Skip to main content

Gunung Ringgit, Antara Wisata Religi dan Wisata Alam

Pada suatu pagi yang tak pagi dan siang yang tak siang, sebuah pesan WhatApp (wa) memilih mampir di ponsel pintar

“Hari minggu ke Ringgit yuk, Mas! Ke Balurannya tunda dulu. Gimana?” begitulah pesan itu berbunyi. Pesan itu dari seorang pria yang sedang mengalami gundah gulana akibat patah hati.

Pemandangan sewaktu pendakian ke Gunung Ringgit

Tanpa ba-bi-bu-be-bo, ca-ci-cu-ce-co, ini ibu Budi, ini bapak Budi, saya langsung menyanggupi. Lalu bertanya, “Siapa saja?” Dia menyebutkan satu nama seseorang, lalu nama lain, lalu bertambah peserta lagi. Oke. Saya berpikir jika pendakian itu berupa pendakian kecil yang bisa dengan mudah dilalui. Ketinggian gunung itu cukup kecil. Bisa dibilang saya cukup yakin dan sombong.

Apalagi saya sudah pernah dua kali mendaki meski hanya sampai ke makam Raden Condrokusumo sepuluh tahun lalu. Saya anggap untuk sampai ke puncak Gunung Ringgit, hanya perlu sedikit lebih keras mendaki. Teman-teman bilang untuk sampai puncak, saya harus melalui tangga besi dengan tali tampar di sisinya untuk membantu pendaki naik, tak jauh dari situ ada tebing curam. Sedikit meleset saja bisa jatuh.

Makam Raden Condrokusumo

Malam itu, langit begitu gelap, meski akhirnya hanya berdua, yang kemudian disusul dua orang lagi, kami naik. Jalan berbatu ditemani cahaya bulan samar-samar dari balik pepohonan membuat saya sadar, bahwa gelap masih menyimpan keindahan. Keinginan untuk pergi sejenak dari kesibukan dunia membuat sadar tentang mimpi-mimpi yang belum sempat diraih, juga kenangan akan teman saat kami mendaki bersama-sama sepuluh tahun silam. Beruntunglah gelap, tak ada yang tahu apa yang ada di dalam kepala masing-masing.
Selama pendakian, kamu akan ditemani tanda seperti ini.

Kira-kira sejam kemudian tibalah kami, empat orang nekat, di makam Raden Condrokusumo. Di tempat itu tak hanya berisi makam Raden Condrokusumo, tapi ada juga makam lain, beberapa pondok untuk tempat beristirahat para pendaki dan orang-orang yang berkunjung untuk melakukan doa bersama. Saya belum tahu siapa Raden Condrokusumo. Belum mendengar banyak kisah tentangnya. Mungkin teman-teman yang lebih lama bergelut dengan yang berkaitan dengan Situbondo tahu. Nanti saya coba cari tahu.

Gunung Agung (begitu biasanya orang menyebutnya), nama lain Gunung Ringgit, memang adalah salah satu lokasi wisata religi yang didatangi oleh orang-orang dari beragam wilayah. Saya sering menemukan orang dari Jember, Jawa Timur yang datang untuk berziarah. Tempat ini juga bisa disebut rumah singgah terakhir. Jika ingin pergi ke puncak, petilasan Raden Condrokusumo, hanya di situlah tempat untuk mengisi botol air kosong. Ada tandon besar yang menampung air langsung dari sumbernya.

Di sana kami disambut sekelompok (empat orang) pendaki lain (usianya jauh di bawah saya) yang mengira kami adalah penjaga tempat itu. Mereka juga ingin naik ke atas tapi tak ada seorang pun yang ada di tempat itu. Bisa dibayangkan kami berdelapan berada di rumah-rumah tanpa penghuni. Tidak seseram seperti yang dibayangkan, tapi cukup mengerikan jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

“Kalau kakak mau naik juga, kita barengan saja. Pukul 00.00 teng kita berangkat biar bisa lihat sunrise,” kata salah seorang dari mereka. Kami pun sepakat. Beristirahat sejenak, mengisi perut, meracuni udara dengan asap-asap rokok yang keluar dari mulut kami, dan mengisi air dalam botol kami.

