Sore itu, langit mulai berubah keemasan. Deru motorku berhenti di sebuah ujung jalan setapak, tepian hutan bakau (Rhizophora sp.) yang usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Sekeliling terdiri dari pohon bakau yang batangnya tak beraturan. Akarnya menghujam ke dalam tanah dan akar napasnya menyembul kuat lewat permukaan tanah itu. Ada sebuah jalan setapak di sana. Tak beberapa jauh ada sungai tenang yang berujung pada pantai.
Rapatnya pohon-pohon bakau hanya memberi sedikit celah untuk cahaya matahari masuk ke dasar hutan |
Situbondo, saat itu sangat sendu. Angin semilir lembut satukan rindu. Kaki melangkah masuk ke dalam jalan setapak itu. Udara menjadi lembab dan sedikit gelap. Langit terhalang oleh daun-daun Rhizophora yang dengan bahagia menghirup polutan dan embuskan oksigen ke udara. Selama beberapa menit mata saya menari-nari ke sekeliling. Aura seram dan takjub beradu, karena khawatir akan binatang buas tiba-tiba menghampiri. Namun, tak ada binatang apapun yang ditemui selain kepiting yang dengan cepat bersembunyi saat merasakan kehadiran manusia.
Beberapa menit berselang, ada seberkas cahaya di depan sana. Ternyata ujung jalan setapak dengan karung berisi pasir itu pantai. Pantai yang sebenarnya akan jauh lebih indah jika tak ada sampah-sampah berlabuh. Tepat di seberang, Pelabuhan Panarukan memanjang dari tepi daratan menuju tengah laut.
Situbondo memiliki garis pantai sepanjang 150 km. Memang seluruh wilayah bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa. Setahu saya, hutan bakau dulu bisa ditemui sepanjang jalan saat naik bus ke arah Probolinggo. Beberapa tahun terakhir kemudian saya menyadari bahwa pohon-pohon bakau kian berkurang di beberapa lokasi. Meski begitu, hutan bakau masih banyak menghias bagian utara wilayah Situbondo. Beberapa wilayah pun, Pemerintah melakukan reboisasi, menanam bakau untuk melindungi tanah dari kerasnya ombak lautan.
Hutan bakau di Kampung Blekok, Tempat pulang burung blekok
Hutan bakau tak hanya menjadi pelindung bibir pantai, tapi juga sebagai habitat alami berbagai organisme, baik kepiting, ular, kura-kura, monyet, serangga, juga burung. Bakau tumbuh di atas rawa-rawa tepi pantai yang bergantung pada pasang surut air laut. Sebagai tempat hidup dan sumber makanan bagi berbagai organisme, tentu saja hutan bakau memegang peranan penting bagi keseimbangan ekosistem. Hutan bakau juga memberi kesempatan untuk memperluas daerah pantai secara alami. Jika bakau tumbuh di tengah laut yang dangkal, ada kesempatan untuk membentuk pulau kecil dalam kurun waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin berpuluh hingga beratus tahun.
Kedatangan saya ke Kampung Blekok, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo bukan hanya untuk menikmati keindahan pantai dan kesenduan hutan bakau, tapi untuk melihat langsung ratusan (mungkin ribuan) burung blekok pulang ke rumah mereka saat gelap menjelang. Saya belum menemukan papan surfing hijau bertuliskan Kampung Blekok, artinya perjalanan belum usai. Saya mencari jalan setapak lain dan masuk ke dalam hutan bakau lagi. Pohon bakau kian tinggi, sehingga sekeliling tampak lebih gelap, ditambah matahari kian tenggelam. Saya pun bergegas karena belum menemukan seekor pun burung blekok menghias langit. Beberapa menit kemudian saya keluar hutan dan berpapasan dengan aliran sungai tenang lebih dekat dibandingkan sebelumnya.
Hutan bakau yang menjadi tempat istirahat ribuan blekok. Dapat dilihat bagian putih pada bagian atas pepohonan, itu burung-burung blekok sedang baru saja bertengger |
Saya menunggu beberapa menit. Hari sudah kian gelap, sementara lokasi sebenarnya belum ditemukan. “Pantas jika tak ada seekor burung pun berlalu,” kata saya dalam hati. Lalu memutuskan untuk pulang. Baru tiga kali melangkah, satu kelompok demi satu kelompok mencuat dari balik kanopi sekumpulan tanaman penahan ombak itu. Awalnya sedikit demi sedikit menuju ke hutan bakau di seberang sungai. Lama-lama jumlah blekok yang terbang kian banyak dari berbagai arah. Saya tidak salah tempat, hanya perlu bergeser sedikit dan butuh sabar menunggu jam alami mereka kembali setelah seharian mencari makan.
