Skip to main content

Batu Solor, Batu Megah Penuh Gairah

 
Batu Solor cukup keren buat didatangi. Serius! (Kredit: @ari.aru_)

Hem, saya baru saja lihat album foto di smartphone, halah, kemudian menemukan foto-foto perjalanan ke Bondowoso. Ya Allah saya melewatkan berbagi cerita saat berwisata ke Batu Susun, Bondowoso, Jawa Timur. Sebelum lanjut ke cerita, saya ingin menyampaikan kebingungan tentang nama lokasinya. Ada yang menyebut Bheto So’on, Batu Susun, dan Batu Solor. Jangan kaget juga jika dalam foto ada papan bertuliskan “The Stonehenge Van Java”. Jangan bayangkan prehistoric monumen (halah, kayak gak bisa ditranslete saja) di Wiltshire, Inggris.

Eh tapi mari bahas sedikit tentang Stonehenge fenomenal itu. Stonehenge termasuk bangunan prasejarah, perkiraannya dibangun pada zaman Perungu dan Neolitikum. Letaknya tak jauh dari Amesbury. Monumen ini sangat terkenal di dunia, berupa lingkaran batu tegak dengan diameter 115 meter. Ahli berpendapat bahwa Stonehenge disusun dalam bentuk tertentu untuk kepentingan astronomi. Memang sengaja didesain untuk memprediksi gerhana, titik balik matahari, waktu untuk matahari melewati katulistiwa, dan kejadian penting lain yang berkaitan dengan penanggalan.
Dari secuil penjelasan di atas masih bisa dibayangkan kalau Stonehenge memang sengaja dibuat pada zaman lampau dengan melibatkan banyak orang. Lalu mari kita kembali pada Batu Solor. Hem, saya tampak terburu-buru ya. Akan lebih baik jika saya cerita kronologis untuk mencapai lokasi.

Jalan berbatu
Ternyata lokasi Batu Solor dekat dengan Situbondo. Sekitar 5-10 menit dari perbatasan Situbondo-Bondowoso, saya belok ke kiri menuju Desa Solor, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Saya bisa bilang medannya luar biasa sulit karena kebetulan motor saya sedang manja. Setelah melalui jalan beraspal, selama beberapa kilometer saya disuguhi oleh jalan berbatu. Kalau kamu ingin ke sana memang sebaiknya membawa kendaraan sendiri. Tidak ada angkutan umum menuju lokasi. Kebetulan saya beruntung, beberapa kilometer setibanya di lokasi, jalanan sudah beraspal kembali. Perkiraan 1,5 jam dari pertigaan dari jalan besar Situbondo—Bondowoso.

Saya disambut pemandangan indah ini menuju lokasi.

Selalu perhatikan papan tanda ya. Jika ragu lebih baik bertanya kepada penduduk agar tidak nyasar. Oke, jalan beraspal, tapi juga naik turun. Kalau sepeda motor sedang sehat, tentu tidak masalah. Nah, karena rewel, saya harus istirahatkan motor beberapa kali dan bensin jadi boros. Ya Allah, perjuangan sekali padahal jalannya sudah diperbagus. Akhirnya saya tiba juga di lokasi.
Karakter wilayah Situbondo dan Bondowoso agak mirip, kering, lembab, dan berbukit. Hanya saja, Bondowoso lebih sejuk karena ketinggiannya berbeda. Saat musim hujan tentu saja tidak gersang dong. Kebetulan saya ke sana saat musim kemarau. Saya agak terkejut saat datang ke lokasi. Sudah ada wilayah yang dibatasi dengan tali rafia untuk parkir. Ada juga pondok-pondok yang menjual makanan dan kursi panjang menghadap batu. Kenapa saya kaget? Saya ceritakan nanti ya.

