Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Langit tanggal 10 Januari
2015 biru cerah, debur awan bertabur dalam ronanya, udara mengalir deras, kanopi Samanea saman dan beberapa spesies lain
menabur oksigen, sumber kesejukan. Aku baru tiba di pintu Monas, entah pintu yang
keberapa. Hiruk-pikuk beragam jenis manusia lalu-lalang meramaikan ikon
ibukota.
Birunya langit Monas |
Rusa-rusa di kandangnya sedang menikmati pemandangan manusia
dengan beragam warna pakaian. Mereka berteduh, menyesap kesejukan yang tersiram
nikmat untuk paru-paru mereka. Aku pun merasakan hal yang sama. Kulihat
beberapa orang sedang berlomba menuju titik tengah monumen bersejarah itu.
Beberapa juga menggelar alas untuk bertamasya bersama kerabat. Meski tampak
riuh, keringat menelusup melalui pori-pori kain merah yang saya sematkan
di badan. Air saya teguk untuk mengendalikan dahaga sehabis berjalan cukup jauh
karena memberhentikan kopaja tidak pada titik semestinya. Roti pun lahap
dilumat lidah.
Tiba-tiba, seorang pria berusia 20an melambaikan tangan.
Saya langsung tersadar dan membalas lambaiannya. Ia lalu menuntun saya ke
tempat beberapa orang berpakaian merah dan biru menunggu. Baru delapan anggota
grup kepenulisan PEDAS yang dipertemukan, sisanya kami harus mencari mereka.
Berdasarkan kesepakatan beberapa minggu sebelumnya, kami
semestinya berkumpul di Pelataran Monas. Sejenak saya melihat Gurun Sahara
terbentang dan merasakan teriknya sampai ke titik pertemuan itu. Beruntunglah
rencana berubah. Para tetua PEDAS tampaknya merasakan kepedihan yang sama.
Titik pertemuan beralih. Setelah delapan orang menyusuri petunjuk, ternyata
jarak kami hanya sekitar 500 m.
Puisi berkelompok
Kegiatan kami diawali isama (istirahat, salat, dan makan). Saya
dan rekan menikmati hidangan di bawah rerimbunan pohon-pohon, mengilhami
bersimpuh kepada Sang Pencipta di alam terbuka, dan bercanda saat semilir udara
mengalir. (Mbak) Elisa Koraag, pendiri PEDAS, kemudian menyampaikan maklumat,
“Buat kelompok 2—3 orang dan bacakan puisi yang disediakan dengan intonasi,
ekspresi, dan gaya sesuai kreativitas masing-masing!”
Sigap saya dan teman-teman merekrut seorang dan memilih
sebuah puisi. Setelah itu, kami diberi waktu 10—15 menit untuk latihan kilat.
Saya dan teman setim memilih area berumput. Pepohonan anggota famili Arecaceae
berderet memanjang dan sebagian kanopinya melindungi kami dari terik siang.
Waktu latihan berakhir, setiap kelompok mulai unjuk suara. Saya tidak percaya
saat itu, saya dan teman-teman menyuarakan puisi di alam terbuka saat semua
orang menikmati liburan akhir pekan.
Hah, saya takjub. Dalam keadaan tidak hening pun,
alunan-alunan indah penyair ternama melesat bak elang. Sat… set.. sat…. Rasanya
kata-kata yang mereka ucapkan menusuk jantung. Beberapa teman melakukan
dengan baik tugas mereka. Dengan suara lantang plus percaya diri mampu membawa
kata per kata bermakna, riuh dan dada saya bergelora.
Tentu saja, kegiatan kecil kami menarik perhatian pengunjung
lain. Sempat beberapa warga asing pun tersedot menyaksikan kesaktian sulap
lidah kami. Begitu pun saat giliran saya tiba. Oh, saya seperti dilempar batu. Padahal
saya mengira telah berteriak, tetapi memang telinga sering menipu. Tipuan yang menyesakkan.
