Saya sengaja menghimpun beberapa puisi saya pada tulisan ini. Itung-itung blog ini sebagai dokumentasi sekaligus publikasi diri. (Ah, semoga masih ada manusia di zaman ini yang suka dengan laki-laki model begini. #kode). Atau mungkin ada orang penerbitan yang tidak sengaja terjerumus di blog ini dan terhipnotis oleh kata-kata saya lalu tanpa sadar saya ditelepon terus dijadikan anak angkat atau calon menantu (loh?). Ah, tampaknya saya sedang labil jadi jangan acuhkan paragraf pembuka ini. Anggap saja saya gila atau apalah. Anda tidak layak ikut gila.
Oke, beranjak ke alinea kedua saya ingin memberitahu bahwa puisi-puisi di bawah ini sudah muncul di status facebook saya beberapa waktu lalu. Jadi, ini bukan barang baru sih, tapi bisa jadi barang baru bagi Anda. Mari simak langsung daripada saya terlalu banyak cincau. hehe..
I
Tentang senja yang temaram. Indah namun menyulitkan mata. Batin pun bekerja penuh seperti mengambur.
Wanita itu merasakan payah hari ini. Ia menggendong beban di punggung. Seharian menimang cucu, membelai suami penuh mesra, membasuh langit-langit kamar mandi, dan menghawatirkan putra-putrinya yang tak bisa terjangkau pelukan lagi.
Katanya, putranya tak lagi merindukannya. Putrinya selalu merepotkan. Ia dengan garis-garis di dahi dan di bawah mata menangis saat suaminya terlelap.
Ia mengeja hari sambil menitikkan air mata. Ia berdoa pada Tuhan dengan bibir bergetar. Badannya yang gempal semakin mengecil sebab bumi telah dekat. Tanah telah berbau.
Wanita itu menarik selimut kembali. Mengusap mata yang basah hingga beberapa helai bulu mata rontok. Sebelum terlelap ia memanjatkan puji-pujian, "Semoga anak-anakku berbahagia." Ia tak lagi peduli lalu kedua matanya terpejam. Entah, apakah hari esok anak-anaknya akan melihatnya lagi atau tidak.
II
Kini bumi telah terbuka. Ia melebarkan perut yang kembang kempis. Saya kembali menangis saat kaki saya terbakar mendengar tawanya. Itu seperti rencana malam beberapa tahun silam.....
III
Malam jenuh tak jadi bintang. Bulan pekat menjadi biang sunyi. Langit kini temaram bak permaisuri mati mirip kakiku saat ini. Tak ada denyut nadi, tak ada teriakan senja, tak ada musim kapalan...
Mata ikut prihatin namun perlahan ia katarak.
Beberapa organ tubuh yang bersimpati pun ikut menahan sakit. Bisu. Lalu organ yang mampu bertahan adalah yang menjadi bagian esok pagi.
Ternyata..... begini yang sebenarnya
IV
Mata itu sayu. Perlahan mengeluarkan butiran cahaya. Bening. Tapi ia mendekamnya kembali ke dalam kelenjar di kelopak mata. Bibirnya kemudian sumringah. Telinganya bergerak-gerak lalu ia berkata seolah-olah sedang bergembira. Ia menenangkan hati. Aman. Tangannya merengkuh bahu lalu memberikan sepercik kehangatan.
Untuk beberapa detik saya menikmati betapa hangatnya ia. Namun saya meninggalkannya karena ia berdusta dengan hati. Ia memberikan harapan dan mengingkari harapan itu sendiri. Ia selalu takut jika saya akan menuntutnya menjadi bintang hanya milik saya seorang. Padahal, saya tahu dia milik banyak manusia. Saya tidak akan melakukan itu... Apalah saya hanya seorang....
Saya berjalan menjauhi titik cahaya yang redup namun terpancar kembali. Lalu saya mengumpat dalam hati, "Matahari sialan!"
V
Bumi basah, tanah lembab, dan langit mendung. Melodi yang tangannya mainkan tidak ikut terjerembab ke dalam genangan air. Suaranya mengalun bening menyeruput keindahan seroja. Bintang sore nan merana. Lalu ia berbunyi biola seperti pasir yang dibawa terbang angin. Lalu berhamburan ikut satu per satu ke dalam alunannya. Bertaburan bak bintang malam.
Langit emas hampir tiada sementara beberapa lapis udara di atas kepala mulai gelap. seiring dengan berkumpulnya gemuruh petir dan zona air mata.
Pyar... Petir mengilat dan byurrr. Bumiku berembun hampir banjir.
