Dari balik dinding kaca
ruang tamu, kuperhatikan seorang laki-laki berusia seperdua abad membongkar isi
perut sepeda motor. Wajahnya penuh keringat, begitu pun tangannya yang tak
berupa. Penuh tanda-tanda hitam dari darah organ-organ benda bermesin itu.
Laki-laki itu mengotak-atik, membersihkan bagian kotor, menjahit yang luka,
memastikan saraf-sarafnya masih berfungsi, lalu menempatkan kembali perkakas ke
dalam tempatnya semula. Kemudian ia mencoba menyalakan alat transportasi itu.
Begitu nyala, ia memastikan makhluk berbahan bakar itu berada dalam kondisi
fit. Barulah ia akan berkata, “Sudah.” Pemilik motor kemudian akan menyerahkan
beberapa lembar rupiah kepada laki-laki itu.
Pria itu menghela napas dan
berdiri, memperhatikan sejumlah pelanggan lain yang menunggu gerakan tangannya
untuk membenarkan kerusakan pada motor-motor mereka. Masih ada tiga orang yang
menunggu. Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 WIB. Waktu sarapan telah lewat.
Padahal biasanya ia bersantap bersama istri tercinta sekitar pukul 08.00—09.00
WIB. Ia tak lagi merasa lapar. Wajah-wajah yang menanti uluran tangannya telah
menghilangkan hasrat untuk makan. Ia harus menjadi dokter yang bertanggung
jawab kepada pasien-pasiennya.
Laki-laki itu bapakku. Orang
yang menyumbangkan satu sel sperma untuk proses peleburannya dengan sel telur
perempuan yang paling dicintainya. Takdir memang seringkali tidak masuk akal.
Aku tak mengerti kenapa Tuhan menciptakan aku menjadi manusia paling beruntung
yang selalu merasa buntung di dunia.
Akhirnya pria itu beralih ke
pasien lain. Mungkin agak sekarat atau mungkin penyakitnya lebih ringan. Aku
tak tahu. Sama sekali aku tak mengerti otomotif. Bila ada seseorang yang
bertanya tentang jenis motor, merek kendaraan, bagian-bagian tubuh motor, aku
hanya bisa menganga dan menggelengkan kepala. Dan biasanya berakhir dengan
tanggapan, “Bagaimana sih. Bapakmu kan montir?” Aku hanya tersenyum dan
seringkali hening untuk beberapa saat lamanya.
Tiba-tiba aku teringat saat
ia berkata, “Kamu harus mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan
Bapak.” Air mataku menitik mengenangnya. Waktu itu Bapak bercerita tentang kehidupannya
dulu. Karena keterbatasan biaya, ia harus putus sekolah saat sedang menempuh
pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Aku tak tahu bagaimana rasanya putus
sekolah, tetapi aku pernah merasakan bagaimana berjuang mati-matian untuk
melanjutkan belajar di sebuah universitas ternama. Aku tahu bagaimana
perjuangan Bapak untuk membuat anaknya mendapatkan sesuatu yang lebih hebat
dibandingkan dirinya. Minimal, doanya terkabul meskipun aku bukan golongan
ber-IPK cumlaude.
Kemudian ia bekerja di bawah
naungan orang keturunan tiongkok sebagai montir. Bertahun-tahun ia mengabdi
sebagai anak buah yang dididik keras oleh tuannya. Aku pernah menemukan buku
tua hasil fotokopi dengan ratusan lembar, kurasa lebih dari 200 halaman. Isinya
tentang ilmu permotoran, mulai dari pengenalan mesin, perangkat, kerusakan-kerusakan,
dan bagaimana cara memperbaikinya. Di dalamnya terdapat banyak gambar, diagram,
dan ah… aku benar-benar tidak ingat lagi. Aku yakin kalau Bapak sudah hatam
mempelajarinya.
Bertahun-tahun Bapak ditempa
kemudian lepas dan mendirikan bengkel kecil. Waktu demi waktu berlalu, ia telah
mendapatkan kepercayaan dari banyak pelanggan. Mendengar suara dan gerak-gerik
motor pun, ia sudah bisa mendeteksi bagian mana yang mesti dibenahi. Biaya yang
dibebankan pun ringan, sehingga pasien-pasien berdompet tipis bisa dengan lega
menggunakan jasa Bapak.
Aku kini tak lagi dapat
menatapnya dari balik kaca ruang tamu. Aku telah tinggal jauh darinya dan rindu
sering kulupakan. Namun, aku sering memikirkannya. Tangan-tangannya yang gigih,
kaki-kakinya yang retak-retak, rambutnya yang kian habis, dan dekapan hangatnya.
Ah tahu tidak, seumur hidup aku baru tiga kali memeluk tubuhnya. Ah, pelukannya
sangat menenangkan. Pelukan itu juga mendamaikan.
Aku tak pernah tahu apa yang
dia pikirkan. Yang aku tahu, garis-garis wajahnya mengajarkanku tentang cinta.
Cinta yang tak tampak, tetapi selalu hadir dalam doa-doa. Lalu aku sadar,
kenapa Bapak tak pernah mengajarkanku bagaimana cara memegang obeng,
bersentuhan dengan oli, dan terpaksa tertumbuk palu saat bekerja. Aku tahu…. Karena
dia mencintaiku. (Uwan Urwan)
Comments