Sehektar lahan di Kecamatan Wringin Anom, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, mendadak terbakar. Api-api melahap habis dedaunan kering yang bertumpukan. Asap-asap melambung ke udara menyisakan jelaga dan arang.
Pemilik memang sengaja membakar lahan itu, sebab tebu-tebu telah habis dipanen. Dua orang pekerja dengan lihai menumpuk serasah dan menyulut api. Beberapa saat kemudian... boom... api merambat cepat.
Membakar serasah
Ternyata budaya membakar sisa hasil panen di sawah masih terjadi di kampung saya. Padahal, limbah panen merupakan bahan organik terbaik untuk pupuk. Saya mencoba menganalisa sedikit mengapa hal ini masih membudaya. Pertama, manusia ingin sesuatu yang serba cepat dan tidak merepotkan. Kedua, pengetahuan mengenai pemanfaatan serasan belum didapatkan dan gaptek. Ketiga, bisa jadi sudah mengerti tapi masa bodoh. Hehe..
Setelah mencari informasi, membakar sisa hasil panen sebaiknya dihindari. Banyak kerugian yang didapat petani. Pembakaran menghasilkan asap. Asap mencemari udara (sudah jelas), organisme dan tanaman berguna (pengikat oksigen, misalnya) mati, hilangnya potensi pupuk organik, dan kematian musuh alami untuk hama.
Pembakaran juga dilarang pemerintah. Itu sesuai dengan UU nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan pasal 25 ayat 1, bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya dan pasal 26 mengamanahkan agar setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan hal itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian dan Departemen Perkebunan punya solusi untuk memanfaatkan limbah hasil panen. Saya pernah bertemu beberapa petani binaan pemerintah yang menerapkan sistem organik. Mereka mengaku beruntung dapat memanfaatkan bahan-bahan sekitar. Selain ekonomis, keuntungan materi lebih besar. Jika Anda kesulitan menerapkannya, berkunjunglah ke departemen terdekat. Mereka akan mencatat keluhan masyarakat untuk ditindaklanjuti. Bersabarlah bila responnya cukup lama. (Uwan Urwan)
Ternyata budaya membakar sisa hasil panen di sawah masih terjadi di kampung saya. Padahal, limbah panen merupakan bahan organik terbaik untuk pupuk. Saya mencoba menganalisa sedikit mengapa hal ini masih membudaya. Pertama, manusia ingin sesuatu yang serba cepat dan tidak merepotkan. Kedua, pengetahuan mengenai pemanfaatan serasan belum didapatkan dan gaptek. Ketiga, bisa jadi sudah mengerti tapi masa bodoh. Hehe..
Setelah mencari informasi, membakar sisa hasil panen sebaiknya dihindari. Banyak kerugian yang didapat petani. Pembakaran menghasilkan asap. Asap mencemari udara (sudah jelas), organisme dan tanaman berguna (pengikat oksigen, misalnya) mati, hilangnya potensi pupuk organik, dan kematian musuh alami untuk hama.
Pembakaran juga dilarang pemerintah. Itu sesuai dengan UU nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan pasal 25 ayat 1, bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya dan pasal 26 mengamanahkan agar setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan hal itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian dan Departemen Perkebunan punya solusi untuk memanfaatkan limbah hasil panen. Saya pernah bertemu beberapa petani binaan pemerintah yang menerapkan sistem organik. Mereka mengaku beruntung dapat memanfaatkan bahan-bahan sekitar. Selain ekonomis, keuntungan materi lebih besar. Jika Anda kesulitan menerapkannya, berkunjunglah ke departemen terdekat. Mereka akan mencatat keluhan masyarakat untuk ditindaklanjuti. Bersabarlah bila responnya cukup lama. (Uwan Urwan)
Comments