Tersesat
Kami memulai pendakian tepat pukul 00.00 WIB. Langit benar terasa sendu, seolah gelap kabarkan banyak pesan yang tak dapat ditangkap dengan mudah. Dengan tongkat kayu di tangan masing-masing langkah kaki kian mantap dengan bertambahnya anggota pendakian. Tak lama berselang, seolah kami tak yakin. Jalan setapak kian kabur. Kalau pun ada, jalannya sangat sempit dan bekas pejalan kaki nyaris hilang. Hingga pada satu titik saya minta untuk tidak lanjut dan berbalik meski ada yang masih penasaran untuk menerobos.

Di dalam kepalaku sudah terpikir bahwa pendakian itu akan berakhir dengan kehilangan arah atau bisa jadi terjebak berhari-hari di gunung kota kami sendiri. Sebenarnya bukan masalah siapa yang akan tersesat atau bukan, tapi menyangkut tanggung jawab. Saya tergolong yang tertua dengan minim pengalaman mendaki, sementara mereka masih berjiwa muda, terlebih keempat anak yang masih berusia sekitar 17-an tahun. Saya yakin mereka berani menerobos hutan tanpa jalan setapak itu dengan berbekal keberanian.

Akhirnya setelah benar-benar tidak ditemukan jalan setapak, kami kembali ke makam (tempat kami bertemu dan beristirahat). Beberapa saat terdiam. Saya dan ketiga teman lain mulai mengisap batang rokok lagi. Aroma mentol dan dingin masuk ke dalam paru-paru lalu diembuskan ke udara. Setelah berdebat dan ngeyel ingin melanjutkan (tetap saya pada pendirian bahwa jika harus menerobos yang dilewati tadi, saya akan menghalangi mereka), dua orang kemudian meutuskan untuk mencari jalan yang benar. Haha... Mereka menemukan itu. Ternyata jalan yang dilewati sebelumnya memang salah. Seharusnya berbelok tapi malah memilih lurus. Sebenarnya jalur pendakian ini sangat gampang untuk dicari jalurnya. Sebab jalan setapak dan tanda berupa tulisan dan panah akan ditemui di beberapa titik. Ya kecuali jika berangkat malam, sebaiknya memang lebih berhati-hati.

Medan terjal
Lega setelah menemukan jalan kebenaran, kami pun lanjut naik sekitar pukul 01.00 WIB. Saya kira pasarean itu pertengahan antara puncak dan titik awal pendakian. Ternyata tidak. Jalan full-menanjak. Bisa dibayangkan untuk saya dan teman-teman dengan persiapan minim, yang hanya bermaksud lari dari kehidupan nyata, tanpa olahraga sebelumnya, dan persediaan makan seadanya? Semua bayangan pendaki adalah “Gunung Ringgit (So’onan) hanya 1250 mdpl. Cetek!”

Akan ada monyet-monyet menemani.

Saya yang paling tua dan salah seorang teman yang juga cukup tua senasib. Kami berdua lebih sering memilih untuk berhenti (entah beberapa puluh kali). Ada jalur yang harus lewat di tepi tebing dengan jalan setapak hanya berupa bagian dari akar pohon. Terpeleset bisa jatuh. Meski ditemani riuhnya suasana hati dan musik barat sepanjang jalan, ternyata itu tak menghibur. Satu-satunya hal yang menggembirakan adalah kabar “tangga dan tali rafia”. Kata teman-teman, jika sudah menemui tangga besi dengan tali rafia di sampingnya sebagai alat bantu naik, artinya puncak sudah dekat.
Siapkan diri untuk menggunakan tali tampar ya

Ternyata tangga besi dan tali rafia tak hanya ada satu. Bisa dibayangkan betapa terjalnya medan pendakian jika ada tangga di sana, ditambah tali rafia untuk berpegangan? Dalam perjalanan memang saya melihat gunung ini menyimpan banyak batu cadas di dalamnya. Sepertinya memang termasuk gunung batu. Haha... Benar sih, banyak batuan besar. Beberapa kali harus naik jalur batu dengan bantuan tali tampar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Sementara kaki mulai meraung-raung untuk berhenti atau turun gunung.

