Sebenarnya tidak berniat untuk narsis. Tapi lebih untuk memuji seorang karya penyair Indonesia. Mungkin saya tidak tahu banyak tentang sosok Afrizal Malna. Dia hanya seorang penyair menurut saya. Itu pemikiran saya sebelum menemukan sebuah buku bersampul kain batik. Kontras dengan buku-buku lain yang hanya terbungkus kertas tebal mengilap dengan font judul besar-besar. Justru keberadaan satu kumpulan puisi salah satu penyair besar itu yang menarik perhatian saya. (Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2007-2008>>>>lupa tepatnya).
Luar biasa. Itu sebuah kumpulan puisi berjudul "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Saya dulu memang hobi menulis puisi. Tercatat lebih dari 100 puisi yang saya tulis dan belum dipublikasikan Haha... puisi-puisi saya standar, mungkin. Beberapa kali ditolak penerbit. Saya menduga, prospek buku kumpulan puisi di Indoenesia sangat rendah dan saya mengirimkan ke penerbit yang salah. Sehingga seringkali ditolak
penerbit (peminat pembaca puisi saat ini memang tidak seperti dulu).
Tanpa pikir panjang saya membeli buku itu. Dan setelah saya baca-baca, uh, isinya benar-benar jujur. Biasanya saya bosan membaca puisi tapi tidak untuk yang satu ini. Hingga saya menemukan puisi favorit saya. Judulnya 'Ingatkah aku berjalan di belakang punggungmu'. Kalau diberi kesempatan bertemu dengan Afrizal Malna, saya mungkin akan memeluk beliau karena telah melahirkan kata-kata seindah itu. Gila. Keren banget. Hingga sampai pada kalimat, "Ingatkah ketika aku tidak setuju dengan manusia. Lalu aku meninggalkan Tuhan untuk itu." Kalimat itu rasanya mencabik-cabik kepala. Saya sampai berair mata meresapi untaian kata-kata itu (Maaf agak lebay).
penerbit (peminat pembaca puisi saat ini memang tidak seperti dulu).
Tanpa pikir panjang saya membeli buku itu. Dan setelah saya baca-baca, uh, isinya benar-benar jujur. Biasanya saya bosan membaca puisi tapi tidak untuk yang satu ini. Hingga saya menemukan puisi favorit saya. Judulnya 'Ingatkah aku berjalan di belakang punggungmu'. Kalau diberi kesempatan bertemu dengan Afrizal Malna, saya mungkin akan memeluk beliau karena telah melahirkan kata-kata seindah itu. Gila. Keren banget. Hingga sampai pada kalimat, "Ingatkah ketika aku tidak setuju dengan manusia. Lalu aku meninggalkan Tuhan untuk itu." Kalimat itu rasanya mencabik-cabik kepala. Saya sampai berair mata meresapi untaian kata-kata itu (Maaf agak lebay).
Kagum saja tidak cukup, saya mengapresiasikan dalam bentuk lain. Saya merekam suara 'jelek' saya dengan baground musik minus one (saya lupa itu instrumen lagu apa. Hehe.. Maafkan saya).
Ingatkah aku berjalan di belakang punggungmu
Afrizal Malna
Kenapa berpikir seperti itu tentang bantal yang
basah itu
Bantal yang basah dan masih mengapung di atas sungai
itu
Sungai yang membawa bantal itu dan sebuah biskuit di
atasnya
Kenapa sungai itu bisa membuat bantal itu mengapung
Maaf ya jangan berpikir seperti itu tentang diriku
Aku bukan tsunami yang berjalan sendirian di hari
libur
Dan sedang berjalan di belakang punggungmu
Menuju restoran Mc Donald
Dia tak punya tempat tinggal
Semua tempat telah menjadi kamar mandimu
Bukankah masa depan juga tersimpan di dalam alamat
rumahmu
Tak ada lagi tempat untuk dia
Untuk dia yang berjalan di belakang punggungmu
Untuk dia yang berjalan di sebuah kota yang terbalik
Untuk dia yang bermandikan hantu dengan minyak tanah
Harum cengkeh dan biji-biji timah
Maaf ya aku bukan tsunami yang berjalan di hari
libur
Dan melihat kota seperti sebuah makan siang yang
lapar
Ingatkah ketika aku menciptakan bahasa
Ingatkah ketika aku menciptakan peralatan dan air
mata
Ingatkah ketika aku tidak setuju dengan manusia
Lalu aku meninggalkan Tuhan untuk itu
Aku adalah minyak tanah yang sedang berjalan di hari
libur
Di belakang punggungmu harum cengkeh dan langkahku
seperti biji-biji besi yang mengingatkan aku tentang cinta dan waktu
Tentang cinta dan waktu yang tak sama
Tentang bahasa yang telah ditembak di dalam rumah
kita
Poem by : Afrizal Malna
Vignet by : Uwan Urwan
Comments