Untuk pertama kalinya saya melihat batu-batu besar berjejer dan di atasnya terdapat batu lain seolah sedang menggendong batu. Jadi begini posisinya, ada bukit-bukit yang di antaranya lembah. Letak batu-batu besar itu ada di lembah, ada juga yang menyatu dengan bukitnya. Bagus banget. Saya menduga bahwa batu tersebut terbentuk secara alami. Masyarakat setempat pun percaya jika batu menumpuk tersebut adalah perbuatan raksasa dan termasuk peninggalan Raja Blambangan I. Hihi.


Ehm, kamu wajib ke sini. Bagus kok. (Kredit: @ari.aru_)


Tepian bukit sudah dipagari sehingga bisa dibilang panampakan Batu Solor tidak alami lagi. Butuh kejelian untuk mendapatkan foto tanpa terlihat pagar itu. Ada beberapa titik sih untuk mengambil gambar. Saya berjalan sedikit untuk mengabadikan momen di beberapa titik paling diminati.

Perum Perhutani Bondowoso juga buat beberapa wahana kekinian yang cukup instagramable. Spot-spot foto itu tentu akan menjadi salah satu cara untuk promosikan lokasi wisata agar kian banyak yang berkunjung di sana. Tak jarang juga wisatawan datang bersama keluarga untuk menikmati keindahan Batu Solor itu.

Sudah lama
Sebenarnya sudah lama saya tahu ada tempat ini. Ehm, lebih tepatnya keberadaan batu dengan tatanan yang bagus, seperti di luar negeri. Sekitar tahun 2013 saya melihat postingan teman tentang ini. Empat tahun kemudian saya datang juga ke lokasi hits itu dengan jalan yang sudah diperbagus, tapi entah kenapa saya cukup sedih. Menurut saya keindahannya berkurang 40%. Bukitnya gersang, bebatuan itu sebagian tertutupi oleh ranting-ranting pohon jati, ada pagar (pembatas) yang buat saya kurang estetis, ada pondok sederhana (warung), dan ada papan bertuliskan “Wana Wisata Betoh So’on The Sronehenge Van Java” yang cukup lebar dengan warna tulisan tidak kontras.
Pertama saya akan bercerita kenapa saya terkejut saat pertama kali datang. Warung (atau entahlah. Saya rasa sih itu warung ya) yang terkesan asal jadi tanpa konsep dan tempat parkir seadanya. Yang saya harapkan apa sih? Tidak ada. Malah saya berpikir untuk membiarkan segalanya alami, tanpa warung atau tempat parkir. Saya mungkin bisa dibilang egois ya karena seolah tidak perhatikan ada orang yang sedang mencari rezeki di sana. Nah, kalau memang ingin total dijadikan tempat wisata, perlu dimatangkan konsepnya terlebih dahulu. Saya kira pemerintah tidak kekurangan orang yang pandai desain dalam hal bangunan.

Bagaimana kalau saya bandingkan dengan Stonehenge yang di Inggris? Saya rasa tidak masalah ya sebab di papan nama jelas tertulis “The Stonehenge Van Java”. Artinya, pengunjung jelas akan punya patokan ke arah itu. Sementara keadaan aslinya... Nah itulah mengapa saya lebih sarankan untuk biarkan segalanya terlihat alami tanpa parkir dengan pembatas tali rafia atau pagar tebing yang terkesan asal jadi.

