Bagian 1
Bila
rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa
ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan
mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: LAWAN!
Itulah penggalan puisi berjudul
“Peringatan” karya penyair tersohor, Wiji Thukul. Geloranya membara pada setiap
kata dan puncaknya pada teriakan “LAWAN”. Bentuk perlawanan itu tak hanya dalam
bentuk syair. Pengorbanan untuk masyarakat marginal-lah yang melahirkan puisi
itu dari benaknya. Pria kelahiran Solo, 23 Agustus 1963 itu pun berafiliasi
dengan partai yang dicap haram hingga ia mendapatkan represi dari aparat
sehingga ia menjadi buronan pemerintah. Kini telah 14 tahun sosok itu menghilang
(atau dihilangkan) dari peradaban. Entah, tak ada yang mengerti.
Wiji Thukul (sumber : anonim) |
Menjadi inspirasi bagi dunia
melalui karya dan aksinya, Asean Literary Festival mengikonkan Wiji pada kegiatan
yang diselenggarakan pada 21—23 Maret 2014 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tak terelakkan putri Wiji, Fitri Nganthi Wani,
mendapatkan penghargaan atas namanya. Kegiatan bertema Anthems for the Common People
pun terinspirasi dari puisinya yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput”.
Kegiatan itu melibatkan
penyair, novelis, ceprenis, editor, translator dari berbagai negara seperti Okky
Madasari, Afrizal Malna, Arswendo Atmowiloto, Benny Arnas, Isa Kamari, Jamil
Maidan Flores, Joko Pinorbo, John H. McGlynn, Kate Griffin, Khrisna Pabichara,
Saras Dewi, dan Wang Gan. Perusahaan penerbitan buku dan komunitas, seperti Gramedia,
Plotpoint, Fixi, Kata Bergerak, Nulis Buku, dan Buku Untuk Papua juga
meramaikan momen itu.
Bagian 2
Hari ketiga Asean Literary Festival, 23 Maret
2014
Perjalanan menuju Taman Ismail
Marzuki di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat terasa berat. Saya harus melawan
rasa malas dan kantuk untuk beranjak pergi dari kandang. Keinginan untuk
meramaikan Asean Literary Festival bergolak hebat. Tetapi kereta api tak ramah.
Saya diminta menunggu sejam lebih hingga ia menjemput. Setiba di stasiun Cikini
kombinasi hujan deras dan angin kencang menerpa perjalanan itu. Akibatnya, saya
terlambat menghadiri workshop bertema Women and Literature. Konstruksi payung
hijau ekonomis pelindung saya pun ikut patah. Saya tak ingin kalah gara-gara
perlawanan benda-benda mati itu. Saya hidup dan akan terus hidup.
Sedatangnya di lokasi, wajah-wajah
cerah bergambarkan bahasa dan kata berseliweran. Perempuan, pria, tua, muda, dan unidentified person seolah menganggap saya sebagai sisa-sisa
mendung sore hari. Saya memandang sejenak stan-stan yang basah akibat hujan. Beberapa
pasang mata mulai memperhatikan saya, berharap saya mengunjungi mereka. Tak ingin
ketinggalan lokakarya bertema “The Role
of Literary Translation” saya pun segera memasuki sebuah ruangan temaram.
Tak ada yang istimewa tetapi sangat luar biasa karena itu untuk pertama kalinya
saya berkumpul dengan orang-orang yang condong pada sastra.
Usai pertemuan itu, saya
berkunjung ke beberapa stan penerbitan dan komunitas buku sambil menungu
pertunjukan seni pukul 19.00 WIB. Terdapat satu stan istimewa bagi saya. Stan
itu tanpa penjaga, hanya terdiri dari gantungan puisi karya Wiji Thukul. Sketsa syairnya
pun telah bertandang memenuhi stan itu. Saya merasa senang dengan apresiasi itu
walau itu bukan karya saya. Waktu saya cukup banyak dan saya juga sempat
mengunjungi pameran tunggal lukisan Sudita Nashar (akan saya tulis di lain
waktu) dan berbincang-bincang sejenak dengan pelukis dahsyat itu.
Malam pertunjukan yang
ditunggu-tunggu telah tiba. Nartana Budaya, komunitas penari dari Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Indonesia, Universitas Indonesia membuka acara dengan tari
gaba-gaba. Dilanjutkan pembacaan cerita pendek oleh Martin Aleida, jurnalis,
cerpenis, dan novelis kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara. Usai penampilan
Martin, menyusul Isa Kamari, Cornelia Agatha, dan Joko Pinurbo dengan pembacaan
puisi sakti.
Saat itu saya berpikir, bahkan
penampil berpakaian sederhana, gaya pun minimalis. Pembacaan juga tak berlebihan.
Semua disesuaikan dengan gaya masing-masing. Pementasan itu tak glamor seperti pada
penampilan kontes menyanyi atau kontes lain di televisi. Namun, penonton sangat
antusias dan tenang menikmati setiap cucuran kata yang mengeras pada speaker. Beberapa kali juga bertepuk
tangan riuh.
Lampion kertas (sumber : bejubel.com) |
Malam kian semarak saat panitia
membagikan 100 lampion terbang berbahan kertas dan saya dan penonton lain
menerbangkannya ke udara. Diiringi pembacaan puisi yang menyayat dan alunan
musik sendu langit seketika berbintang. Lampion itu melayang-layang beserta
udara yang membawanya. Beberapa tersangkut pohon dan gagal mencapai ketingian 5
m. Yap, kombinasi sedu dan gembira sukses mengiring roh dan jiwa saya ke dalam
dunianya pujangga. Akhirnya saya hanya bisa berkata, hari itu indah ditutup
dengan malam yang melengkapi kepuasan hasrat saya. (Uwan Urwan)
Comments