Bila pagi tiba
langkah kaki terasa hampa
menatap lorong waktu yang selalu salah
Bila pagi tiba
semua aktivitas menyambut dengan indah
berharap bisa jadi penenang sebelum malam tiba
langkah kaki terasa hampa
menatap lorong waktu yang selalu salah
Bila pagi tiba
semua aktivitas menyambut dengan indah
berharap bisa jadi penenang sebelum malam tiba
Cuplikan penggalan puisi 'Bila' karya Gusti Trisno dalam bukunya terasa mengalun. Apalagi jika ditemani secangkir teh kayu manis hangat. Coba bayangkan aromanya, manis dan hangat di tenggorokan. Bila sudah dicerna, kandungan aktifnya akan mendamaikan kerja otak.
Puisi itu tersemat dalam buku tunggalnya 'Ajari Aku, Bu'. Lahir bulan Agustus 2015. Sebagai orang yang sehobi dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jember itu, saya mengapresiasi kelahiran karyanya. Terlebih Gusti terlahir di kabupaten yang sama, Situbondo.
Puisi Gusti cukup renyah dan sederhana. Tidak butuh mengernyitkan dahi untuk memahami isi lantunan goresan tangannya. Saya hanya perlu sejam untuk melahap habis seluruh muatan kumpulan puisinya. Dibalut dengan sampul ibu bertudung bersama bayinya karya Ahmad Sufiatur R, buku ini pas dengan konsep kesederhanaannya.
Ketika saya membuka lembar tiap lembar buku Gusti, saya teringat konsep tata letak Majalah Horison, meski beberapa bagian dan halaman benar-benar disayangkan untuk dibiarkan tidak berisi. Bagi saya, puisi itu bagian dari cuplikan-cuplikan hidup yang dimampatkan. Setiap gelora dan emosi bisa tumpah ruah di dalamnya. Namun, ketika pemuisi mengekspresikannya melalui tulisan, bentuknya berbeda-beda. Mari simak 'Hujan Bulan Juni' karya Sapardi Djoko Darmono.
Puisi itu tersemat dalam buku tunggalnya 'Ajari Aku, Bu'. Lahir bulan Agustus 2015. Sebagai orang yang sehobi dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jember itu, saya mengapresiasi kelahiran karyanya. Terlebih Gusti terlahir di kabupaten yang sama, Situbondo.
Puisi Gusti cukup renyah dan sederhana. Tidak butuh mengernyitkan dahi untuk memahami isi lantunan goresan tangannya. Saya hanya perlu sejam untuk melahap habis seluruh muatan kumpulan puisinya. Dibalut dengan sampul ibu bertudung bersama bayinya karya Ahmad Sufiatur R, buku ini pas dengan konsep kesederhanaannya.
Ketika saya membuka lembar tiap lembar buku Gusti, saya teringat konsep tata letak Majalah Horison, meski beberapa bagian dan halaman benar-benar disayangkan untuk dibiarkan tidak berisi. Bagi saya, puisi itu bagian dari cuplikan-cuplikan hidup yang dimampatkan. Setiap gelora dan emosi bisa tumpah ruah di dalamnya. Namun, ketika pemuisi mengekspresikannya melalui tulisan, bentuknya berbeda-beda. Mari simak 'Hujan Bulan Juni' karya Sapardi Djoko Darmono.
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Sapardi sangat luwes memainkan kata. Lema yang lahir melalui tangannya tampak gagah meski terasa sendu. Saya tidak harus mengerti maknanya untuk merasakan emosi Sapardi. Alunannya menjadi emosi tersendiri bagi pembacanya. Selain Sapardi, coba baca puisi Afrizal Malna yang berjudul 'Chanel OO' berikut.
