Awal mula tahun 2014 sambil menyongsong langit
temaram, saya hijrah sejenak ke beberapa lokasi di Jawa Timur. Setelah sebelumnya mengitari
wilayah yang terkenal dengan tari Jejer Gandrung, menuju kota Jember lalu
berkunjung ke kota yang termahsyur dengan pisang Mas Kirana.
Di tengah
perjalanan itu, saya menyempatkan kembali sejenak ke tanah kelahiran, Kabupaten Situbondo, Provinsi
Jawa Timur. Separuh perjalanan saya telah usai namun rindu sanak keluarga tak
terbendung. Saya tiba di terminal Situbondo menjelang magrib. Walau saya
mengorbankan letih, semilir angin yang tak asing menyambut. Rasa puas membayar
segalanya.
Dari pemberhentian bus, saya berjalan kaki menyusuri
pedagang kaki lima, pertokoan, dan beberapa kelompok muda-mudi. Jika sebuah
kamera mengikuti perjalanan saya, mungkin penonton akan menganggap saya gila.
Tentu saja. Sepanjang perjalanan saya bertingkah seolah masih bocah berusia 5
tahun. Orang-orang biasa menyebut dengan “autis”. Dan saya tidak peduli. Haha..
Saya justru kian riang karena kedatangan saya disambut
kemeriahan maulid nabi Muhammad SAW. Mulanya saya mengira itu pesta kembang api
tahun baru. Selama menyusuri trotoar beku saya melihat beberapa pick-up menggendong nasi kerucut
raksasa. Tingginya mencapai 3 m. Saya pun menyimpulkan jika ada pesta ancak
agung. Dan ternyata benar. Itu saya akui setelah menemukan papan reklame
gergasi di perempatan alun-alun kota. Di situ jelas tertulis rangkaian acara
ancak agung. Dan tanggal 2 Januari 2014 lah pembukaannya.
Berbekal informasi itu saya bergegas pulang dengan
kendaraan umum. Sejam kemudian saya kembali menuju pusat kota. Beratus-ratus
orang berkerumun di tepian jalan sepanjang alun-alun hingga kantor Bupati Situbondo.
Malam telah menunjukkan taringnya, sementara khalayak antusias meramaikan parade
yang telah digelar sejak 3 tahun silam.
Tabuhan sholawat dari berbagai kecamatan di Situbondo
bertabuh. Deretan speaker dan aneka hiasan serta pernak-pernik yang digunakan
tak lepas dari perhatian. Atribut demi atribut, perwakilan demi perwakilan, pertunjukan
demi pertunjukan, dan satu per satu menjadi pusat perhatian. Dengan berbekal
sebuah kamera, saya mengabadikan momen terbaik sambil berkata, “Kota kelahiran
saya luar biasa juga ya.”
Saya takjub dan entahlah... Saya kehilangan kata-kata
untuk menggambarkan perasaan saya waktu itu. Informasi lanjutan yang saya
terima ternyata parade itu tak hanya untuk perwakilan kecamatan. Namun juga
untuk sekolah-sekolah juga di waktu yang lain. Sayangnya, saya sudah kembali ke
ibukota yang setiap hari berparade asap dan kendaraan.
Walau tulisan ini terlambat beberapa bulan, semarak
itu masih terngiang-ngiang di kepala saya. Dan saya menantikan kegiatan serupa
tahun mendatang. Saya cinta Situbondo. (Uwan
Urwan)
Comments