Pada
akhir Juli 2013 saya mendapatkan tugas berkeliling ke Jawa Timur. Salah satu
lokasi yang saya datangi yaitu Blitar, Jawa Timur. Lokasinya terpencil dan
dekat dengan perbatasan Kediri—Blitar. Waktu itu saya diantar oleh orang yang
berbaik hati menemui rekan (sebut saja begitu). Hari itu saya menemui beberapa orang di Kediri dan terakhir di Blitar. Kebetulan, rekan saya tidak
bisa mengantar hingga ke jalan raya. Ia menyarankan untuk meminta bantuan orang
untuk mengantar (menjadi tukang ojek dadakan).
Saya
gengsi. Tentu saja, dengan pekerjaan saya sebagai tukang jalan-jalan tidak
mungkin saya meminta tolong orang yang tidak dikenal untuk mengantar. Dan
memang benar, tidak ada seorang pun yang bisa saya temui saat itu. Apalagi dua
jam lagi matahari akan tenggelam. Saya hanya bisa menggigit bibir. Dengan
getir, saya putuskan berjalan kaki saja berbekal kamera ‘keren’ walaupun saya
harus segera kembali ke Malang untuk melaksanakan tugas esokan harinya.
Saya
melalui jalan beraspal yang si sisi kiri dan kanan tertanam rumah-rumah
pedesaan dengan halaman superluas. Tak lama kemudian pematang sawah dengan padi
terbentang luas dan tanaman sayur termasuk timun ikut mewarnai perjalanan saya.
Sesekali saya bertanya kepada orang jika terdapat pertigaan atau perempatan.
“Lurus
saja terus Mas, nanti pertigaan di depan itu belok kanan, dan lurus saja,” kata
Ibu tua yang sedang mengumpulkan rumput untuk ternak.
Jalan
yang terbentang di hadapan saya bukanlah jalan pendek. Jalan itu lurus dan saya
tahu ujung jalan yang ditunjuk Ibu tua itu jaraknya sekitar 500 km. Baru saya
akan belok ke kanan. Sambil mengelap keringat dan mengalungkan kamera dan
menggendong beban di punggung, saya mulai mengeluh. Tapi bukan berarti saya
menyerah begitu saja. Saya tidak ingin tidur di pinggir jalan Desa Candirejo,
Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur.
Di
satu titik saya berhenti dan tertegun melihat bangunan kuno berbahan batu bata
merah di tengah hamparan lahan kosong. Candi, ya, itu sebuah candi. Namanya
candi Kacilik. Candi itu tepat berdiri di tengah taman semigersang. Ia dipagari
oleh kawat dan tidak begitu tinggi sehingga saya dapat dengan mudah menaiki dan
masuk menjejakkan kaki di lokasi itu.
Konon katanya, pintu masuk di sebelah kiri candi. Karena sudah dibangun rumah oleh warga pintu masuk dibuat kembali
Saya
takjub dengan keberadaan candi itu. Tanpa pikir panjang saya sudah bisa menyimpulkan bahwa candi ini termasuk salah satu peninggalan Majapahit. Keheranan lain muncul saat saya tidak
menemukan satu sampah anorganik di dalamnya. Jelas, orang-orang tampaknya
jarang atau sama sekali tidak tertarik dengan candi kecil itu. Candi
itu menghabiskan lahan seluas 6,8 m x 6,8 m. Di keempat sisinya terdapat
relief ‘kepala drakula versi Indonesia’ (hehe... saya tidak tahu namanya. Saya
kira itu jenis-jenis setan di masyarakat Hindu semacam leak).
Bagian
atas (daerah atap), batu-batunya telah hampir rusak dan ditumbuhi tanaman liar.
Saya berkeliling bangunan itu untuk mencari tahu beberapa hal dan saya
menemukan satu pintu masuk di sisi kiri dengan 13 anaktangga. Jelas saya tidak
ingin tinggal diam. Saya harus naik dan masuk ke dalam ruangan itu. Ruang candi
itu hanya bisa memuat satu orang dan saya merasakan hal mistis di sana.
Walaupun langsung berbatasan dengan sumber cahaya matahari sore, saya masih
begidik. Untuk itu saya tidak berlama-lama.
Saya
kurang mengerti untuk apa ruangan sekecil itu di zamannya. Saya menduga itu
lokasi bertapa. Namun saya ragu karena umumnya lokasi bertapa itu tidak di
daerah dekat dengan hiruk pikuk manusia. Apalagi, keberadaan bangunan itu di
masanya pasti mencolok. Dugaan selanjutnya, ya mungkin sebagai lokasi beribadah
dan meletakkan sesajen.
Saya
merasa beruntung bisa menemukan candi ini. Ini adalah candi ketiga yang saya
temui setelah candi Borobudur, candi di Probolinggo, Jawa Timur (saya lupa
namanya), dan candi Kacilik. Setelah asyik berkeliling saya baru menyadari
bahwa langit sudah mulai gelap. Artinya saya harus bergegas meninggalkan tempat
itu untuk menemukan jalan bus antarkota.
Singkat
cerita, tidak ada satu pun angkutan umum atau pangkalan ojek di daerah itu.
Saya harus berjalan jauh hingga sekitar 5—6 km (kira-kira sejauh itu). Usai
adzan magrib saya baru tiba di pertigaan yang menurut orang merupakan jalan
yang dilalui bus antarkota. Dan memang beberapa kali saya melewatkan bus dengan
tujuan terminal Blitar karena saya ragu apakah benar saya harus naik bus itu.
Untung saja saya masih punya kepala dan mulut. Walaupun sedikit terlambat
bertanya, setidaknya saya tidak melewatkan malam itu di negeri antah-berantah.
Usai adzan Isya saya baru naik bus.
Pengalaman
luar biasa dan hanya sedikit ilmu yang bisa diambil. Masih banyak yang belum
saya dapatkan. (Hehe... mulai curhat). Akhir kata, saya tiba di penginapan di
Malang saat lewat tengah malam. Perjalanan yang luar biasa. (Uwan
Urwan)
Comments