Kedua, saya tidak setuju dengan penamaan “The Stonehenge” pada Batu Solor. Kalau merujuk pada penjelasan di awal, Stonehenge jelas punya pengertian batu melingkar. Stonehenge adalah batu-batu yang disusun melingkar, sementara Batu Solor tidak. Yang menjadi acuan orang-orang menamakannya The Stonehenge karena batu–batu itu bertumpuk mirip dengan Stonehenge di Inggris. Mungkin karena Stonehenge dibuat manusia sehingga posisinya sudah diatur sedemikian rupa agar terlihat menawan. Berbeda dengan Batu Solor yang diduga memang terbentuk secara alami. Saya malah lebih suka dengan nama lokalnya sendiri, Batu Solor, Bheto So’on. Lebih terdengar asyik daripada harus dingris-inggriskan. Tidak semua hal harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sih.
Ketiga, saya tidak suka dengan kehadiran pohon-pohon jati yang membuat Batu Solor berkurang keindahannya. Saya tidak bilang jelek, tapi berkurang ya. Jadi plis jangan dipelintir, discreenshoot, disebarkan, lalu dihujat ramai-ramai. Saya anak baik-baik dan baperan. Hiks. Entahlah, pengelola Batu Solor harus memikirkan bagaimana caranya daerah sekitar tetap hijau, penuh dengan tanaman untuk perindah lokasi, bebas sampah, dan pengunjung rela datang jauh-jauh hanya untuk melihat keindahan Batu Solor. Saya anaknya memang banyak maunya jadi harap mahfum.

Keempat, saya datang pada momen yang kurang tepat. Saya rasa musim kemarau memang mengurangi keindahan batu-batu tersebut. Mungkin saat musim hujan akan jauh lebih bagus. Mungkin. Saya belum coba.

Ehm, tapi serius. Saya tidak menyesal kok. Keberadaan batu-batu itu memang sudah berada pada porsinya, hanya saja memang perlu dibenahi lagi agar semakin cantik. Kalau direncanakan dengan baik dan dikerjakan dengan cermat, saya yakin akan sedikit keluhan karena beberapa poin yang saya sebut di atas. Bahkan bisa jadi akan mengajak teman lain beramai-ramai untuk datang. Artinya apa, jika ada wisatawan luar daerah datang, akan menambah kuat perekonomian di Bondowoso, juga mengurangi angka pengangguran. Bisa jadi kan orang-orang datang lalu makan-makanan khas Bondowoso dan membeli oleh-oleh di sana. Mungkin penduduk setempat bisa jadi tour guide juga untuk turis lokal dan mancanegara.

Wahana yang tersedia di Batu Solor. Cukup instagramable. (kredit: @ari.aru_)


Sesederhana itu memang meski dalam prosesnya akan cukup panjang. Seperti air terjun Coban Rondo. Jika dilihat, air terjun rata-rata begitu-begitu saja penampakannya, tapi banyak orang yang datang setiap harinya. Batu Solor pun begitu, hanya begitu saja. Batu-batu tersusun dan sebenarnya setengah jam saja berada di titik yang sama akan bosan.

Daaaaan berita baiknya kalau ke Batu Solor kamu juga bisa mengunjungi air terjun yang tak jauh dari situ. Saya belum sempat ke sana karena ya, motor saya sedang manja. Tidak kuat kalau harus menempuh jalur menanjak lagi. Saya akan datang lagi dengan cerita mandi di bawah air terjun Desa Solor. Eh, aminkan dong. Batu Solor memang recomended banget dan tunggu cerita saya selanjutnya ya. (Uwan Urwan)


Referensi:
Hawkins, GS (1966). Stonehenge Decode. ISBN 9,78-0-88029-147-7  

Comments

Paling banyak dibaca

Jamur blotong Nama Ilmiahnya Ternyata Coprinus sp.

Saya menduga jamur yang selama ini saya beri nama jamur blotong nama ilmiahnya Coprinus sp. Setiap usai musim giling, biasanya musim hujan, saya dan tetangga berburu jamur ini di tumpukan limbah blotong di dekat Pabrik Gula Wringin Anom, Situbondo. Jamur Coprinus sp . tumbuh di blotong Asli, kalau sudah tua, payungnya akan berwarna hitam seperti tinta dan meluruh sedikit demi sedikit Sudah sekian lama mencari tahu, berkat tulisan saya sendiri akhirnya saya tahu namanya, meski belum sampai ke tahap spesies . Jamur yang bisa dimakan ini tergolong dalam ordo dari Agaricales dan masuk dalam keluarga Psathyrellaceae. Selain itu, jamur ini juga suka disebut common ink cap atau inky cap (kalau benar nama ilmiahnya Coprinus atramentarius ) atau Coprinus sterquilinus (midden inkcap ) . Disebut begitu karena payungnya saat tua akan berwarna hitam dan mencair seperti tinta. Nama yang saya kemukakan juga berupa dugaan kuat, bukan berarti benar, tapi saya yakin kalau nama genusnya Copr...