“Kayaknya aku nyerah aja, Di,” kata saya tiba-tiba kepada Zaidi. Saya tahu dia juga selelah saya, tapi masih mencoba menghibur diri dengan menyemangati.

Tidak biasanya saya cepat menyerah untuk hal-hal seperti ini. Saya coba mengingat waktu masih berusia belasan tahun. Tak ada kata menyerah. Pernah saya mendaki Gunung Argopuro menuju Puncak Rengganis, meski tertatih-tatih saya tiba juga di puncak dan kembali ke dataran dengan selamat. Pernah juga menerjang jalan berlumpur (yang sampai selutut) di tengah hutan bambu Alas Purwo, Banyuwangi. Justru saya yang menyemangati teman-teman untuk tidak menyerah untuk tiba ke titik yang dituju (gua tempat orang bertapa yang tidak bisa dimasuki juga sih).
Hasilnya kelompok saya semua berhasil tiba meski dengan kaki lecet-lecet, sementara teman-teman di kelompok lain lebih memilih duduk-duduk dan mengobrol dengan yang lain.

Buat kamu yang berjiwa petualang, wajib mendaki Gunung Ringgit yang hanya 1250 mdpl

Pernah juga pada suatu praktikum, saya dan teman harus mencari kepompong di sebuah taman (jaraknya dari ujung satu ke ujung lain sekitar 1 km). Karena teman saya kakinya sedang sakit, ia terus meminta menyerah, tapi saya bilang “Sebentar lagi ketemu.” Benar, mendekati ujung taman, kami pun menemukan kilauan kepompong menggantung di sebuah tanaman berbunga. Tanpa sadar kami tertawa-tawa sambil jungkir balik. Tak peduli pengendara motor dan kendaraan lain menyaksikan kegilaan kami.

Lalu saya sadar. Usia sudah tidak lagi muda. Jika dahulu tanpa persiapan pun masih kuat untuk melawan semua ketakutan-ketakutan dalam hidup, kini tak bisa dibandingkan lagi. Segalanya tak lagi mudah. Oke, saya mengaku tua meski seharusnya jiwa ini makin kuat untuk berpijak di kehidupan yang keras ini. It’s not easy to be an old man, guys. Haha...

Wajah-wajah pasrah menghadapi kenyataan hidup yang berat

Selama perjalanan yang cukup melelahkan itu, saya membayangkan duduk-duduk di rumah sambil bermain ponsel pintar, tertawa-tawa saat mengulik Twitter, ditemani teh hangat ditambah campuran kayu manis. Saat mengantuk tinggal pindah ke kamar. Kipas angin yang berputar-putar sejukkan suasana. Jika bosa saya tingga bermain dengan kucing. Ah, serunya. Tapi sayangnya kenyataan membuat saya menyesal harus mengatakan, “Saya butuh lebih banyak asupan makanan.”

Suara azan subuh bergaung di udara kemudian langit mulai terlihat bercak-bercak cahaya. Kami berhenti terlebih dahulu. Memilih jalan setapak yang cukup nyaman untuk direbahi. Selang beberapa lama hanya tiga orang yang memilih lanjut ke atas. Sebenarnya hanya tinggal sebentar lagi menuju puncak, tapi lelah kami tak bisa membayar rasa puas melihat matahari terbit dari timur. Yang tersisa pun tidur, termasuk saya.

Tahu tidak, orang-orang rela menghabiskan banyak uang agar bisa tidur nyenyak dan berkualitas. Kami? Tidak butuh itu semua. Tidak membutuhkan waktu berjam-jam untuk mendapatkan kenikmatan itu. Hingga ketiga orang kembali dari puncak yang mereka idamkan, kami masih pulas. Untuk bersyukur sebenarnya memang perlu perjuangan.

Setelah pulih, kami turun. Rombongan anak-anak sekolah terpisah dengan kami lalu outuskan untuk menyegarkan diri di sebuah sumber air (sungai). Musim kemarau sebabkan sungai batu hanya punya sedikit genangan air. Kami pun berendam di sebuah genangan kecil. Setelah itu pulang.

