Waktu menunjukkan pukul 21.00 di bawah
langit Dusun Rowotengu, Desa Sidomulyo, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember,
Provinsi Jawa Timur. Rintik-rintik kecil membasahi tanah pada akhir periode
2013. Di sela-sela perbincangan bersama Asroful Uswatun, pemilik kebun buah
naga, suara katak dan jangkrik bersenandung memecah bisikan angin. Aliran udara
lembut itu sayup-sayup mematahkan setengah kesadaran saya. Hingga beberapa
menit berselang dua sosok laki-laki paruh baya mengayuh sepeda mendekat. Mereka
menembus malam bergerimis lengkap dengan jaket dan sepatu bot di tubuh. Saya
menduga mereka hendak mencari hewan malam di sawah atau ladang.
Setelah berjarak sekitar 10 m barulah
saya tahu jika kedua pria itu karyawan kebun Asroful. Lalu mereka melabuhkan
sepeda di bawah naungan. Rasa ingin tahu saya tergugah. “Sebentar lagi mereka akan
menyerbukkan buah naga,” kata Asroful.
Saya kembali menyelidik mengapa harus dilakukan pada malam hari? Bukankah pada
pagi hari akan lebih efisien? “Bunga buah naga mekar maksimal pada pukul
22.00—02.00,” ujarnya. Jika penyerbukan terjadi saat bunga terbuka palig lebar,
buah pun bobotnya akan maksimal.
Tak ingin ketinggalan, rasa kantuk
lenyap, dan saya ikut andil menelusuk kebun Hylocereus
polyrhizus berbekal kamera dan
sandal. “Di kebun sering ditemukan ular,” celetuk salah seorang pekerja
Asroful. Saya pun beralih mengenakan bot walau tampak kurang nyaman di kaki.
Tepat pukul 10.00 WIB hujan telah berakhir, dedaunan basah, dan udara dingin.
Saya mengikuti langkah kedua penghulu yang membawa kuas panjang dan sebuah
kotak makan tanpa penutup memasuki kebun.
Saya kemudian takjub melihat setiap
tiang terdapat minimal satu bunga mekar berdiameter sekitar 30 cm. “Benar-benar
maksimal,” ungkap saya dalam hati. Mahkotanya berwarna putih sementara benang
sari kuning merumpun di tengah. Tangkai putik menjulur dua kali lipat
dibandingkan panjang benang sari. Di ujungnya jumbai kuning mirip ekor
cumi-cumi terbuka. Itu ukuran terbesar dan momen tercantik yang pernah saya
temukan. Senyum saya ikut terkembang melihat pemandangan langka itu.
Di situlah penyerbukan dengan bantuan
manusia terjadi. Pekerja lantas menjatuhkan serbuk sari ke dalam kotak. Ia kemudian
menyapu serbuk-serbuk sari dan mengusapkannya ke kepala putih dengan kuas. Hal
yang sama juga dilakukan pekerja yang lain. Mereka sigap mengoleskan sel-sel
kelamin jantan pada satu putik ke putik lain hingga saya kelimpungan ke arah
mana saya harus berjalan. Apalagi lampu yang saya kenakan di kepala membuat kepala
tidak nyaman. Terlebih saya harus mengintip bilik kecil di dalam perut kamera.
Tapi saya tidak gentar untuk mengabadikan malam paling romantis untuk
tanaman-tanaman itu. Wangi serbuk sari menggambarkan itu.
Saking bersemangat, langkah saya
terseok-seok karena tanah becek dan beberapa kali tersangkut duri membuat badan
saya sedikit lecet. Harap mahfum, saya hanya mengenakan kemeja tipis. Itu pun
beberapa kali terjerembab ke jebakan lumpur. Sementara kedua orang itu
benar-benar serius membantu para naga menunaikan ibadah tanpa banyak berbicara.
Tentu saja saya masih terkesima.
Kesibukan saya mengabadikan mekarnya
mahkota hingga sebesar itu membuat saya kelabakan karena tidak mengerti ke arah
mana harus berjalan. Setiap jalan yang saya lalui hanya berdiri tiang-tiang
tempat buah naga menempelkan tubuh. Kami bertiga hanya ditemani senter di
masing-masing kepala. Benar, cahaya senter juga yang membantu saya menemukan
jalan jika kehilangan jejak sang makcomblang.
Pekerjaan mengawinkan pasangan naga jantan
dan betina berakhir sejam kemudian. Langit telah lelah menjatuhkan
rintik-rintik. Sementara bunyi serangga dan katak masih bersahutan. Tanaman
buah naga tampak puas dengan kehadiran kami tinggal menunggu 30 hari dengan bobot
maksimal (bisa mencapai 800—1.000 g per buah). (Uwan Urwan)
Comments