Instrumen Damai
Bersamaku oleh Erwin Gutawa mengalun sendu di balik telingaku. Suara piano yang
tergesek
lembut menghembuskan angin sambil menyapu pipi. Bunga-bunga berguguran di bawah
pepohonan. Aku berlarian seperti Syahrukh Khan di film-film Bollywood, mengejar layangan yang putus sambil tersenyum pada
dunia. Semua adeganku terjadi cukup lambat menyesuaikan alunan biola yang
bergesek. Semakin lama musik itu semakin cepat. Membuat tubuhku berputar-putar
seperti di adegan Titanic ketika Kate dan Leonardo berputar-putar di sebuah
pesta. Putaran tubuhku juga semakin cepat. Cepat dan GUBRAK. Aku jatuh.
Matahari
menusuk mata yang terpejam, memaksa untuk membukanya. Tangan-tangannya
mencongkel kelopak mata dan akhirnya dia berhasil membuka mataku. Kejadian tadi
benar-benar membuatku pusing. Mimpi jenis apa tadi? Kepalaku seperti batok
kelapa yang dipukul berkali-kali ke batu agar pecah. Arggh. Sudah siang
ternyata. Apa? Belum sholat Subuh? Aku melirik jam weker yang tak jauh dari
tempat tidurku. Sudah jam tujuh? Ah, ibu pasti lupa lagi membangunkanku. Sial. Sambil menggosok-gosok mata, aku melihat kalender bergambar kyai terkemuka
di kotaku dan mataku fokus pada hari Senin. Mampus
presentasi, cuk.
<Flashback>
Senin, ruang kuliah
B.S.23
“….
Masing-masing kelompok 5 orang berdasarkan nomer urut absen. Minggu depan
presentasi kelompok satu dan delapan. Baiklah saudara, saya akhiri kuliah hari
ini. Persiapkan presentasinya dengan baik. Materinya nanti silahkan dilihat di
Mading, sudah Ibu tempel tadi pagi. Dan diusahakan masing-masing anak
berpartisipasi mengerjakan makalahnya. Oke. Assalamualaikum.” Serentak
mahasiswa yang berada satu ruangan denganku membalas salam.
Langkah
sepatu kulit berderap menuju pintu keluar. Suaranya mirip kuda ketika berlari.
Itu tandanya dosenku telah bosan mengajar, padahal masih kurang 30 menit lagi waktu kuliah usai. Tapi, kami senang-senang
saja. Karena kami bisa pulang cepat atau mengisi waktu kosong kami dengan
apapun yang kami
mau. Kalau aku sih, tepat 20 menit lagi harus berkumpul di depan basecamp EM
(Eksekutif Mahasiswa), ada orasi lagi di gedung DPR. Aku sebagai orang penting harus ikut. Menurutku sih, perlu
untuk memperjuangkan nasib bangsa dengan cara seperti ini. Walaupun aku juga kurang yakin dengan hasilnya.
Teman-teman
masih belum beranjak juga keluar ruangan sementara aku sudah tidak betah.
Sebagian besar melihat absensi untuk melihat daftar nama dan pembagian
kelompok. Sebagian lagi lebih memilih untuk bergosip, sebagian sibuk dengan
laptopnya, sebagian lagi duduk di kursi tanpa aku tahu kenapa mereka betah di
sana.
Aku
sudah hafal sekali urutan absen dan siapa saja kelompokku.
Dan aku sudah pasti
kelompok satu karena namaku ada di deretan nomer tiga. Dan aku pasti satu
kelompok dengan Betharina, Hiandra, Solipah, dan Indra. Membosankan sekali.
Tanpa banyak bicara, aku letakkan ransel di punggung dan beranjak mengikuti
jejak Bu Darsih yang sudah tiga menit yang lalu pergi. Tiga meter lagi aku
sampai di pintu, tiba-tiba terdengar suara Betha memanggilku. Dengan malas aku
menoleh.
“Mau
kemana? Kita diskusi dulu sebentar.” Wajahnya yang sok berwibawa membuatku
sedikit mual
“Ke
EM. Hm… Lama gak?”