Wazz wezzz wuzzz... suara kepakan sayap mereka terdengar merdu di telinga saat mereka tepat berada di atas kepala. Saya mendongak dan tak henti-henti berdecak kagum. Saat melihat hutan bakau di seberang sungai, tampak sayap-sayap putih memenuhi permukaan atas hutan itu. Kian lama kian banyak blekok yang datang dan saya putuskan untuk masuk kembali ke dalam hutan menuju bibir pantai. Dan benar saja, dari jauh saya melihat lautan burung blekok di melayang-layang lalu terbang agak rendah di atas air laut. Tiap kelompok terbang, beberapa memisahkan diri, membentuk simpul, dan tetap silih berganti.
Saya terlampau salah menilai Situbondo selama ini. Dalam pikiran, Situbondo adalah kota yang tidak ada apa-apanya, hanya daerah tandus, tertinggal, dan tidak ada mall. Menyadari kenyataan bahwa di kota kelahiran sendiri, terdapat habitat alami ribuan burung blekok yang sudah ada sejak lama. Yoyok Hermanto, Kepala Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, lewat tempo.co mengatakan bahwa Kampung Blekok dapat dijadikan sebagai tujuan wisata, tetapi perlu kajian khusus agar pengunjung bisa menikmati pemandangan alam tanpa mengganggu keberadaan ribuan burung tersebut. Sebab, naluri binatang, jika merasa terusik, tentu akan berpindah tempat.
Burung blekok punya peran penting di alam
Blekok atau kuntul sawah (Ardeola speciosa) dapat ditemui di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Tergolong dalam keluarga ardeidae (ordo ciconiiformes). Secara alami burung blekok adalah burung yang suka bermigrasi. Blekok suka daerah hangat dan bermigrasi dari daerah dingin pada musim gugur dan semi. Tak heran Indonesia menjadi salah satu tujuan migrasinya, karena Indonesia termasuk daerah hangat, termasuk Situbondo.
Jika dilihat sekilas, burung blekok sebagian besar ditutupi oleh bulu berwarna putih. Jika dilihat seksama, bagian kepala dan corat moret. Bagian bawah berwarna putih. Saat terbang cukup menakjubkan karena sayap berwarna putih mulus, kontras dengan warna punggungnya. Kakinya panjang memudahkan untuk berjalan di atas lumpur, leher dan paruhnya pun panjang sesuai dengan fungsinya.
Blekok termasuk karnivora dan secara alami membantu manusia sebagai pengendali hama serangga dan petunjuk pergantian musim. Kotorannya sangat berguna untuk menyuburkan tanah. Saat petani sedang membajak sawah, biasanya burung blekok berkumpul mencari makan. Atau saya biasa menemukan pengendali hama ini di sawah yang padinya baru ditanam. Kondisi ini menguntungkan burung blekok, karena akan leluasa berjalan di antara ruang kosong. Saat padi sudah berumpun dan semakin rapat, biasanya tak ada burung blekok lagi. Posisi mereka digantikan burung pemakan biji saat biji-biji padi mulai tumbuh.
Tak hanya di sawah, saya juga pernah menemukan burung blekok di pantai yang tidak ramai didatangi manusia. Kalau mencoba kembali ke beberapa tahun silam, saat masih berusia 11 tahun, kawanan burung blekok setiap sore terbang melintasi sekitar rumah. Semakin lama semakin sedikit, bahkan bisa dibilang jarang saya melihat ada kawanan burung blekok saat sore. Saya menduga, kalau itu terjadi karena semakin berkurangnya sawah. Beberapa lahan yang biasanya digunakan untuk bercocok tanam sudah mulai berganti bangunan. Kemungkinan burung blekok mencari wilayah lain yang area sawahnya masih terjaga.
Era kini, lahan pertanian banyak yang beralih fungsi memang. Jika hal ini terjadi terus-menerus terjadi, status keberadaan burung blekok akan jadi terancam punah. Kekurangan lainnya, akan terjadi ledakan serangan hama pertanian karena predatornya punah.
Kekhawatiran saya sepertinya sama dengan para pecinta lingkungan. Jika Kampung Blekok benar akan dijadikan salah satu kawasan wisata, kemungkinan keberadaan blekok akan terancam. Semakin banyak manusia asing yang berkunjung dan mengusik hutan bakau, tentu akan menjadi gangguan tersendiri bagi mereka. Belum lagi sampah-sampah yang nantinya akan menumpuk di sekitar. Kalau pun Kampung Blekok menjadi tempat wisata, sebaiknya pemerintah dan warga sekitar memberi peraturan kepada setiap pengunjung atau memberi batas maksimum, berapa jarak maksimum pengunjung bisa menikmati kehadiran burung blekok tanpa harus masuk ke dalam hutan bakau yang di atasnya bertengger ribuan burung blekok. (Uwan Urwan)
Referensi:
Earthhour.wwf.or.id
Tempo.co
Generasibiologi.co
MacKinnon, J., k. Phillips, & B. Van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan.
Comments