Bunga Telang Ungu (Clitoria ternatea) Jadi Alternatif Pengganti Indikator PP Sintetis

Makin ke sini, ketenaran bunga telang (Clitoria ternatea L.) kian meluas. Banyak riset terbit di internet, juga tak ketinggalan pecinta herbal dan tanaman obat ikut berkontribusi memperluas infromasi itu.  Bunga telang ungu, tanaman yang juga dikenal dengan nama butterfly pea itu termasuk endemik karena berasal dari Ternate, Maluku, Indonesia. Meski begitu, banyak sumber juga mengatakan bahwa bunga telang berasal dari Afrika, India, Amerika Selatan, dan Asia tropis. Banyak info simpang siur karena sumber-sumber yang aku baca pun berasal dari riset-riset orang. Nanti jika ada waktu lebih aku akan melakukan riset lebih dalam mengenai asal usulnya. Antosianin bunga telang merupakan penangkal radikal bebas Kredit : researchgate.net Bunga telang kaya akan antosianin. Antosianin adalah golongan senyawa kimia organik berupa pigmen yang larut dalam air, menghasilkan warna oranye, merah, ungu, biru, sampai hitam. Tak hanya pada bunga Clitoria ternatea, antosianin juga ada di banyak buah dan...

Blogger Situbondo dan Peranannya dalam Mempromosikan Kota Santri

Situbondo, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Timur, menyimpan pesona yang belum banyak terungkap. Dibandingkan dengan Banyuwangi yang sibuk dengan wisata kelas dunia dan Jember yang dikenal dengan festival budayanya, Situbondo seolah masih berada dalam bayang-bayang. Padahal, kabupaten ini memiliki daya tarik luar biasa, dari wisata alam, budaya, hingga kuliner khas yang unik. Tantangan utamanya adalah bagaimana cerita tentang Situbondo bisa menjangkau lebih banyak orang. Di sinilah peran blogger menjadi sangat penting—merekalah yang bisa membawa nama Situbondo ke dunia digital, menyebarkan pengalaman, opini, serta keindahan daerah ini dalam bentuk narasi yang menarik dan inspiratif. Blogger Situbondo Menjadi Wajah Baru Jurnalisme Digital Dulu, informasi tentang suatu daerah hanya bisa ditemukan melalui media cetak atau berita resmi. Namun, di era digital seperti sekarang, blog menjadi salah satu sumber informasi yang lebih fleksibel, dekat dengan masyarakat, dan mudah diakses. Bl...

Empat Alasan Tidak Memakai Pasir Pantai untuk Kucing

  Gara-gara pasir kucing habis dan uang pas-pasan, akhirnya aku putar otak, bagaimana cara kucing bisa pup. Ketemu jawabannya, “pasir pantai”. Kebetulan rumahku bisa dibilang tida terlalu jauh dengan pantai, naik motor setengah jam, sampai.   Itu juga karena aku mendapat inspirasi dari video Tiktok yang rutin mengambil pasir pantai sebagai penganti pasir kucing. Dan setelah mencoba pakai selama dua hari, hasilnya, aku atas nama pribadi, Uwan Urwan, TIDAK DIREKOMENDASIKAN . Kenapa? Pasir pantai lebih berat dibandingkan pasir khusus kucing Pasir pantai tidak jauh berbeda dengan pasir yang dipakai untuk bahan bangunan, berat. Warna pasir pantai beragam, mulai dari hitam seperti batu sampai krem. Ukuran pun beragam, mulai dari yang sangat halus sampai ke pasir ukuran normal. Yan paling au soroti adalah warnanya, ternyata setelah diletakkan di dalam bak, jadi tidak bagus. apalagi kalau sudah ada gundukan pup dan kencing yang seperti menyebar. Berbeda dengan pasir khusus ...

