Eis, perempuan berusia 55 tahun, sedang mendekap tasnya pada
suatu siang, 4 Maret 201,5 di Bandung. Ia menatap ke depan dengan tegas, tetapi
matanya sayu. Ia menerawang ke dalam masa-masa yang tak elok, di mana setiap
hari ia harus menitikkan air mata, menahan sesak saat mengintip kehidupannya.
Eis duduk di sebuah kursi sebuah ruang pertemuan. Tak
beberapa jauh darinya, seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun sedang
bermain-main. Entah apa yang dimainkannya, Eis sesekali memperhatikan bocah itu
(cucunya). Aria, nama anak itu menderita penyakit yang paling ditakuti manusia,
AIDS. Mendengarnya, saya langsung terhenyak. Dalam hati saya hanya bisa
bertanya, “Serius?”
Kredit : www.blitarkab.go.id |
Kutelisik anak itu. Warna kulitnya sawo matang, badannya
ringkih, pipinya cekung, dan rambutnya cepak, tetapi dari sorot matanya
terpancar harapan. Harapan yang membuat Eis tetap mendekap tubuhnya. Sang
nenek kemudian terisak ketika ia mengutip perkataan Aria, suaranya agak bergetar, “Nanti kalau
Nenek sakit, aku gendong ke rumah sakit.” Bahkan, beberapa kali ia curi-curi
waktu mengamen bersama teman-temannya dan meminta neneknya berhenti bekerja.
Saya terharu mendengar itu, karena saat anak-anak seusianya lebih memilih bermain,
ia telah berpikir untuk bekerja dan melindungi orang lain.
Aria belum dapat
bersekolah karena sering sakit. Maklum, kadar CD4 dalam darahnya hanya 9 sel
per mm3. Sementara orang normal, kadar CD4-nya 500—1600 sel per mm3.
CD4 adalah salah satu sel darah putih yang berperan dalam sistem kekebalan
tubuh manusia. Dengan kadar serendah itu, tubuh Aria rentan sakit. Mandi pun
dapat menyebabkan flu berkepanjangan. Untuk meningkatkan kadar CD4 dalam
darahnya, ia harus rajin minum obat ARV setiap hari dan makan-makanan bergizi.
Petaka Berlipat
Masa-masa buruk hidup Eis berawal dari anaknya yang mengidap
HIV positif. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Eis melewati hari-harinya,
sementara semua anggota keluarga mengucilkan. Bahkan pada tahun 2008, saat
anaknya meninggal, tak satu pun anggota keluarganya hadir. Ditemani tiga orang
hansip, ia menahan isak. Tentu perasaannya saat itu teraduk-aduk, berkecamuk, dan mungkin hendak berteriak. Saat musibah
mendera, tapi tak seorang pun dari anggota keluarganya peduli hanya gara-gara invasi virus imunodifisiensi di dalam tubuh anaknya. Awalnya saya
tidak percaya mengenai pengucilan terhadap penderita AIDS, tetapi realitanya
begitu. ODHA dianggap sebagai manusia laknat yang patut dijauhi, padahal sebenarnya tidak.
Belum cukup di situ, tahun 2014 ia dihadapkan kenyataan
lain. Ibu Aria juga meninggal karena AIDS sekaligus kanker otak. Selain merawat
Aria, Eis pun harus banting-tulang menjadi kepala rumah tangga karena suaminya
pun terkapar stroke. Bekerja di sebuah kantin, Eis menahan dirinya untuk sakit.
Jelas jika ia masih tampak bugar dan sehat. Saya pun tak percaya mulanya jika dia adalah
nenek Aria. Perawakannya terlalu muda untuk disebut nenek. “Kerja dari pagi sampai sore tidak terasa capainya. Pulang ke rumah,
baru punggung terasa ngilu,” katanya.
Harus diakui, Eis termasuk salah satu wanita baja yang saya
temui. Ia memikul beban yang tidak dipanggul orang lain dan tak satu pun yang
hendak meringankan muatan yang ia bawa. Tidak sampai di situ, awal tahun 2013 Aria
didiagnosis TB (tuberculosis). TB adalah penyakit menular terberat di dunia.
Indonesia mendapat peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.Menurut WHO,
TB menjadi penyebab utama kematian tertinggi pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). “Mangkanya saya suka nangis kalau melihat Aria,” celetuknya saat bercerita. Dengan
tekun ia rawat Aria sampai sembuh TB. Ia juga menderita TB, sehingga proses
pengobatan beriringan dengan kesembuhan Aria. Selain mengonsumsi Antiretroviral
(ARV), Aria juga harus mengonsumsi obat TB rutin setiap hari. Saat saya
berkunjung ke Rumah Sakit Hasan Sadikin di Bandung, dokter menunjukkan beberapa
macam obat yang bagi saya berukuran cukup besar, kira-kira sebesar ujung
telunjuk orang dewasa dan jumlahnya tidak sedikit. Bisa dibayangkan berapa banyak jumlah obat yang harus ia minum bersamaan dengan ARV.
Kredit : www.newindianexpress.com |
Pengobatan dengan ARV dapat menekan angka kematian, kesakitan,
menjadi jarang rawat inap, memperbaiki kualitas hidup, dan ODHA dapat
beraktivitas dengan normal. Obat untuk TB dan ARV harus rutin diminum. Jika
tidak, spesies tuberculosis akan
resisten. Artinya, dosis obat akan bertambah dan pengobatan lebih sulit. Begitu
juga dengan ARV yang tidak boleh sehari pun bolos. Haram hukumnya. Sebagai
orang yang malas mengonsumsi obat, saya hanya bisa takjub sekaligus sedih. Saya
patut bersyukur atas kesehatan yang Tuhan berikan. Dengan sabar, sembilan bulan
kemudian Aria dan nenek sembuh dari TB. Namun, Aria masih harus mengonsumsi ARV
untuk menstabilkan antibodinya.
Perjuangan yang berat menurut saya. Bahkan kisah hidup saya
tidak sesulit itu, tetapi saya jarang bersyukur. Aria dan Eis adalah salah satu
kasus di dunia dengan kehidupan pilu. Tapi saya yakin jika Tuhan telah menunjuk
mereka untuk mengabarkan cinta dan kesabaran kepada banyak orang. Cinta yang
tak mengenal rupa, materi, dan kegemilangan hidup. Sosok sederhana yang
menginspirasi dan saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang luar
biasa menampar saya cukup keras. (Uwan
Urwan)
NB :
Mohon maaf, saya sengaja menyamarkan nama dan tidak
menampilkan foto Eis dan Aria. Beberapa kisah lanjutan mengenai testimony beberapa
penderita TB akan menyusul.
Sumber :
Natalia Wulan Dhari, 2010, Model Jumlah Sel Cd4 Penderita HIV
Berdasarkan Fungsi Hazard, Universitas Sebelas Maret, Surakarta (Skripsi)
aids-rspiss.com
spiritia.or.id
Comments