Sore itu (21/10/14) saya melihat dua awak sedang bersantai
di kursi becak. Dua orang laki-laki yang menambatkan becak miliknya sedang
tertidur. Rupanya belum ada penumpang yang hendak menggunakan jasanya. Tepat di
belakangnya berdiri kokoh warung tenda dan pedagang kaki lima. Pemandangan
sederhana itu kontras dengan penggambaran gedung-gedung bertingkat dan jalan layang
sebagai latarnya.
Itu potret jalanan tahun 1999. Nasikin Setiono, pelukis
ternama di Indonesia, merealisasikan dengan apik di atas kanvas berukuran 100
cm x 100 cm. “Itu sejarah hidup yang pernah ada di Jakarta,” ungkapnya. Pemerintah memang telah melarang becak beroperasi pada akhir 1980-an, tetapi kendaraan
itu masih bias ditemui di tempat-tempat tertentu kala itu. [FYI: Becak pertama
kali muncul di Jepang pada 1868 (baca : apakabardunia),
sedangkan nama becak diambil dari bahasa Hokkien, salah satu suku penduduk Cina,
be chia yang artinya kereta kuda. Transportasi nonbbm itu kini tergantikan kendaraan
bermotor] Sambil bercerita, Nasikin seolah kembali pada kenangan waktu itu.
Pelukis realis itu juga dengan luwes menyihir kanvas berukuran
95 cm x 155 cm menjadi empat sosok perempuan yang sedang merias pengantin
wanita. Goresannya begitu halus dan hidup. Di sudut lain, pria kelahiran Kudus,
16 November 1942 itu melukiskan kondisi Depok KM 39 tempo dulu, tari kecak,
pasar burung, sampai kaligrafi bacaan zikir. Pelukis yang tergolong pematung serta
desainer interior dan eksterior itu tersohor hingga ke negara Belanda. Itu
terbukti dengan pernahnya mengadakan pameran tunggal di Belanda tahun 1965.
Sebanyak 36 lukisan figuratif, Sanikin gelar di gedung
Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kesempurnaan tata warna dan bentuk
figur yang tergambar sangat mengagumkan.
Nasikin Setiono berfoto bersama mahasiswa Institut Kesenian Jakarta |
Di lokasi yang sama pada waktu berbeda(23/03/14), Sudita
Nashar juga sempat menyematkan 23 lukisan dan dua instalasi bertema gitar. Tergolong
unik karena semua lukisannya berwajahkan gitar. Putra pelukis legendaris almarhum
Nashar itu mendistorsi dan mendeformasi bentuk alat musik petik menjadi bentuk
surealis, kontras dengan buah tangan Nasikin. Sudita menghidupkan benda mati
seolah memiliki sifat layaknya makhluk bernyawa. Itu dapat dicontohkan pada
lukisan berjudul “Tertidur”. Sebuah gitar berbadan hijau sedang terbaring di
atas matras. Ia mengespresikan sang gitar sedang tertidur lelap.
Yang menarik perhatian, terdapat satu instalasi dari kain
panjang. Terdapat jejak kaki tiga warna di atasnya. Sudita menggantungkan kain
di sudut ruang dan menempelkan gitar dengan ornamen dan didesain layaknya
penyangga infus. Pada pangkalnya terdapat catatan “Untuk diinjak-injak”. Saya
sampai saat ini belum menemukan maksudnya, tetapi saya tak meninggalkan
kesempatan untuk menginjak kain panjang itu.
“Lukisan Sudita dibangun dengan bentuk mengorganisasi elemen
kompak. Ritme bentuk dan bidang lahir dari jiwa yang dalam,” kata KP Hradi Danuwijoyo,
pelukis, pewayang, dan budayawan. Dan benar, setiap lukisan Sudita berbicara
bukan tentang musik. Dalam setiap karyanya,ibaratnya pria yang tinggal di Balai Budaya, Jakarta
Pusat itu tidak mencari ikan di laut, tetapi mutiara yang tak terjangkau oleh
orang kebanyakan.
Comments