Jadi kalau misalnya ditanya “Kamu mau naik ke gunung lagi?” Saya belum tentu menjawab iya. Saya akan riset terlebih dahulu kira-kira kuatkah jika sampai puncak? Kalau dipaksa kuat tapi tidak siap, mendaki gunung bisa membawa penyesalan karena sebab tertentu. Iya gak sih? Bisa jadi. Haha... (Uwan Urwan

nb: mohon maaf, untuk typo dan kesalahan penulisan akan diperbaiki kemudian

Comments

Paling banyak dibaca

Jamur blotong Nama Ilmiahnya Ternyata Coprinus sp.

Saya menduga jamur yang selama ini saya beri nama jamur blotong nama ilmiahnya Coprinus sp. Setiap usai musim giling, biasanya musim hujan, saya dan tetangga berburu jamur ini di tumpukan limbah blotong di dekat Pabrik Gula Wringin Anom, Situbondo. Jamur Coprinus sp . tumbuh di blotong Asli, kalau sudah tua, payungnya akan berwarna hitam seperti tinta dan meluruh sedikit demi sedikit Sudah sekian lama mencari tahu, berkat tulisan saya sendiri akhirnya saya tahu namanya, meski belum sampai ke tahap spesies . Jamur yang bisa dimakan ini tergolong dalam ordo dari Agaricales dan masuk dalam keluarga Psathyrellaceae. Selain itu, jamur ini juga suka disebut common ink cap atau inky cap (kalau benar nama ilmiahnya Coprinus atramentarius ) atau Coprinus sterquilinus (midden inkcap ) . Disebut begitu karena payungnya saat tua akan berwarna hitam dan mencair seperti tinta. Nama yang saya kemukakan juga berupa dugaan kuat, bukan berarti benar, tapi saya yakin kalau nama genusnya Copr

Menggali Rasa dan Inovasi Kopi Lokal di Setiap Seruput

Dibuat menggunakan Canva Setiap seruput kopi menyimpan cerita yang tak terduga, mulai dari ladang petani hingga ke cangkir kita. Apa jadinya jika kita bisa merasakan perjalanan rasa itu dengan lebih mendalam, dari setiap proses pengolahan biji hingga teknik penyeduhan yang memikat? Sebuah Warisan yang Harus Dilestarikan Gambar pribadi (@uwansart) Indonesia memang istimewa, terutama dalam hal kopi. Di sini, dari Sabang sampai Merauke, kita punya beragam jenis kopi dengan cita rasa yang kaya dan unik. Setiap daerah, dari Aceh sampai Papua, menawarkan sensasi kopi yang berbeda-beda, masing-masing menyimpan cerita dan karakteristik yang khas. Keberagaman inilah yang membuat kopi Indonesia begitu istimewa dan kian diakui dunia internasional. Saat ini, Indonesia bahkan tercatat sebagai penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia—sebuah pencapaian yang tentunya patut dibanggakan. Dalam acara Eco Blogger Squad yang berlangsung dengan penuh semangat, meskipun aku hanya menyaksikan secara online melal

Golda Coffee dan Kopi ABC Botol, Kopi Kekinian, Kopi Murah Cuma 3000an

Kamu suka kopi hitam pekat, kopi susu, kopi kekinian, atau yang penting kopi enak di kedai kopi? Mungkin kita sering sekali nongkrong bersama teman di kedai kopi mencoba berbagai aneka ragam kopi, mahal pun tak masalah, tapi yang jadi persoalan jika sedang miskin, apakah akan tetap nongkrong? Pilihannya ya minuman murah, misalnya kopi murah dan kopi enak yang cuma 3000an ini.   Aku, Uwan Urwan, memang bukan penikmat kopi banget, tapi suka minum kopi, kadang sengaja mampir ke kedai kopi punya teman, paling sering membeli kopi Golda Coffee dan/atau Kopi ABC Botol, yang harganya hanya 3000an. Aku akan mencoba mereview empat rasa dari dua merek yang kusebut sebelumnya. Golda Coffee kutemukan di minimarket punya dua rasa, yaitu Golda Coffee Dolce Latte dan Golda Coffee Cappucino. Sementara Kopi ABC botol juga kutemukan dua rasa, chocho malt coffee dan kopi susu.   Keempat rasa kopi kekinian kemasan itu aku pikir sama karena biasanya hanya membeli, disimpan di kulkas, dan langsung ku