“Bentar.”
Aku gak yakin. Betha dengan segala ocehannya yang menggurui dan teman-teman
sekelompokku yang lain berjiwa skeptis membuat diskusi yang dibilang sebentar
bisa jadi satu jam atau bahkan lebih.
“Ini
ngapain?” Solipah dengan dandanan awut-awutan datang nyeletuk, “Cuma pembagian
tugas kan?.
Ya udah sekarang saja. Aku bentar lagi ada acara nih.”
5
menit kemudian, diskusi selesai. Tugasku membuat slide presentasi dan abstrak.
Pekerjaan yang ringan. Seperti biasa, teman-teman kurang mempercayaiku untuk
memberikan tugas di bagian pembahasan atau tugas yang lebih berat lagi. Aku
sering mendengar mereka berbicara tentang diriku dari sahabatku. Katanya aku
cerobohlah, pelupalah, tidak bertanggungjawablah, egoislah, pekerjaanku gak
becuslah, dan masih banyak lagi komentar negatif yang mungkin tidak perlu aku
sebutkan. Terlalu menyakitkan kalau diingat.
<Flashback
end>
Saraf
berkontraksi tiba-tiba dan tubuhku bangun dari ketidaksadaran dan langsung
meraih handuk. Aku berlari menuju kamar mandi. Telat! Baru menginjak keluar
dari kamar, aku terpeleset kaset “welcome” dan membentur meja. GUBRAK.
“Auw…Innalillah.
” Kakiku terjepit kaki meja.
Dari
dapur suara ibu menggema, “Ada apa, Dit? Pagi-pagi sudah berisik?”
Akhirnya
aku terbebas dari meja sialan itu. Aku berdiri dengan kaki kiri ngilu. Kupasang
kuda-kuda sambil mengepalkan tinju dan mengarahkan serangan kepada meja itu.
Ciaaaat… Meja sialan. Karena meja itu
hanya diam dengan innocent, aku
membiarkan dia tetap tegar di sana. Awas
lain kali melukaiku lagi, ancamku.
“Ah,
ibu tidak membangunkan aku lagi.” Aku mempercepat jalanku yang tertatih-tatih
menuju kamar mandi. Ibu hanya menatapku dan aku
berlalu di sampingnya.
“Sudah
bukan anak kecil lagi. Ibu rasa kamu harus mandiri tanpa menggantungkan hidup
pada orang lain. Lihat tuh kucingmu. Baru beberapa bulan melahirkan, sudah
mengandung lagi. Toh, anak-anaknya bisa hidup mandiri. Gak seperti kamu uang
minta terus ke orangtua buat outbond lah, inilah itulah, mbok ya kuliah yang
bener. Malah ikut-ikut organisasi yang gak karuan, demo mengkritik
Pemerintahan, kayak yang demo itu bener-bener bantu Negara saja. Ngabisin duit
iya. Buang-buang tenaga iya. Lagipula hari ini
libur kan?”
Ibu
selalu mengomel setiap hari, baik pagi, siang, sore bahkan malam juga. Tidak
bosan-bosan ia mengatakan bahwa organisasi yang aku ikuti itu buang-buang uang,
tidak berguna untuk dunia kerja dan bla…bla…bla… Study Oriented banget. Ibu lebih suka kalau anaknya jadi pinter,
tapi cupu kalo masalah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. “Libur
apaan? Sekarang Radit ada presentasi kuliah. Lagipula Radit masih rajin kuliah. IP juga gak jelek-jelek amat.”
“IP
dua koma kok dibangga-banggakan. Perusahaan besar sekarang dibutuhkan IP
minimal tiga. Kalo dua koma mending bapakmu beliin becak buat kamu. Ngangkut
dagangan ibu ke pasar.”
“Ah,
ibu. Selalu seperti itu.” Aku mulai membuka helai demi helai kain yang melekat
di tubuhku dengan cepat.
