Sejuknya embun pagi selalu terhidang |
Pagi itu (akhir November 2016) PG Wringin Anom sudah tak beroperasi lagi, artnya masa giling sudah habis, Hujan beberapa kali menerobos masuk Kota Situbondo. Langit tampak cerah, matahari tersenyum menyeruakkan sinarnya. Kaki-kakiku berjalan beriringan dengan embun-embun yang masih bertengger di atas rerumputan. Hari itu pertama kalinya saya berjalan menyusuri rel-rel kereta api yang biasanya digunakan sebagai jalur kereta diesel untuk angkut tebu. Sudah sekian lama saya kembali ke kota kecil itu, tapi lebih banyak waktu dihabiskan di dalam rumah.
Tumpukan blotong, sebagai substrak jamur blotong |
Selalu saya genggam smartphone kesayangan. Tak hanya untuk mendegarkan lagu kesukaan, tapi juga untuk memperoleh gambar-gambar nuansa sawah dan beberapa objek lain. Kaki saya berhenti pada tumpukan blotong, tepat di belakang pabrik gula (PG). Beberapa tumpukan besar sudah terlihat jelas kelezatannya. Maksudnya bukan blotong yang tampak lezat, tapi bentuk dan teksturnya sudah menunjukkan bahwa sampah hasil pembuang limbah gula itu pasti ditumbuhi jamur. Berbekal informasi tetangga yang sudah beberapa kali menenteng bungkusan jamur blotong yang lezat itu, saya pun meneguhkan diri untuk ikut andil mencarinya.
Dan benar saja, jamur berwarna putih tampak menggoda. Beberapa sudah mekar berbentuk payung, tapi pada bagian bawah payungnya menghitam. Itu tandanya jamur telah tua dan biasanya tidak diambil. Sebenarnya jamur yang serupa itu masih dimanfaatkan batangnya. Oh ya, jamur blotong sangat lezat. Setiap tahun, usai giling biasanya tumpukan blotong dibiarkan begitu saja. Entah karena tidak dimanfaatkan lagi atau memang sengaja dibiarkan begitu saja. Dahulu, sebelum kompor minyak atau kompor gas ramai digunakan, blotong dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Saya masih ingat dulu ada lahan khusus yang dipakai beramai-ramai untuk mengeringkan blotong. Blotong basah dicetak dengan kayu berbentuk persegi empat, lalu dibagi lebih kecil menggunakan arit atau benda tajam lain. Jika sudah kering, blotong itu disimpan dan dapat digunakan sebagai kayu bakar. Selain dimanfaatkan sendiri, cetakan blotong kering itu juga dijual.
Seiring waktu berjalan, blotong pun ditinggalkan karena ada bahan bakar yang lebih praktis tersedia. Sistem berubah, akhirnya blotong tak termanfaatkan kembali. Tapi jamur blotong tersebut memang sudah diketahui dapat dikonsumsi. Entah informasi dari mana, tetapi saya tidak menemukan referensi di internet mengenai jamur ini dan informasi apakah di lokasi lain masyarakat memanfaatkan jamur blotong untuk dikonsumsi. Mungkin ada tapi belum terekspos. Di Indonesia ada 62 unit pabrik (50 unit dikelola BUMN dan 12 pabrik dikelola swasta). Pabrik gula BUMN umumnya berkapasitas kecil dan peralatannya tua. Tentu saja jika dilihat dari penampakannya pabrik gula di Sitbondo, sepertinya rata-rata dikelola BUMN.
Baca juga : Ternyata jamur blotong nama ilmiahnya adalah...
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi jika ada masyarakat di lokasi lain yang tidak tahu mengenai jamur ini, usai giling harusnya sudah menyiapkan diri untuk berburu jamur lezat ini. Rasanya tak kalah dengan jamur tiram dan merang. Beuh, kamu harus mencobanya. Pada saat tulisan ini diposting, sampai beberapa minggu ke depan masyarakat sekitar PG Wringin Anom akan berburu jamur dari pagi hingga menjelang malam. Jika pada pagi hari ditemukan bibit-bibit kecil jamur tersebut, artinya saat siang atau sore jamur itu sudah membesar dan siap panen. Begitu besar antusias masyarakat di tempat saya setiap hari mengumpulkan sumber protein ini dan sangat nikmat disantap untuk untuk hidangan utama. (Uwan Urwan)
Referensi:
http://www.kemenperin.go.id/artikel/11582/Menperin:-Jumlah-Pabrik-Gula-Harus-Dikurangi
Comments