Bagaimana menu isi piringku yang benar?

Sering mendengar frase Isi Piringku? Hem, sebagian orang pasti tahu karena kampanye yang dimulai dari Kementerian Kesehatan ini sudah digaungkan di mana-mana, mulai dari media sosial, workshop-workshop kesehatan di daerah-daerah, dan sosialisasi ke ibu-ibu begitu ke Posyandu.  Slogan Isi Piringku menggantikan 4 Sehat 5 Sempurna Isi Piringku adalah acuan sajian sekali makan. Kampanye ini sudah diramaikan sejak tahun 2019 menggantikan kampanye 4 sehat 5 sempurna. Empat sehat lima sempurna terngiang-ngiang sekali sejak kecil. Terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur-mayur, buah-buahan, dan susu adalah kombinasi sehat yang gizinya dibutuhkan tubuh, sebab mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral, susu adalah penyempurnanya. Kenapa harus berganti slogan?  Slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang aku tangkap maknanya, dalam setiap makan harus ada empat komposisi dan susu. Mengenai jumlahnya, aku bisa ambil nasi lebih banyak dengan sedikit sayur atau sebaliknya, atau sebebas-bebasnya ki...

Golda Coffee dan Kopi ABC Botol, Kopi Kekinian, Kopi Murah Cuma 3000an

Kamu suka kopi hitam pekat, kopi susu, kopi kekinian, atau yang penting kopi enak di kedai kopi? Mungkin kita sering sekali nongkrong bersama teman di kedai kopi mencoba berbagai aneka ragam kopi, mahal pun tak masalah, tapi yang jadi persoalan jika sedang miskin, apakah akan tetap nongkrong? Pilihannya ya minuman murah, misalnya kopi murah dan kopi enak yang cuma 3000an ini.   Aku, Uwan Urwan, memang bukan penikmat kopi banget, tapi suka minum kopi, kadang sengaja mampir ke kedai kopi punya teman, paling sering membeli kopi Golda Coffee dan/atau Kopi ABC Botol, yang harganya hanya 3000an. Aku akan mencoba mereview empat rasa dari dua merek yang kusebut sebelumnya. Golda Coffee kutemukan di minimarket punya dua rasa, yaitu Golda Coffee Dolce Latte dan Golda Coffee Cappucino. Sementara Kopi ABC botol juga kutemukan dua rasa, chocho malt coffee dan kopi susu.   Keempat rasa kopi kekinian kemasan itu aku pikir sama karena biasanya hanya membeli, disimpan di kulkas, dan la...

Fauzi, Sosok di Balik Gerakan Pemuda dan Musik Situbondo

Ahmad Fauzi berdiri di tengah kebunnya Aku tak menyangka akan menemukan sesuatu yang begitu luar biasa di sudut kecil Situbondo ini. Sebuah lahan hijau yang tertata rapi, penuh dengan kehidupan dan harapan. Greenhouse sederhana berdiri kokoh, dikelilingi jaring halus sebagai tempat pembibitan. Di sekitarnya, deretan tanaman sayur tumbuh subur—terong, cabai, kacang panjang, kelor, sawi, serai, pepaya, hingga okra.  Tak jauh dari situ, ada kolam ikan yang airnya berkilauan di bawah sinar matahari. Area lain dipenuhi tanaman obat, masing-masing telah diberi papan nama, seolah memberi isyarat bahwa tempat ini bukan sekadar kebun, melainkan sumber ilmu dan kehidupan. Di tengah lahan, toren biru mencolok berdiri tinggi, menjadi sumber pengairan utama. Pemandangan ini semakin kontras karena lahan ini dihimpit oleh sawah dan rumah penduduk.  Toren biru ini bukan sekadar tempat penyimpanan air, tapi sumber kehidupan bagi tanaman sayur yang tumbuh hijau di sekitarnya. Ketika aku sibuk m...

