Kalau kata pepatah lama, carilah ilmu meskipun harus ke negeri Cina. Sebagian besar orang pasti setuju termasuk saya. Sebagai manusia udik dari kampung kecil di Kota Situbondo, Jawa Timur, perlahan saya hijrah ke arah barat, Malang. Saya kuliah empat tahun setengah di Universita Brawijaya. Buat saya nilai akademik tidak terlalu berharga ketimbang nilai-nilai yang saya dapatkan selama hijrah itu. Saya banyak bertemu orang dari berbagai daerah, yang notabene kebanyakan sama udiknya. Ya, gak semua udik. Kebanyakan sih sudah mengerti hingar bingar dunia.
Saya dan teman-teman Tau Dari Blogger berfoto bersama David Nurbianto |
Bertemu banyak orang itu menyenangkan. Bertemu dengan teman lama juga membuat riang. Tapi buat saya untuk belajar tentang hidup, manusia tidak boleh hanya berada di lingkungan yang sama sepanjang hayat. Waktu terus bergerak, perubahan akan terus terjadi. Setelah puas (sebetulnya belum) tinggal di Malang, jalan hidup saya menuntun untuk pergi ke barat yang lebih jauh lagi dari kampung halaman, Depok (dalam pikiran saya Depok itu Jakarta, walaupun secara geografis bukan)
Awal tahun 2013 saya kembali menjejak tanah baru, udara baru, suasana baru. Antara senang dan tidak, saya harus beradaptasi kembali di lingkungan baru. Lingkungan baru selalu membuat saya menerima budaya setempat. Lalu saya berpikir, ah Jakarta biasa aja. Tidak seseram cerita orang. Dan sejak menjelang akhir tahun 2015, saya benar-benar tinggal di Jakarta.
Antara Situbondo, Malang, Depok, dan Jakarta jelas beda. Sulit dijelaskan sih, tapi bagi saya tinggal di mana pun itu menyenangkan. Jakarta itu sudah bisa dibilang daerah dengan budaya kabur. Tanya saja perbandingan penduduk asli Jakarta dan jumlah pendatangnya. Orang dari berbagai suku datang dan sama-sama berjuang di sini. Orang betawi mulai menipis jumlahnya kalau pun ada, biasanya juga mereka menikah dengan orang berbeda suku yang kemudian secara tidak langsung jadi penduduk Jakarta. Aih, Jakarta juga dihuni oleh orang dari bangsa luar. Jadi tidak heran kalau orang-orang yang tinggal di Jakarta itu bermacam-macam. Coba saja menyusuri mall, pasar tradisional, atau tempat wisatanya, ada beragam jenis manusia kan?
Rupa-rupa Jakarta bertajuk Siape Bilang Anak Jakarta Gak Berbudaye |
Tak heran jika budaya daerah yang notabene betawi, terkikis. Gencarnya aliran budaya dari negara lain pun mempercepat penipisan budaya asli Jakarta. David Nurbianto, jebolan Stand Up Comedy Indonesia, melihat kekhawatiran ini. Ia merangkul beberapa orang untuk mengadakan kegiatan yang kembali mengangkat budaya Jakarta, Rupa-rupa Jakarta. Konsepnya mirip seperti Pekan Raya Jakarta, tapi pada acara ini benar-benar menyediakan hiburan asli betawi, baik dari kuliner, produk-produk, hingga keseniannya. Tentu saja kegiatan ini punya harapan besar untuk mengingatkan kembali dan memperkenalkan kepada anak muda bahwa budaya betawi itu tak kalah menyenangkan jika dibandingkan dengan budaya luar.
Acara ini didukung oleh banyak pihak, komedian senior, artis, teman-teman stand up comedy, dan pemerintah DKI Jakarta. Termasuk David Nurbianto juga akan ambil bagian dalam acara ini. Kapan sih acaranya? Bulan ini, pertengahan September 2016
Yang unik sih, teman-teman yang mendukung dan menjadi panitianya berasal dari berbagai suku. Ini juga jadi tamparan telak buat orang-orang yang mengaku berbudaya tapi hanya bisa mengkritik ke sana ke mari, no action talk only. Acara ini jelas akan seru dan tidak monoton. Saya percaya karena yang bergerak adalah generasi muda. Generasi muda tentu saja tahu bagaimana selera yang asyik untuk bisa dinikmati anak muda. Yang tua tentu aja akan terhibur juga, sebab budaya Jakarta yang tenggelam terangkat kembali. Bisa dibilang mengenang masa kecil. Acara ini akan digelar di Setu Babakan, Ciganjur, Jakarta Selatan. Setelah acara ini kira-kira budaya Jakarta akan dikemanakan? Jangan khawatir, David dkk sudah memperhitungkan itu. Akan ada juga acara pengumpulan dana untuk mendirikan Museum Betawi di lokasi yang sama. Buat kamu yang peduli, minimal bisa mendukung acara ini dengan menyebarluaskan informasi dan datang. Jika punya kelebihan isi dompet bisa ikut berdonasi. Pasti bermanfaat.
Saya sih harus datang ya. Meskipun pengetahuan tentang budaya daerah minim, saya suka sekali melihat hiburan bertajuk budaya daerah. Selalu takjub bahkan kadang menangis karena saking salutnya. Saya jadi ingat teman-teman di Situbondo. Mereka juga sedang gencar-gencarnya mengibarkan budaya setempat. Semoga dengan banyaknya dukungan, budaya-budaya di Indonesia kian mendunia. (Uwan Urwan)
Comments