<Flashback>
Selasa
[New
text message from Betha]
Teman-teman,
besok kita kumpul ya sore di kampus. Diskusi presentasi kita. Tadi aku kirim
tiga jurnal ke email kalian. Cek ya.
To
: Betha
Sori,
Ta. Besok aku gak bisa ikutan. Persiapan acara Olimpiade di BEM buat minggu
depan nih
Status
: Delivered
From
: Betha
Oke.
Inget omongane Bu Darsih ya.
Status
: Replied
<Flashback
end>
Aku
melihat bak mandi? Kosong? Aku membuka kran air. Mati? “Kok airnya habis?” aku
berteriak agar ibu yang di dapur mendengar.
“Oh
iya Ibu lupa. Bak mandinya ibu kuras. Air ledengnya ibu matiin. Kamu mandi di
luar saja.”
“Kenapa
gak bilang dari tadi. Tahu gitu Radit kan gak ke kamar mandi. Udah telat banget
nih aku.” Aku melilitkan handuk ke tubuhku, ada bagian yang menonjol.
Aku
berlari menuju sumur yang terletak di samping rumah melewati ibu yang sedang
menggoreng tempe. “Mangkanya tidur jangan kayak kebo. Gak malu sama ayam?
Pagi-pagi udah berkokok, eh masak kamu masih ngileran di bantal. Jadi manusia
ya mbok punya rasa malulah pada alam.”
“Aduh,
bukannya dibantuin malah diceramahin.” Aku mulai menimba air dan menariknya
dengan tali sumur. Sesekali memperhatikan daerah sekitar takutnya ketika aku
berdiri dengan bertelanjang seperti ini orang-orang tanpa sengaja lewat,
terpesona melihat tubuhku yang enam pack
ini. Maklumlah, sumur ini kadang dipake tetangga-tetangga juga. Kusiramkan air
dengan mesra mulai dari ujung rambut hingga pangkal kakiku. Seger.
Aku
menikmati setiap guyuran air yang tersebar di tubuhku. Aku membayangkan diriku
seperti Christian Sugiono ketika ia mandi dengan sabun yang ia promosikan di
tivi. Kalau di iklan itu dia pake shower, aku pake timba sumur. Tapi sensasinya
gak beda jauh. Usai mandi, aku berakting seperti Dian Sastro di iklan shampoonya.
“Karena kita begitu berharga.” Ups, bu RT yang lewat di gang rumahku, yang
memang tak jauh dari sumur tempat aku mandi, tiba-tiba menatapku sambil
menyunggingkan senyum dipaksakan ke arahku dan beliau melanjutkan perjalanan ke
barat. Mampus. Dengan bodoh aku
lilitkan handuk di perutku dan berlari masuk ke dalam rumahku menuju ruang tengah
dan aku mengeringkan tubuh secepat mungkin.
<Flashback>
Kamis
[SMS
Mode]
Send
to many : Betha, Indra, Solipah, Hiandra
Teman-teman,
gimana presentasi kita?
Status
: Delivered
Tak
ada balasan
<Flashback
end>
“Sial.” Tanpa disadari ibu muncul di depanku.
“Siapa
yang sial?”
“Bu
RT ngeliatin aku mandi.” Ibu tertawa.
“Astagfirullah,
Le-Le.Ibu RT sudah tua. Sudah gak ada napsu lagi sama brondong. Ada-ada saja.
“Ibu berlalu menuju dapur kembali. Bau masakan ibu menari-nari di hidungku.
Membuat aku lupa apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku menuju dapur dengan
lilitan handuk di tubuhku. Aku melihat tempe yang digoreng ibu tadi. Aku comot
satu dan kulahap dengan syahdu.
“Le,
ibu kok jadi kepikiran ya? Apa mungkin ya? Masak Bu RT suka sama anak ibu?”
Tanya ibu tiba-tiba, namun ia tetap mengaduk-aduk wajan dengan bermacam-macam
sayuran di dalamnya. Sekarang giliran aku yang tertawa.
“Ibu,
ibu. Kok mikirnya aneh-aneh to? Ibu RT sudah tua kan?” Kataku sambil mengunyah
tempe kedua.