Bunga Telang Ungu (Clitoria ternatea) Jadi Alternatif Pengganti Indikator PP Sintetis

Makin ke sini, ketenaran bunga telang (Clitoria ternatea L.) kian meluas. Banyak riset terbit di internet, juga tak ketinggalan pecinta herbal dan tanaman obat ikut berkontribusi memperluas infromasi itu.  Bunga telang ungu, tanaman yang juga dikenal dengan nama butterfly pea itu termasuk endemik karena berasal dari Ternate, Maluku, Indonesia. Meski begitu, banyak sumber juga mengatakan bahwa bunga telang berasal dari Afrika, India, Amerika Selatan, dan Asia tropis. Banyak info simpang siur karena sumber-sumber yang aku baca pun berasal dari riset-riset orang. Nanti jika ada waktu lebih aku akan melakukan riset lebih dalam mengenai asal usulnya. Antosianin bunga telang merupakan penangkal radikal bebas Kredit : researchgate.net Bunga telang kaya akan antosianin. Antosianin adalah golongan senyawa kimia organik berupa pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna oranye, merah, ungu, biru, sampai hitam. Tak hanya pada bunga Clitoria ternatea, antosianin juga ada di banyak buah dan say

Bagaimana menu isi piringku yang benar?

Sering mendengar frase Isi Piringku? Hem, sebagian orang pasti tahu karena kampanye yang dimulai dari Kementerian Kesehatan ini sudah digaungkan di mana-mana, mulai dari media sosial, workshop-workshop kesehatan di daerah-daerah, dan sosialisasi ke ibu-ibu begitu ke Posyandu.  Slogan Isi Piringku menggantikan 4 Sehat 5 Sempurna Isi Piringku adalah acuan sajian sekali makan. Kampanye ini sudah diramaikan sejak tahun 2019 menggantikan kampanye 4 sehat 5 sempurna. Empat sehat lima sempurna terngiang-ngiang sekali sejak kecil. Terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur-mayur, buah-buahan, dan susu adalah kombinasi sehat yang gizinya dibutuhkan tubuh, sebab mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral, susu adalah penyempurnanya. Kenapa harus berganti slogan?  Slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang aku tangkap maknanya, dalam setiap makan harus ada empat komposisi dan susu. Mengenai jumlahnya, aku bisa ambil nasi lebih banyak dengan sedikit sayur atau sebaliknya, atau sebebas-bebasnya kita saja.

Energi Alternatif: Antara Ketergantungan Listrik dan Kerusakan Lingkungan

Dalam dunia yang semakin modern ini, melalui sorotan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, aku mengembara melihat perubahan perilaku rumah tangga secara menyeluruh di Indonesia. Televisi menjadi kawan setia dengan kehadiran mencapai 97,36%, diikuti oleh kulkas, mesin cuci, dan kipas angin yang melibas sekitar 96,72%, 86,62%, dan 96,13% dari rumah tangga. Di sisi lain, perabotan modern seperti kompor listrik dan setrika listrik menyentuh kehidupan 82,11% dan 93,22% rumah tangga. Ketergantungan Indonesia pada Listrik dan Dampak Negatif Lingkungan pada Perubahan Iklim Tak hanya itu, alat elektronik memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari. Laptop menjadi penguasa dengan persentase 67,45%, sementara handphone mendominasi dengan keterpaparan mencapai 99,13%. Meski komputer, tablet, kamera digital, dan perangkat lain memiliki penetrasi yang beragam, kesimpulannya tetap jelas: masyarakat Indonesia telah menggenggam era listrik dengan tangan terbuka. Persentase tinggi ini men

