Melalui sebuah pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Sahat Simatupang membuat saya tergelitik untuk menyelidiki hasil karyanya. Sahat seorang pelukis abstrak kelahiran Jakarta, 8 April 1964. Saya tak ingin melewatkan hal sepenting itu demi waktu bersantai. Waktu berjalan cepat dan saya mujur sebab hanya saya pengunjung yang tersisa begitu tiba di lokasi. Memang waktu itu, 14 Maret 2014 menjadi malam penutup pameran di Gedung Galeri Cipta II itu.
Memasuki pintu sebuah ruangan saya disambut seorang pria
paruh baya. Ia tersenyum sambil menyodorkan buku tamu. “Terakhir, Mas,” katanya.
Begitu akan memasuki galeri itu, saya disuguhi lukisan berkaki tiga sebagai
tanda ucapan selamat datang. Lukisan tak berjudul dengan kombinasi kertas perca
dan tanda tangan Sahat tampak molek. Itu mengingatkan saya tentang karya I Made
Wianta, pelukis rupa di provinsi yang terkenal dengan tari Kecak. Made
mendobrak aturan seni dengan mengabungkan seni rupa, seni lukis, bahkan sastra tulis
dalam kesatuan acak. Sungguh hal yang unik. Saya bukan seniman seliar mereka
tapi saya mengapresiasi karya-karyanya.
Saya pun mulai beranjak tercengang, terperangah, ternganga,
dan mampu bersenang-senang dengan benda-benda tak bergerak itu. Kombinasi warna
dan coretan beragam gaya membuat saya menelisik satu per satu. Yap, saya
pengunjung beruntung karena hanya saya yang terbelalak seorang diri. Pengunjung
lain mungkin sudah memberondong saat siang dan sore hari.
Gaya surealis tampak jelas pada setiap lukisan. Tiba-tiba
ada satu yang membuat saya terdiam. Kontras dengan karya lain. Melihatnya, saya
seperti hadir saat menguas dengan lembut. Hitam, merah, dan kuning berpadu
menjadi kombinasi yang teduh dan misterius. Lukisan berjudul “Keheningan Malam”
itu bak menyeret saya ke dunia mikrokosmos. Seolah saya sedang sendiri merasakan
bahagia, sedih, dan sendu.
Sebanyak 56 lukisan hadir di ruang itu dengan berbagai judul
seperti Bermain dengan Malam I, Bermain dengan Malam II, Hijau Itu, Irama
Wajah, Kehidupan, Suami dan istri, Wanita Garis Putih, Wajahnya, Lelaki, dan
Dunia Binatang. Dan setiap potret mengisahkan tutur yang berbeda. Punya
perasaan yang lain.
Menelisik karya Sahat, saya merasa punya rasa yang mirip.
Setiap orang tidak selalu bisa melihat esensi coretan yang saya buat. Bentuk
tak teratur, warna acak, dan kerabunan makna menjadi ruh bagi karya abstrak. Itulah
mengapa saya cukup egois dengan apa yang telah saya hasilkan. Hakikat itu ada,
maksud tersedia, tapi bentuk mujarad menjadi keindahan tak bernilai untuk zat
tak berbentuk pada tubuh. (Uwan Urwan)
Comments