Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di
dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya
luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin
kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan
membelai, dan jantung berdegub.
"Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin.
"Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra."
"Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak.
"Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi."
Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang banyak hal yang sebenarnya enggan kutinggalkan. Bahkan gelang karet hijau itu masih melekat di pergelangan tanganku. Kenangan tentang dia terlalu manis dan pahit dalam satu tegukan.
------
Sesampainya di Surabaya, saat ponsel kunyalakan, tersemat satu pesan whatsapp dari Rara, "Kalau boleh jujur, gue suka sama elu. Sebenarnya sudah lama dan tokoh Pak Bos yang kuceritakan padamu pun fiktif. Kalo elu sadar, laki-laki itu elu."
Sambil meneguk air mineral, kukatakan beberapa hal kepadanya, "Aku sadar itu. Untuk itu aku pergi. Antara aku dan kamu seperti bayangan, yang hanya akan terus mengikuti tapi tak dapat direngkuh."
Kemudian aku pergi, meninggalkan Bandara Juanda menuju Malang, kota kelahiranku tanpa pekerjaan atau pun cinta. Termasuk dia.... dia yang sedang bersama siapa kini.. ah entahlah... aku tak punya hak apa pun untuk memaksa seseorang memilihku, sebab aku tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa mencinta.
(END)
"Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin.
"Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra."
"Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak.
"Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi."
Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang banyak hal yang sebenarnya enggan kutinggalkan. Bahkan gelang karet hijau itu masih melekat di pergelangan tanganku. Kenangan tentang dia terlalu manis dan pahit dalam satu tegukan.
------
Sesampainya di Surabaya, saat ponsel kunyalakan, tersemat satu pesan whatsapp dari Rara, "Kalau boleh jujur, gue suka sama elu. Sebenarnya sudah lama dan tokoh Pak Bos yang kuceritakan padamu pun fiktif. Kalo elu sadar, laki-laki itu elu."
Sambil meneguk air mineral, kukatakan beberapa hal kepadanya, "Aku sadar itu. Untuk itu aku pergi. Antara aku dan kamu seperti bayangan, yang hanya akan terus mengikuti tapi tak dapat direngkuh."
Kemudian aku pergi, meninggalkan Bandara Juanda menuju Malang, kota kelahiranku tanpa pekerjaan atau pun cinta. Termasuk dia.... dia yang sedang bersama siapa kini.. ah entahlah... aku tak punya hak apa pun untuk memaksa seseorang memilihku, sebab aku tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa mencinta.
(END)
Comments