Perjalanan Lukisan Uwan’s Art, Dari Kanvas ke Tiga Komunitas

Di sudut meja yang mulai berdebu, aku menarik laci yang hampir terlupakan. Tube-tube kecil cat akrilik berbaris di dalamnya, beberapa masih tertutup rapat, sementara yang lain sudah mulai mengering di tepinya. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak. Sudah lama aku tidak menyentuh kuas dan kanvas. Kesempatan itu datang dari sebuah ajakan—kolaborasi dengan tiga komunitas besar di Jakarta untuk sebuah acara seni dan edukasi di bawah naungan Kompasiana, yaitu Ketapels, KOMiK, dan Ladiesiana.  Kredit: KOMiK Aku, seorang pelukis amatir dari Situbondo, ditawarkan untuk menjadi sponsor sebagai bentuk dukungan untuk acara "Tur Museum sambil Belajar Nulis Naskah Film". Tentu saja, aku tidak bisa menolak. Setelah berpikir, aku memutuskan untuk mendukung dalam bentuk lukisan kanvas. Bagiku, seni bukan hanya tentang menciptakan sesuatu yang indah, tapi juga tentang berbagi makna dan emosi dengan orang lain. Menyentuh Kembali Kanvas yang Terlupakan Aku menuangkan sedikit demi sedikit cat ...

Imron, Penggerak Literasi dari Desa Trebungan, Situbondo

Moh. Imron adalah bukti nyata bahwa semangat, kerja keras, dan cinta pada ilmu bisa membawa perubahan nyata bagi komunitas. (Kredit foto: Moh. Imron) Di sebuah sudut kecil Situbondo, ada seorang pria yang menjalani hidupnya dengan kesederhanaan, namun penuh mimpi besar. Namanya Moh. Imron, sosok yang kini dikenal sebagai direktur takanta, sebuah komunitas literasi yang menjadi rumah bagi banyak penulis terutama di Situbondo. Meski begitu, Imron bukanlah seseorang yang langsung dilahirkan sebagai penggerak. Masa kecil hingga remajanya lebih sering diwarnai rasa minder daripada percaya diri. Dari Anak Pemalu Menjadi Sosok Berani Ilustrasi dibuat menggunakan Canva Dulu, Imron adalah remaja yang merasa tertinggal. Saat teman-temannya sibuk dengan ponsel dan berbagai aktivitas, ia bahkan tidak memiliki telepon genggam. Pelajaran TIK di sekolah menjadi momok karena ia tak pernah menyentuh komputer sebelumnya. Tapi rasa minder itu justru menjadi titik awal perjalanan perubahan. Imron memutusk...

Pengalaman Pakai Pasir Pantai sebagai Pengganti Pasir Kucing

Sudah punya kucing sejak kecil. Biasa atas keberadaan kucing membuatku tak pernah berhenti untuk punya kucing. Kucing liar yang sering mampir ke rumah biasanya aku juga beri makan dan yang mau mendekat aku pelihara. Punya kucing sebelumnya dibiarkan pup di luar. Repot kalau anak-anak kucing sudah mulai makan selain air susu induknya, pasti akan kencing dan pup di kasur karena induknya pasti lebih nyaman meletakkan anak-anaknya di kasurku. Dulu harus melatih mereka terlebih dahulu selama beberapa waktu sebelum bisa pup di luar   Setiap hari harus mencuci sprei dan menjemur kasur. Begitu tahu bahwa kasur bukanlah tempat pup dan pipis, mereka akan buang hajat di luar. Tentu saja akan mencari pasir atau tanah yang cukup gembur sebagai tempat merahasiakan hasil buangan. Kadang tanah tetangga jadi sasaran dan harus menerima omelan mereka.   Sejak awal tahun 2022, kembali dari ibukota, kucing melahirkan, dan sudah mulai makan selain air susu induknya, aku siapkan pasir buat mer...