta memang wajar. Apa salahnya?>
Tetap saja salah. Saya merasa nista dengan cinta. Saya tidak ingin mencintai tapi saya butuh kasih sayang.
<Memangnya, siapa orang itu?>
Kamu.
Uwan Urwan
Surabaya, 27 Mei 2013 (23:18)
Comments