Tak tik tuk.... Dentang jam dinding membelok ke arah riuhnya tetes-tetes air yang jatuh ke atap seng, dedaunan, dan tanah. Debu-debu yang lembut dibawa ke hilir sebagai persembahan kepada dewa laut.
Sementara aku, hanya bisa memandangi malam yang nyaris tiba.
By Uwan Urwan
Oke, beranjak ke alinea kedua saya ingin memberitahu bahwa puisi-puisi di bawah ini sudah muncul di status facebook saya beberapa waktu lalu. Jadi, ini bukan barang baru sih, tapi bisa jadi barang baru bagi Anda. Mari simak langsung daripada saya terlalu banyak cincau. hehe..
I
Tentang senja yang temaram. Indah namun menyulitkan mata. Batin pun bekerja penuh seperti mengambur.
Wanita itu merasakan payah hari ini. Ia menggendong beban di punggung. Seharian menimang cucu, membelai suami penuh mesra, membasuh langit-langit kamar mandi, dan menghawatirkan putra-putrinya yang tak bisa terjangkau pelukan lagi.
Katanya, putranya tak lagi merindukannya. Putrinya selalu merepotkan. Ia dengan garis-garis di dahi dan di bawah mata menangis saat suaminya terlelap.
Ia mengeja hari sambil menitikkan air mata. Ia berdoa pada Tuhan dengan bibir bergetar. Badannya yang gempal semakin mengecil sebab bumi telah dekat. Tanah telah berbau.
Wanita itu menarik selimut kembali. Mengusap mata yang basah hingga beberapa helai bulu mata rontok. Sebelum terlelap ia memanjatkan puji-pujian, "Semoga anak-anakku berbahagia." Ia tak lagi peduli lalu kedua matanya terpejam. Entah, apakah hari esok anak-anaknya akan melihatnya lagi atau tidak.
II
Kini bumi telah terbuka. Ia melebarkan perut yang kembang kempis. Saya kembali menangis saat kaki saya terbakar mendengar tawanya. Itu seperti rencana malam beberapa tahun silam.....
III
Malam jenuh tak jadi bintang. Bulan pekat menjadi biang sunyi. Langit kini temaram bak permaisuri mati mirip kakiku saat ini. Tak ada denyut nadi, tak ada teriakan senja, tak ada musim kapalan...
Mata ikut prihatin namun perlahan ia katarak.
Beberapa organ tubuh yang bersimpati pun ikut menahan sakit. Bisu. Lalu organ yang mampu bertahan adalah yang menjadi bagian esok pagi.
Ternyata..... begini yang sebenarnya
IV
Mata itu sayu. Perlahan mengeluarkan butiran cahaya. Bening. Tapi ia mendekamnya kembali ke dalam kelenjar di kelopak mata. Bibirnya kemudian sumringah. Telinganya bergerak-gerak lalu ia berkata seolah-olah sedang bergembira. Ia menenangkan hati. Aman. Tangannya merengkuh bahu lalu memberikan sepercik kehangatan.
Untuk beberapa detik saya menikmati betapa hangatnya ia. Namun saya meninggalkannya karena ia berdusta dengan hati. Ia memberikan harapan dan mengingkari harapan itu sendiri. Ia selalu takut jika saya akan menuntutnya menjadi bintang hanya milik saya seorang. Padahal, saya tahu dia milik banyak manusia. Saya tidak akan melakukan itu... Apalah saya hanya seorang....
Saya berjalan menjauhi titik cahaya yang redup namun terpancar kembali. Lalu saya mengumpat dalam hati, "Matahari sialan!"
V
Bumi basah, tanah lembab, dan langit mendung. Melodi yang tangannya mainkan tidak ikut terjerembab ke dalam genangan air. Suaranya mengalun bening menyeruput keindahan seroja. Bintang sore nan merana. Lalu ia berbunyi biola seperti pasir yang dibawa terbang angin. Lalu berhamburan ikut satu per satu ke dalam alunannya. Bertaburan bak bintang malam.
Langit emas hampir tiada sementara beberapa lapis udara di atas kepala mulai gelap. seiring dengan berkumpulnya gemuruh petir dan zona air mata.
Pyar... Petir mengilat dan byurrr. Bumiku berembun hampir banjir.
Tak tik tuk.... Dentang jam dinding membelok ke arah riuhnya tetes-tetes air yang jatuh ke atap seng, dedaunan, dan tanah. Debu-debu yang lembut dibawa ke hilir sebagai persembahan kepada dewa laut.
Sementara aku, hanya bisa memandangi malam yang nyaris tiba.
By Uwan Urwan
Comments