Beberapa tahun silam saat berdiskusi dengan senior tentang
puisi saya seperti bocah yang tak bisa berhenti bertanya. Saya memang sudah
menggeluti dunia tulis-menulis puisi sejak usia 14 tahun. Itu pun disebabkan
rekan yang rajin ke perpustakaan sedang berdiskusi tentang sastra.
Tergelitiklah saya. Diam-diam menculik ilmu dari buku-buku kumpulan puisi
Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lain. Saya ingat betul jika tulisan
saya waktu itu masih seputar daya khayal ‘ingin seperti penyair-penyair besar’.
Sayangnya saya tidak memiliki dokumennya. Semua puisi sudah saya ubah berulang
kali dan pada akhirnya raib tanpa jejak.
Dengan banyak berdiskusi dengan senior saat kuliah, saya pun
menjadi paham. “Puisi itu yang terpenting rasa. Percuma bahasa bagus dan
sistematika top, tetapi tidak ada rasa,” katanya waktu itu.
Dari situ saya belajar kembali. Membaca dan memperhatikan
penyair-penyair dalam karyanya. Bahkan saya sempat meng-add orang yang saya
tahu dia sering memenangkan lomba kepenulisan. Tak cuma berniat menambahkan
sebagai teman, tetapi juga mengirimkan pesan beraneka ragam. Setelah beberapa
waktu menunggu, saya harus menelan kekecewaan. Tidak ada respon dari orang
tersebut.
Entah angin apa yang berhembus, tiba-tiba saya mendapat
kabar jika memenangkan lomba menulis puisi di tingkat fakultas. Tentu saja saya
bahagia. Meskipun dalam wilayah yang kecil, saya berhasil mengalahkan beberapa
peserta (patut sombong gak sih? Hehe…)
Apakah puisi saya sudah memenuhi kriteria “punya rasa”?
Jawabannya mungkin ‘iya’. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa menang? Hehe…
Saya sih punya trik untuk membangun rasa dalam berpuisi. Eh, bukan berarti
puisi-puisi saya sukses membangun ‘rasa’. Saya masih belajar dan itu terbukti
saya tidak pernah menang setelah keberhasilan kecil itu. Jadi, santai saja.
Tulisan saya belum bisa sebagus Afrizal Malna atau Sapardi Djoko Darmono.
Saya mulai mengerti tentang ‘rasa’ saat membaca karya-karya
Afrizal Malna. Oleh sebab itu, saya jatuh cinta pada puisi-puisinya. Boleh saya
membagikan tips? Tips ini saya rangkum setelah belajar juga dari penyair lain.
Saya punya banyak referensi penyair yang menurut saya harus diculik ilmunya
(ingatkan saya, dan akan saya tulis dalam artikel mendatang).
1. Jangan terlalu lama berpikir.
Pernah ikut test kepribadian yang menyarankan untuk tidak
berpikir lama untuk menjawab? Menulis puisi pun begitu. Puisi sebenarnya tidak
membutuhkan alur seperti cerpen atau novel, tidak membutuhkan kerangka, tidak perlu
memikirkan berapa tokoh yang akan masuk, dan lain-lain. Tulis apa yang sedang
ada di benak saat itu juga dan hubungkan dengan topik yang akan diangkat.
Secara psikologis, hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah sesuatu yang
jujur.
Saya melakukan itu sejak menemukan buku esai karya Refly
berjudul ‘Bahasa Estetika Postmodernisme’ karya Refly.
Jika kamu ingin menulis puisi tentang cinta, tetapi tiba-tiba terlintas kata
“galon”, tulis saja galon. Tidak masalah juga kalau kamu melihat kucing sedang
menyusui dan ingin menuliskannya dalam puisi itu. Saya beri contoh.
Aku mencintaimu dalam
sembilu
Galon-galon yang kau
tuang ternyata berisi hati merah muda
Kau mengalirkan darah
ke dalam leher-leherku
Bersama senja dan aku
bergelut dengan tanganmu
Lihat, kucing yang
sedang menyusui anaknya sedang menatap kita
Mungkin ia cemburu
karena telah ditinggal lelakinya
2. Jangan pikirkan pembaca.
Tulis saja. Jangan memikirkan orang lain. Orang lain tidak
ada hubungannya dengan puisi yang sedang dibuat. Mereka hanya akan membaca dan
memberi pujian atau celaan. Trust me.
Setiap karya memiliki penikmatnya sendiri-sendiri. Apa yang bagus buat mereka
belum tentu sesuai dengan pribadi. Enjoy
saja.
3. Jangan dibiasakan mengedit selama menulis.
Tulis saja semua yang sedang berkecamuk di kepala. Jangan
diedit selama proses menulis. Pemilihan diksi, kesalahan ejaan, dan pronomina
bisa dilakukan setelah tulisan itu rampung. Yang terpenting jangan biarkan satu
kata terlewatkan saat melintas di kepala. Hargai anugerah yang telah Tuhan berikan.
Setiap kata itu punya nyawa.
4. Mengedit puisi bukan merombak keseluruhan
Jika sudah rampung, baca kembali. Perbaiki kesalahan dan
jika terlihat monoton, kata itu bisa diganti dengan kata lain yang semakna.
Saya sering menemukan tulisan saya yang tidak berhubungan antara bait yang satu
dengan yang lain. Saya hanya menambahkan kata atau frasa. Saya tidak merombak semua
kata dalam satu bait, hanya sebagian kecil. Jika itu dilakukan, saya yakin
pesan yang akan disampaikan bisa berubah.
