Budaya lokal perlu dijaga sepenuh hati oleh generasi terkini agar tak tergerus zaman baru. Festival Pariopo 2 perjuangkan tradisinya untuk lebih dikenal kepada khalayak.
Perjalanan menuju Duhuk Pariopo, Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, dari pusat kota Situbondo masih sama. Saya dan teman-teman menempuh perjalanan sekitar satu jam dan melewati bukit-bukit tandus. Bedanya perjalanan lebih mudah karena kemarin (27/11/2016) termasuk yang kedua kalinya. Hujan yang turun sebelumnya pun memberi kejutan. Bukit-bukit tandus, menghijau, menambah elok tebing-tebing terjal itu. Tampaknya juga, pemerintah mulai memperhatikan kelayakan jalan-jalan menuju lokasi, sebab ada aspal yang masih hitam pekat, tanda masih baru.
Setiba di lokasi, Bato Tomang, yang merupakan titik acara. Bato Tomang adalah tiga batu besar (sekitar setinggi tiga meter) yang mirip tungku. Konon, batu itu digunakan sebagai perapian untuk pengelana yang sedang singgah. Rangkaian acara Festival Pariopo 2 pun selama dua hari terdiri dari, sarasehan budaya, Pa'beng Pariopo Performance, Mamaca, Ekspresi Pariopo, berkunjung ke sumber mata air dan Gua Macan, dan ritual Pojhian Hodo.
Berdasarkan legendanya, nama Pariopo tersebutkan sejak zaman kerajaan Damar Wulan. Saat Damar Wulan singgah ke lokasi tersebut lalu melihat padi-padi tumbuh dan berbeda dengan padi lain, Damar Wulan pun bertanya, "Pari opo?" Penduduk setempat justru tak mengerti bahasa jawa, sehingga menganggap pertanyaan tersebut lelucon dan akhirnya dukuh itu terkenal dengan nama Pariopo. Berdasarkan penelusuran pun tersebutlah bahwa benar dahulu asal usul nama Pariopo berasal dari pertanyaan serupa dari orang bersuku jawa. Namun, masih perlu ditelusuri dengan bukti-bukti dan riset berkelanjutan, sehingga sejarah Pariopo pun dapat paten. Tak sekadar dari cerita rakyat yang hidup di dalamnya.
Usai sarasehan, peserta yang terdiri dari beberapa komunitas (Backpacker Situbondo, Komunitas Penulis Muda Situbondo, Si Ponsel, beberapa komunitas lain) melakuan pendakian ke bukit di dukuh itu. Sambil menunggu kegiatan pada malam harinya, peserta menikmati keindahan alam bersama sekaligus berfoto ria. Langit memang mendung, sempat gerimis beberapa saat, tapi tak sampai hujan. Tampaknya hujan memang menyiapkan diri untuk usai festival.
Saat gelap ba'da isya, malam kian semarak dengan bertalu-talunya musik dangdut dan suara emas pemuda-pemuda suku Pariopo. Disusul kemudian penampilan alat musik Pa'beng yang dimainkan oleh tetua suku Pariopo. Penonton pun memadati lokasi. Seniman lain pun datang memeriahkan acara ini dengan memainkan alat musik buatannya sendiri diikuti dengan pembacaan puisi dari Komunitas Penulis Muda Situbondo. Kombinasi permainan alat musik tradisional dan pembacaan puisi menyihir peserta untuk khusyuk menyimak.
Aksi saya membacakan puisi (kredit: KPMS) |
Acara puncak kegiatan ini adalah upacara Hodo. Apa sih Hodo itu? Hodo merupakan ritual kesuburan yang masyarakat setempat yakin jika ritual ini dilakukan akan mendatangkan hujan. Tak dipungkiri, kondisi alam Dukuh Pariopo memang tandus. Sementara itu penduduknya mengandalkan bertani sebagai mata pencahariannya. Otomatis kebutuhan air untuk lahan sangat penting. Hodo menjadi sarana untuk memohon kesuburan pada pencipta. Ritual itu tentulah berisi doa-doa yang disesuaikan dengan agama Islam. Jadi ritual Hodo menggabungkan konsep seni, agama, dan sejarah. Kegiatan ini tak hanya menjadi pengingat untuk peserta dan masyarakat setempat, tapi juga menjadi refleksi bahwa tradisi meski sudah beralih zaman, tak boleh hilang. Yuk jaga tradisi lokal kita. (Uwan Urwan)
http://titikbalik12.blogspot.co.id/2015/11/upacara-seni-hodo-sebagai-ritual.html
Comments