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
Tahu tidak, setiap saya membaca karya Afrizal, saya dibuatnya terpana dengan pilihan diksi unik dan liar. Penyair luar biasa ini memang salah satu idola saya. Kadang saya dibuat berderai air mata saat membaca karya-karyanya, padahal tidak sedang menceritakan kisah sedih. Itulah kekuatan 'rasa' dalam puisi. Bagi saya, puisi yang sukses bagi saya itu yang punya 'feel'. Jika sudah begitu, pembaca tidak harus memahami apa isinya, sebab keindahan puisi ada saat saya tidak paham maknanya.
Kembali pada puisi Gusti, saya melihat dia sedang mengeksplor, seperti remaja yang mencari jati diri. Ada perbedaan struktur dan gaya menulis dari bagian awal sampai akhir, tapi tulisannya terlalu sederhana menurut saya. Kurang kompleks dan berklimaks. Kalau saja dia mampu memainkan kata dengan pronomina dan diksi-diksi lezat, puisi-puisinya akan lebih segar. Dalam tulisannya dia bertutur, seolah dia menganggap kertas-kertas dan media sosialnya sebagai teman, tapi bagi saya puisi bukan hanya sekedar kawan. Puisi itu lahir dari kedalaman hati dan rasa yang menggebu. Analoginya begini, jika seseorang marah berteriaklah, jika sedih menangislah, bila bahagia tertawalah. Puisi itu lebih intim ketimbang kawan. Cobalah untuk bersetubuh lebih nikmat dan rasakan setiap untai lema yang tanpa sadar keluar dari balik kepala.
Saya bukan pemuisi hebat, saya sama belajarnya dengan pria yang melahirkan buku ini. Karya ini hebat lo. Saya memang menemukan beberapa kekurang-enak-pandangan dalam buku ini, seperti kesalahan penggunaan EYD dan hehe... maaf.... halaman ucapan terimakasih tampaknya terlalu berlebihan jika menyebut banyak nama (meski kadang memang saya ingin berterimakasih kepada banyak orang). Saran saya sih, ucapan terimakasih bergabung dengan kata pengantar. Di luar kekurangan itu, saya sih bangga dengan terbitnya buku luar biasa ini. Saran saya yang lain, belilah buku ini sebagai inspirasi dan referensi. (Uwan Urwan)
Kembali pada puisi Gusti, saya melihat dia sedang mengeksplor, seperti remaja yang mencari jati diri. Ada perbedaan struktur dan gaya menulis dari bagian awal sampai akhir, tapi tulisannya terlalu sederhana menurut saya. Kurang kompleks dan berklimaks. Kalau saja dia mampu memainkan kata dengan pronomina dan diksi-diksi lezat, puisi-puisinya akan lebih segar. Dalam tulisannya dia bertutur, seolah dia menganggap kertas-kertas dan media sosialnya sebagai teman, tapi bagi saya puisi bukan hanya sekedar kawan. Puisi itu lahir dari kedalaman hati dan rasa yang menggebu. Analoginya begini, jika seseorang marah berteriaklah, jika sedih menangislah, bila bahagia tertawalah. Puisi itu lebih intim ketimbang kawan. Cobalah untuk bersetubuh lebih nikmat dan rasakan setiap untai lema yang tanpa sadar keluar dari balik kepala.
Saya bukan pemuisi hebat, saya sama belajarnya dengan pria yang melahirkan buku ini. Karya ini hebat lo. Saya memang menemukan beberapa kekurang-enak-pandangan dalam buku ini, seperti kesalahan penggunaan EYD dan hehe... maaf.... halaman ucapan terimakasih tampaknya terlalu berlebihan jika menyebut banyak nama (meski kadang memang saya ingin berterimakasih kepada banyak orang). Saran saya sih, ucapan terimakasih bergabung dengan kata pengantar. Di luar kekurangan itu, saya sih bangga dengan terbitnya buku luar biasa ini. Saran saya yang lain, belilah buku ini sebagai inspirasi dan referensi. (Uwan Urwan)
* Semua komentar dalam tulisan ini bernada subjektif.
Comments