5. Gunakan kata kerja aktif.
Ini ajaran saat saya bekerja sebagai wartawan di sebuah
majalah pertanian paling ngehits di Indonesia. Hehe… Saya diajarkan untuk menghindari
memakai kata kerja pasif dalam menulis. Tapi memang benar, penggunaan kata
kerja pasif dalam tulisan membuat saya malas membaca, seperti buku-buku teks
yang membuat cepat mendatangkan kantuk.
6. Temui gaya sendiri.
Ada beberapa penyair yang saya temui (bukan penyair tersohor
ya) terlalu ingin terlihat spesial. Dibuatkan puisi sedemikian rupa sampai saya
pun kadang tidak paham arahnya mau kemana. Sah-sah saja sih sebenarnya. Its your life. Namun, kesannya seperti
tidak punya jati diri. Terlihat meniru dan menjadi hambar. Entah itu ada tanda
baca tertentu yang disisipkan atau menghilangkan tanda baca yang seharusnya
ada. Atau, demi apa juga saya kurang paham, setiap bait dibuat berima. Saya
harus mengatakan bahwa membuat puisi yang berima itu sulit. Butuh kelihaian
untuk membuatnya terlihat halus dan tidak memaksa harus berima. Dan saya salut
untuk yang berhasil. Hehe…
7. Pronomina itu penting
Dunia begitu kaya akan kata-kata. Sebaiknya tidak
menggunakan kata yang sama dalam satu bait jika tidak terpaksa, misalnya
menggunakan subjek ‘aku’ dari awal sampai akhir puisi. Atau menggunakan kata
kerja yang sama berulang kali. Buka kamus dan carilah kata yang bermakna
sejalan, sebagai contoh melihat, menatap, menyelidik, menonton, melirik,
menajamkan penglihatan, dan lain-lain. Jika memang tidak ada kata lain,
penggunaan bahasa daerah juga bisa menjadi bumbu segar asal diberi penjelasan
arti di bagian akhir puisi.
9. Feel Your heart
Momen yang paling pas untuk mendapatkan ‘rasa’ dalam puisi
adalah saat galau. Tak peduli seberapa sederhananya tulisan itu, tapi jika kita
sedang galau, sedih, bahagia, atau merasakan sesuatu yang berlebih, pesannya
akan sampai. Jangan ada yang ditahan. Ciptakan bahasa sendiri juga bagus untuk
membuat puisi tidak terlalu lugas.
10. Jangan lupakan majas
Yang saya perhatikan selama ini, majaslah yang punya peran
penting untuk menciptakan rasa. Penganalogian manusia dalam bentuk benda,
perumpamaan perasaan, atau pengungkapan sindiran yang cerdik memberi kesan bagi
pembaca. Tak perlu mengafal nama-nama majas kalau memang tidak mampu, cukup
memahami saja majas yang pernah diajarkan di sekolah.
11. Lupakan aturan lama
Tampaknya poin ini yang bisa membuat saya ditimpuk penyair
yang mati-matian mempertahankan aturan puisi lama. Hehe.. saya harus meminta
maaf dulu sepertinya. Kenapa saya menyarankan ini? Aturan lama yang akan
membuat otak akan berpikir lebih lama, sehingga ada banyak kata-kata yang
terbuang dari kepala. Sementara kata-kata yang spontan muncul itu adalah harta
tak ternilai. Sudah pernah mengalami kehilangan ide? Saya yakin iya. Saya masih
mengalaminya kok. Penyebabnya adalah kita yang suka tidak memedulikan kata yang
muncul di kepala. Misalnya saja memikirkan rima. Semua kata di belakang harus bernada
a-a-a-a atau an-in-an-in. Wasting time
menurut saya jika kamu hanya ingin curhat. Berbeda lagi jika kamu sedang
mengikuti perlombaan yang mengharuskan sesuai dengan aturan ini itu. Namun,
jika kamu terbiasa menggunakan rima, lanjutkan saja. Poin ini bisa dihapus,
tapi kamu harus belajar ekstra untuk membuat puisi jenis seperti itu nikmat
saat dibaca.
12. Jangan terlalu memikirkan akhir.
Poin kedua dan ketiga masuk juga di sini. Yang terpenting
tulis saja. Berhentilah saat suda tidak ada kata-kata lagi yang ingin ditulis.
Baca kembali. Apakah sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan? Jika belum, tambahlah
beberapa baris di akhir sebagai penutup.
Jika sudah melewatkan semua poin, share tulisan kamu di media sosial atau di grup. Tag orang-orang
yang memiliki hobi serupa. Mintalah saran dan kritik. Berbanggalah jika ada
yang mengkritik. Itu adalah saat di mana kamu benar-benar belajar. Lupakan
pujian untuk sementara waktu. Pujian hanya mematikan rasa ingin tahu. Jangan defensed begitu dikritik. Kritikan itu
guru terbaik lo. Tak perlu menyela atau membela diri saat seseorang benar-benar
mempertanyakan isi puisi kamu. Banyak sekali penyair yang membuat saya malas
berkomentar saat memosting karya. Perna saya kritik postingan teman dan
berakhir dengan jengkel. “Ini gaya saya, jadi mungkin Anda tidak bisa
mengerti!”, ”Enggak, bukan begitu. Itu memang sengaja saya tulis seperti itu
biar bla.. bla.. bla…”, “Kamu tahu apa soal sastra?”, dan banyak sekali
contohnya. Hihii… kesal bukan, begitu orang itu minta kritik tapi membalas
seolah-olah kritikan kita yang salah besar. Hihihi…
Sudah ya. Sepertinya saya banyak melenceng dari tujuan utama
postingan ini. Good luck! (Uwan
Urwan)
Comments