“Kan
ibu jadi takut. Pak RT deket banget sama bapakmu? Jangan-jangan!”
“Tuh
kan, mulai deh. Hubungannya dengan Pak RT apa terus? Tadi Radit bertingkah aneh
di luar pas berdiri telanjang. Eh, pas kebetulan Bu RT lewat. Radit malu
mangkanya langsung lari ke dalam. Bu, Radit lapar, cepet dikit dunk. Radit mau
ngampus nih?” Mengucapkan kata ‘kampus’ membuat aku teringat sesuatu. Mampus,
telat. Presentasi lagi. Materinya apa ya? Waduh, kacau. Aku berlari menuju
kamarku sebelum ibu mengatakan sesuatu.
Belum
sempat aku masuk ke kamar, aku tergelincir kembali di keset ‘welcome’ yang sama
seperti tadi. GUBRAK. Aku menerobos meja dan sekarang giliran kaki kananku yang
bertubrukan
dengan kaki meja itu. Sial-sial.
Meja
sialan. Sudah kubilang jangan melukaiku lagi. Aku benar-benar marah. Dan aku
menghantamnya dengan keras. BUG.
“Auw..
“ Tanganku sakit melilit
“Pelan-pelan
dong. Grusak-grusuk aja dari tadi.” Teriak ibu
Aku
tidak mempedulikan rasa sakit yang menimpa tanganku dan dengan kekuatan
super-nya Power Rangers, aku berubah
dalam sekejap dari laki-laki yang hanya berhanduk ria menjadi mahasiswa tampan,
gagah, manis, dan bikin kangen. Colonge
yang aku beli di swalayan terdekat sudah aku semprotkan ke seluruh badan dan
baju. Aromanya pasti menggoda setiap wanita. Siap untuk berangkat.
<Flashback>
Jum’at
Aku
melihat Indra keluar dari kantin perpustakaan kampus. Dengan tergesa-gesa aku
mendatangi dan memanggilnya. “Indra! Indra! Indra! INDRAA!” panggilan keempat
dia baru menoleh.
“Hei,
Dit. Ada apa?
“Makalah
presentasi kita gimana?” napasku saling berburu
Keningnya
berkerut. “Aku juga gak tahu. “ Bibirnya terkembang dan terkekeh-kekeh.
“Katanya sih cewek-ceweknya yang garap. Aku kan cuma bagian penutup. Tinggal
nunggu hasil dari mereka aja.”
“Iya
juga sih. Ya sudah aku pergi kalo gitu.”
“Oke.
Mau kemana Dit?”
“EM.”
“Wah,
sibuk terus rupanya. Gak pernah keliatan di kampus.”
“Iya
nih. Hampir tiap hari demo di gedung DPR.”
“Semangat!
Iya, aku liat kamu di TV. Keren.”
Itu pujian atau ledekan?
<Flashback
end>
Aku meraih tas ransel cokelat dan mengambil sepatu abu-abu
merk ternama di rak dan tergesa-gesa menuju garasi. Dan aku melupakan kunci
motor yang aku letakkan di meja belajarku semalam. Mesti. Dengan kecepatan emas aku kembali menuju kamar dan mengambil
kunci motor dengan gantungan boneka Nightmare
Before Chrismast. Aku melirik arloji. 5
menit lagi masuk. Dengan cepat aku keluarkan motor Harley.
Motornya
jauh lebih berat dari biasanya. Rasanya ada yang tidak beres nih. Sesampainya
di luar aku memperhatikan ban. Waduh, kempes lagi. Mampus bener. Mana materinya
gak jelas. Kelompok-an juga gak jelas. Byuh!
<Flashback>
Sabtu
pagi
[SMS
Mode]
Send
to many : Betha, Indra, Solipah, Hiandra
Teman-teman,
kapan kumpul? Presentasinya gimana?
Status
: Delivered
From
: Indra
Gak
tahu. Aku juga belum apa-apa kok. Coba tanya Betha
Status
: Replied
From
: Hiandra
Katanya
Minggu sore kumpul. Gak tahu lagi. Tanya Betha aja
Status
: Replied
From
: Solipah
Biar
Betha aja yang presentasi sendiri!
