Sumber : satriodamar.wordpress.com |
Demam memelihara lele di
tanah air membuat peternak getol memangkas biaya pakan dan operasional. Peternak biasanya menghabiskan 60% biaya pakan dan 20% untuk biaya operasional. Itu belum
termasuk penyusutan jumlah lele bila mati. Rujuk Supriyanto, petani dan peternak lele di Desa Pandan Toyo,
Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur sebelumnya menggunakan sistem
konvensional
mengalami hal serupa. Ia mengganti air kolam dengan tenaga listrik setiap lima hari
sekali hingga bulan ke-3
karena berbau. Bau itu disebabkan amonia dan nitrit pada sisa
kotoran dan pakan.
Pada 2010, Rujuk menggunakan
sluri sebagai media dasar kolam. Keunggulannya ia tak
perlu lagi mengganti air setiap 5 hari sekali. Walaupun kolam berwarna cokelat,
air tak berbau. Ia pun irit pakan hingga 20%.
Pakai sluri lebih hemat
Rujuk membutuhkan
sluri—limbah biogas—setinggi 5—10 cm lalu ia menambah air setinggi 10 cm—dan probiotik 12,5 liter. Per liter probiotik hanya Rp6.000. Harga itu terbilang murah karena salah seorang rekan memproduksi sendiri.
“Harga di
pasaran per liter bisa Rp30.000,” kata Rujuk.
Setelah itu ia membiarkan
kolam lima hari agar bakteri (Lactobacillus sp.) beradaptasi di lingkungan baru dan mengurai sluri. Selanjutnya ia
menambahkan air 30 cm dan 6,25 liter probiotik. Ia mendiamkan kolam kembali lima hari
dan perlakuan sama pada 5 hari kedua dilakukan kembali. “Kemungkinan sebagian
bakteri mati sehingga perlu penambahan bertahap,” kata Rujuk.
Sebelum menebar benih,
ayah satu anak itu menambahkan air setinggi 80 cm—110 cm. Ia lalu menebar benih
dengan tebaran 14ribu ekor lele berukuran 5—7 cm. Harga benih Rp100 per ekor
dengan kepadatan populasi 350—400 ekor per m3. Selang dua hari
lele “berpuasa” agar bisa beradaptasi dengan baik. Setelah itu ia hanya perlu
memberi makan hingga lele siap panen pada usia 2,5—3 bulan. Sesekali ia hanya
perlu menambahkan seliter probiotik jika air berbau, “tapi itu jarang sekali, minimal tiap
bulan,” tambah Rujuk
Baca juga : Jangan piara kucing. Ini alasannya!
Pakan untuk 1.000 ekor
lele sebanyak 75 kg artinya ia membutuhkan 1.050 kg untuk 14ribu ekor lele,
setara dengan Rp8.516.000. Dibandingkan dengan sistem konvensional ia harus
memberikan 90 kg untuk 1.000 ekor lele, artinya untuk luas kolam yang sama ia
mengeluarkan uang sebesar Rp10.217.000. Hasilnya, ia bisa panen 11 kuintal
lele. Total ia mendapatkan penghasilan Rp.13.420.000. Per kg lele Rp12.200. “20%
termasuk biaya sirkulasi air dan tenaga kerja jika menggunakan sistem
konvensional,” tambah ayah 1 anak itu.
Penggunaan sluri dan probiotik itu
menurunkan rasio konversi pakan (FCR) menjadi 0,8, sementara sistem konvensional rasionya
1—1,2. Artinya untuk memperoleh sekilogram lele,
peternak membutuhkan 0,8 kg pakan. Rujuk hemat pakan tanpa mempengaruhi bobot
panen 8—10 ekor per kg selama masa budidaya.
Bioflok, teknologi menggunakan probiotik dalam budidaya lele
Rujuk memanfaatkan sluri karena di
Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, limbah terdapat 200 reaktor
biogas, hasil fermentasi kotoran sapi itu melimpah. Teknologi yang Rujuk
terapkan itu disebut bioflok. Menurut Dr Nur Bambang Prioutomo MSi dari
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, flock akan
terbentuk jika rasio CN berada pada kadar tertentu. Bisanya dengan menambahkan
molase untuk menambah kadar C.
“Bisa jadi CN rasio pada
sluri sudah seimbang sehingga tidak perlu menambahkan molase,” kata Bambang. Ia
juga menjelaskan bahwa Lactobacillus sp. membutuhkan oksigen karena
termasuk bakteri heterotrof. Bambang menduga kepadatan rendah (350—400 ekor per
m2) yang menyebabkan oksigen terlarutnya tinggi. Saat ini peternak
lele yang menggunakan sistem bioflok kepadatan populasinya 1.000—3.000 ekor per
m2. “Jika ingin menggunakan kepadatan hingga 3.000 ekor hendaknya
menggunakan aerator,” tambahnya.
Menurut Dr Ir Mubiar Purwasasmita
dari Laboratorium Pengembangan Proses, Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi
Bandung, Bandung, Lactobacillus sp. membutuhkan ruang untuk
beraktivitas. Bahan-bahan organik di dalam sluri menjadi media untuk mengurai
bahan itu. Selain itu, penggunaan probiotik termasuk MOL (Mikroorganisme lokal)
karena bakteri itu melimpah di alam dan terdapat di dalam tubuh tanaman, hewan,
dan manusia.
“Enzim yang dihasilkan Lactobacillus
sp. memicu pertumbuhan lele,” kata Mubiar. Jika lele semakin besar, jumlah
bakteri akan berkurang karena lele memakan bakteri itu dan hasil
metabolismenya. Untuk itu air akan berbau karena jumlah bakteri tidak ada atau
kurang untuk merevitalisasi air. Tak
heran bila Rujuk mengeruk keuntungan dengan menggunakan sluri. (Uwan
Urwan)
Comments