Alun-alun Situbondo Dulu dan Sekarang

Alun-alun ibarat pusat sebuah kota, semua orang bisa berkumpul di tempat itu untuk berbagai kegiatan, sebagai ruang publik, ruang sosial, dan ruang budaya. Alun-alun sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Umumnya alun-alun dikelilingi oleh masjid, pendopo, penjara, dan area perkantoran dan dibatasi oleh jalan. Dulunya area ini dipagari Begitu pun Alun-alun Situbondo, batas selatan adalah pendopo, batas barat adalah Masjid Agung Al-Abror, batas timur adalah penjara, dan area perkantoran ada di bagian utara. Dulu, ada pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun Situbondo. Aku tidak ingat betul seberapa besar tapi yang aku tahu dulu ada di tengah-tengah. Masjid Al-Abror juga sudah jauh lebih bagus sekarang Alun-alun Situbondo pernah punya pohon beringin besar Gerakan protes pada akhir masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, tahun 2001, memicu gerakan besar yang menumbangkan sekitar seratus pohon, termasuk pohon beringin di alun-alun karena dianggap sebagai simbol partai Golka

Styrofoam Aman Digunakan Kok. Siapa Bilang berbahaya?

Hasil pengujian Badan POM RI terhadap 17 jenis kemasan makanan styrofoam menunjukkan bahwa semua kemasan tersebut memenuhi syarat, artinya styrofoam aman digunakan. Sampai detik ini tidak ada satu negara pun melarang penggunaan styrofoam atas dasar pertimbangan kesehatan. Pelarangan penggunaan styrofoam, nantinya akan jadi sampah non organik, di beberapa negara biasanya berhubungan dengan pencemaran lingkungan. Padahal daur ulang styrofoam sangat mudah. Menurut JECFA-FAO/WHO monomer stiren pada wadah gabus tidak mengakibatkan gangguan kesehatan jika residunya berada di ambang batas 40-500 ppm. Kalau mencapai 5000 ppm bisa menyebabkan kanker. Bungkus makanan hangat pakai styrofoam aman kok Kemasan makanan styrofoam ternyata sebagian besar adalah udara Badan POM RI menguji 17 jenis kemasan, antara lain berupa gelas POP MIE rasa baso, gelas POP Mie Mini rasa ayam bawang, mangkuk NISSIN Newdles Mie Goreng Pedas Kriuk Bawang, mangkuk Bowl Noodle Soup Kimchi flavour Vegetal, kot

Batik Mangrove, Qorry’s Journey in Conservation & Heritage

I feel like when I wear batik, I look more elegant and even more handsome. Haha! I have to admit, there was a time when I considered batik to be old-fashioned. The designs didn't appeal to me, and I saw it as something my parents or grandparents would wear on formal occasions. But everything changed for me on October 2, 2009, when UNESCO officially recognized batik as an Intangible Cultural Heritage. Suddenly, batik wasn’t just a piece of cloth anymore; it was a symbol of identity, culture, and pride for the Indonesian people. Designers started experimenting with patterns, and batik garments became more fashionable. I found myself buying batik shirts to support our cultural heritage, and my love for batik grew deeper as I discovered the beautiful artistry behind it. Batik, with its intricate techniques, symbols, and cultural significance, has been a part of Indonesia's identity for centuries. It wasn’t long before batik from various regions, including my hometown of Situbondo,

Bukit Pecaron, Wisata Religi yang Wajib Dikunjungi

Situbondo memiliki banyak pesantren yang tersebar dari ujung barat sampai ujung timur. Pernah mengunjungi pesantren atau melihat segerombolan anak pondok (biasanya anak pondok pesantren disebut anak pondok)? Eniwei , anak pondok sangat khas cara berpakaian dan bertuturnya. Saya adalah orang yang senang berteman dengan anak pondok. Selain karena ramah dan hangat, mereka biasanya tak bermewah-mewah dalam berpakaian. Saya pun jadi nyaman karena tak harus bergaya berlebihan. Biasanya ada banyak orang datang ke pondok pesantren, bertemu kyai, melakukan doa bersama. Bukit syariah Bicara soal pesantren yang tak jauh dari keagamaan, ada salah satu dari beberapa destinasi wisata religi di Situbondo yang biasa didatangi orang dari luar kota, yaitu Bukit Pecaron. Apasih itu Bukit Pecaron? Saya sebut bukit syariah boleh ya. Bukit Pecaron adalah nama bukit kecil yang terletak di tepian pantai di Desa Pasir Putih, Kecamatan Bungatan, Kabupaten Situbondo. Sejak kecil saya cuma bisa mel