Status
: Replied
To:
Solipah
Kok
gitu?
Status
: Delivered
From
: Solipah
Tanya
aja dia! Hari Senin kita bolos saja.
Status
: Replied
Aku
bingung. Maksudnya?
<Flashback
end>
Pasti
mereka sudah muring-muring gara-gara aku gak datang. Mau bolos, tapi gak ah.
Apapun yang terjadi aku tidak akan bolos. Hadapi semuanya tanpa rasa takut.
Kalaupun dimarahi berakting sedih biar anak-anak dan Bu
Darsih gak tega. Baik, aku pake motor bapak saja.
“Bu,
aku pake motor Bapak ya? Motorku bocor nih. Aku buru-buru.”
Aku sedikit berteriak
Beberapa
detik kemudian ibu keluar dan mendekatiku. Wajahnya lebih serius. “Motor
Bapakmu ini mau dipake nanti siang. Ada janji sama klien katanya. Kalo kamu
pake nanti Bapakmu marah-marah. Tahu sendiri Bapakmu seperti apa?”
“Ah,
terus aku naek apaan? Udah telat nih. Anak-anak pasti udah presentasi. Masak
aku gak masuk?”
“Ah,
sudah besar kok masih saja manja. Urus hidupu sendiri. Lagian suruh sapa tuh
motor dipinjemi temenmu dibawa keluar kota kemarin. Motor dipinjemi, orangnya
lagi asyik demo. Demo buat apa? Mana hasilnya? Sudah bisa merubah Negara belum?
Mahasiswa kok senengnya eksis di tivi. Apa gak kamu pikir, Bapak dan Ibumu ini
malu liat kamu selalu nongol di tivi dengan idealisme yang A-B-C-D-E? Apa kata
tetangga? Kreatif dikit dong. Kerja bakti sepanjang jalan kek, bakti sosial di
tempat kumuh kek, atau minimal ya bantu-bantu ibulah di rumah. Itu lebih baik daripada
buang-buang kertas, ato baliho, ato poster, ato aksesoris yang dipake saat
berdemo. Kalo 10 mahasiswa di masing-masing universitas di Indonesia berdemo,
membawa sampah dan kebisingan, coba bayangkan berapa polusi yang ditimbulkan
oleh mereka? Belum macet gara-gara ulah kalian. Sudah dipikir belum? Katanya
mahasiswa tapi kok gak memperhatikan lingkungan.”
“Aduh,
Bu. Radit ini sekarang telat. Malah diceramahin lagi. Ceramah Ibu selalu gak
fokus. Bisa melebar kemana-mana. Presentasi ini, presentasi ini. Kalo gak masuk
nanti gak dapet nilai.”
“Halah
alesan terus. Mana ada hari Minggu gini kuliah? Udah pinter ya bohongi Ibu.
Sudah, ini Ibu kasih duit, belikan cabe di Mak Betet dulu sebelum kamu
berangkat. Naek angkot saja. Ibu gak mau tahu. Mau kamu telat presentasi, mau
dimarahi, mau gak dapet nilai, terserah kamu to. Sudah besar. Sudah bisa
berpikir. Sekali-kali bantuin ibu jangan demo terus. Punya anak kok gak bisa
diandalkan kalo di rumah. Keluyuran terus….” Ibu berlalu masuk ke dalam rumah
sambil mengomel. Omelannya masih terngiang-ngaing dan semakin lama semakin
mengecil volumenya.
Kulihat
kalender di ponselku. “Hah? Minggu? Kenapa gak bilang dari tadi?”
Aku langsung lemas. Tiba-tiba hapeku bergetar.
[New
text message from Betha]
Teman-teman,
makalah dan slidenya sudah selesai. Ngumpul ntar sore ya di kosku.
Haistt.
Uwan Urwan
Malang - Situbondo, 28-29 Oktober 2011
Revisi,
20 November 2011
Comments