Menikmati malam di ibukota memang menyenangkan. Lampu-lampu yang mewarnai pinggir jalan saling memamerkan diri. Gedung-gedung tak hanya berdiri megah, tetapi juga menawarkan tingkatan sosial. Berjalan kaki di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, membuat saya terkagum-kagum. Beragam manusia berpakaian necis dan mobil-mobil mewah membanjiri area itu.
Waktu itu, 10 Februari 2015, saya usai menghadiri Go Jek
Bloggers Gathering dan masih ingin menghabiskan malam di pusat keramaian. Namun,
ada hal lain yang lebih menghawatirkan. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Itu berarti saya tak punya cukup waktu untuk sendirian
menikmati udara malam. Saya harus kembali ke Depok menggunakan kereta Commuter Line. Butuh waktu sekitar dua
jam untuk sampai di kamar terhangat di dunia dan menggelepar tak berdaya di
atas kasur.
Bersama teman-teman blogger (Kredit: Go Jek) |
Saya membayangkan antrian busway di halte memadat. Pasti
akan sangat jenuh apalagi menunggu busway yang tak jua datang. Beruntung,
sepulang gathering, saya dan
teman-teman blogger dibekali voucer Go Jek. Saya melihat beberapa orang
berpakaian hijau dengan label Go Jek. Kemudian saya menggunakan fasilitasnya
menuju Stasiun Sudirman.
Nadiem Makarim, CEO & Founder GO-JE (tengah) dan tim (Kredit: Go Jek) |
Berbeda dengan ojek biasanya, supir Go Jek memiliki jaket
dan helm khusus berwarna hijau. Saya rasa ini revolusi yang cerdik, seperti
yang terjadi pada tahun 2004 silam saat busway (transjakarta) beroperasi. Kebetulan
saya tergolong yang anti-berojek kecuali terpaksa. Biasanya pengojek suka usil
memberi tarif sekenanya dan kadang pura-pura tidak mengerti jalan. Bukan sampai
tujuan dengan cepat, malah harus berputar-putar di jalan yang saya juga tidak
mengerti. Tak hanya itu, pengojek juga memaksa meminta bayaran lebih jika
kesulitan menemukan alamat yang dituju. Tidak semua tukang ojek begitu sih,
tetapi saya lebih memilih untuk berjalan kaki atau naik angkutan lain jika
tidak terpaksa.
Abdul Hair, pengojek yang mengantar saya |
Go Jek menggunakan tarif berdasarkan jarak tempuh sesuai
peta. Untuk memudahkan, download aplikasi Go jek terlebih dahulu melalui
playstore. Dengan aplikasi tersebut, Go Jek memberikan transparansi pembayaran
sesuai jarak tempuh. Minimal pembayaran Rp25.000 dan setelahnya dikenakan biaya
Rp4.000 per kilometer. Ini jauh lebih murah ketimbang berlama-lama negosiasi
dengan tukang ojek dan selalu berakhir dengan membayar mahal.
Meskipun si pengojek salah arah selama perjalanan dan mengambil
jalan lain yang lebih jauh, tarif yang dikenana tetap sesuai yang tertera di
layar. Waktu itu, Abdul Hair, tukang ojek yang mengantarkan saya keasyikan
mengobrol. Akibatnya kami harus berbalik arah, mencari jalan berputar beberapa
kali untuk sampai di Stasiun Sudirman. Meski saya menolak untuk diantar tepat
di depan pintu stasiun lantaran kasihan jika nanti harus berputar arah kembali,
ia tetap teguh mengendarai motornya.
Cara ini terbilang cukup efektif untuk melawan kemacetan di
kota Jakarta. Apalagi kendaraan bermotor lebih fleksibel. Tinggal membuka
aplikasi melalui perangkat telepon pintar di rumah, mencari pengojek, dan
menentukan lokasi pemberhentian via online, Anda dapat tiba di lokasi lebih
cepat dengan fasilitas masker gratis. Jika Anda memiliki ketergantungan dengan
ojek di Jadebotabek, Go Jek dapat menjadi andalannya. Selamat mencoba! (Uwan Urwan)
Comments