Setiap kelompok yang tampil mendapatkan komentar dari
kelompok lain, termasuk kelompok saya. Entahlah, walaupun saya masih suka
begidik menatap banyak mata, keinginan untuk membacakan untaian kata dan
imajinasi tetap tinggi. Seolah keinginan itu sudah menjadi candu. Dapat
dipastikan, saya akan menyesal seumur hidup jika tak melakukannya.
Bermain kereta api
Ini kali ketiga saya berkumpul bersama teman-teman PEDAS.
Meski tergolong baru, mereka seolah tak memberi jarak kepada manusia-manusia lain
yang menyelusup ke dalam kelompok itu. Kami tertawa renyah, bercanda ringan,
berbagi kemanfaatan, dan berbagi keluh kesah. Gambaran ini sangat jauh dari
gambaran individualisme ibukota.
Entahlah, ide datang dari mana, kami bermain kereta-keretaan
sambil bernyanyi. Pengunjung lain yang menggelar tikar di sekitar, melihat,
menertawakan, dan mungkin mereka juga ingin bergabung. Haha…
Berfoto bersama pemenang games (dokumen: PEDAS) |
Permainan itu diselingi bermain kalimat,
pantun, sampai menyambung kata. Percaya tidak, games yang saya mainkan adalah
kombinasi aneh dari beberapa permainan. Yang kalah dalam games tereliminasi
sampai didapatkan tujuh orang yang tersisa. Ketujuh orang itulah yang berhak mendapatkan
hadiah spesial dan saya termasuk di dalamnya.
Puisi tunggal
Sore menuai, langit masih biru bersih. Suasana makin riang
meski cukup melelahkan. Mbak Elisa mengumumkan babak terakhir kegiatan itu.
“Bacakan puisi secara individu yang telah kalian siapkan!” katanya. Saya telah menyiapkan satu
judul puisi karya Afrizal Malna, favorit saya. Puisi itu sudah saya siapkan
jauh-jauh hari dan saya sempat merekamnya dan mengunduhnya di soundcloud.
Jadi, saya juga sudah menghapalkannya sejak saya masih belum ada di Jakarta.
Belum cukup hapal sih, tapi minimal 70% saya bisa membacanya tanpa mengintip.
Saya terheran-heran dengan teman-teman, sampai serore itu,
mereka masih memiliki energi untuk berteriak lantang. Teman-teman membacakan
puisi yang mereka siapkan dengan baik. Saya sangat cemburu. Untuk itu saya
harus mencuri banyak keberanian mereka. Hihi… Yang jelas, anggap saja saya
sukses membacanya.
Mbak Elisa Koraag pun unjuk gigi |
Sore beranjak tetapi langit makin membiru. Awan-awan membentuk
komunitas-komunitas sendiri. Tugu berujung logam mulia makin mencolok
kelihatannya. Pembacaan puisi tunggal masih bergulir. Boneka Marsha dan
ondel-ondel seliweran. Salah satu boneka Marsha sukarela menjadi model
pembacaan puisi saat itu. Sore dan lelah yang terasa tiba-tiba
lenyap. Kelakuan Marsha membuat terpingkal padahal puisi yang dibacakan rekan
saat itu tidak bertema lelucon. Sungguh luar biasa, rekan saya tak terpengaruh.
Ia tetap konsisten, menghayati setiap kata yang muncul di atas kertas putih
yang ia genggam. Pembacaan berakhir dan ditutup dengan penyerahan hadiah kepada
pembaca terbaik. Tentu saja bukan saya pemenangnya. Hehe…
Personel pria anak PEDAS |
Parade puisi berakhir dengan mencuatnya kamera dari berbagai
kantong ke permukaan udara. Tandanya semua orang berebut masuk ke dalam satu
layar kotak berulang kali. Sebelum benar-benar petang, sesi mengabadikan momen
tampak mengasyikkan. Yah, kelelahan terbayar sudah. Meski kekurangan di
berbagai sisi timbul, itu tak mengurangi renyahnya tawa yang diedarkan kepada
langit Monas senja itu. (Uwan Urwan)
Comments