Emm, apa kabar? Sehat? Pembaca setiaku yang lucu dan selalu merindukan kehadiran sosok Uwan Urwan (wkwkw), di postingan ini saya akan bercerita hal serius. Benar-benar serius dan mungkin akan cukup panjang. Dari judulnya saja kamu pasti bisa mengira bahasan apa yang akan saya paparkan di sini. Kali ini mungkin tidak ada bahasa indah mendayu-dayu. Saya sedang tidak punya selera untuk membuat kamu tersihir dengan puitisasi, syairisasi, dan sejenisnya. Saya yakin postingan ini berguna buatmu yang selalu terpancing dengan drama-drama yang terjadi di sekitar kita.
Oh ya, rules buat postingan kali ini adalah tidak menyebut nama, baik itu tokoh atau selebriti. Untuk menghindari ujaran berupa fitnah dalam postingan ini. Kenapa? Seperti biasa, tulisan ini adalah hasil pengamatan di media sosial yang sangat bersifat subyektif.
People loves drama
kredit: (giphy.com) |
Haiah, saya mau sok-sok-an berbahasa Inggris biar kelihatan pintar. Mau salah tidak masalah, asal berbahasa Inggris. Wkwkwk. Jadi, secara naluri manusia memang suka drama, baik itu fakta atau fiktif, apalagi kalau kamu tukang gosip. Ssst, penulis juga doyan bergosip. Drama apa yang paling hits selama beberapa tahun terakhir ini? Benar sekali (padahal tidak ada yang jawab), PE-LA-KOR. Pelakor sangat familiar di telinga kita sebagai penjahat yang suka merebut suami orang. Yang dianggap pelakor dihujat habis-habisan oleh warganet, dibuat status sampai meme. Warganet seolah memang punya pekerjaan khusus untuk mengurus kehidupan orang lain, bahkan sampai bersabda disertai ayat-ayat di akun orang yang bersangkutan.
Saya tidak akan membahas pelakornya, tapi dramanya. Kenapa manusia-manusia kekinian justru makin banyak yang terjebak oleh drama-drama semacam ini? alasan utamanya tak lain tak bukan adalah terlalu sibuk mengurus hidup orang lain, terlalu nikmat berghibah sampai lupa kalau perkataan yang kita keluarkan lebih jahat ketimbang pelaku kejahatan itu sendiri.
Saya beri contoh paling sederhana. Mawar dan Bambang adalah sahabat karib. Dalam dunia kerja, mereka sering terlihat bersama, makan, nonton film di bioskop, dan travelling. Teman-teman lain, sebut saja Sinta, melihat kedekatan mereka bertanya-tanya, “Apakah Mawar dan Bambang berpacaran? Sayangnya pertanyaan itu justru diajukan ke teman lain, Rama. Rama dan Sinta sibuk berdebat tentang kedekatan Mawar dan Bambang sampai mengaitkannya dengan surprise birthday party yang dilakukan Mawar di kantor untuk Bambang dan banyak hal lain.
“Sepertinya sih memang pacaran ya,” tegas Sinta.
Dari percakapan dua orang, kemudian melebar. Secara tidak sengaja, Rama dan Sinta menyampaikan asumsinya kepada teman lain. Akhirnya kabar itu merebak. Pada suatu hari, saat Mawar dan Bambang sedang asyik mengobrol berdua di ruang rapat, teman-teman lain sibuk cie-ciein sampai menjadi paparazi. Mawar dan Bambang lalu bingung. Padahal hubungan keduanya hanya sebatas sahabat (memang susah ya punya sahabat lain jenis saat dewasa). Hari berlalu, Bambang dan Mawar sering mendapat pertanyaan, “Kalian pacaran?” Karena lelah dengan pertanyaan tersebut, akhirnya Bambang dan Mawar sepakat menjawab “Iya”.
Apakah drama Mawar dan Bambang selesai sampai di situ? Tidak. Asumsi-asumsi dari banyak orang membuat hubungan mereka jadi tidak senyaman sebelumnya. Ada sebagian orang yang mendukung, tapi tak sedikit yang menghujat karena Bambang perokoklah, suka main perempuanlah, atau apalah. Saking terganggunya hubungan mereka, akhirnya Mawar dan Bambang sepakat untuk menjaga jarak, hingga akhirnya salah satunya resign. Kemudian mereka tidak berkomunikasi lagi sampai saat ini.
Orang senang sekali berasumsi. Saya juga. Yang fatal jika asumsi tersebut berupa ujaran negatif kemudian disebarkan ke media sosial sampai viral. Lalu dikaitkan dengan banyak hal yang mengundang semakin banyak orang berkomentar negatif.
Generasi sumbu pendek
Dunia media sosial saat ini dikelilingi oleh orang-orang yang suka membaca instan, asal komentar tanpa baca detail, dan asal berkomentar dengan asumsi-asumsi negatif yang terlintas. Bisa dibilang sumbu pendek. Sering melihat di postingan artis, haters-nya ampun-ampunan berkata kasar? Atau melihat postingan cerdik yang membuat orang langsung berasumsi saat membaca judul, kemudian berkomentar asal? Apa yang terjadi kemudian? Yang asal komentar kemudian dibuli habis-habisan, atau buat orang yang berkomentar dengan teori berbeda pun akan mengalami nasib yang sama.
Melihat pasar yang begitu sensitif (senggol bacok), banyak para pencari ketenaran dengan iming-iming viral dan menghasilkan uang tanpa harus bekerja kantoran. Tahu tidak jika seseorang menjadi viral (kebanyakan hal negatif), akan banyak orang yang mencari tahu, follow, lalu mulai berasumsi dan berkomentar tanpa pandang buluh karena terbawa emosi. Begitu banyak orang yang mudah terprovokasi sehingga gampang sekali mereka klik share dengan dibumbui asumsi-asumsi yang kadang jadi di luar konteks postingan itu sendiri.
Ada dua faktor yang bisa jadi viral di dunia maya, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Faktor ketidaksengajaan biasanya disebabkan karena “saking keselnya”, “saking jengkelnya”, “saking marahnya”, dan saking-saking yang lain. Saya tidak akan menggarisbawahi postingan positif yang viral, sebab hal itu jarang terjadi. Biasanya lebih cepat tenggelam. Berbeda dengan hal negatif yang viral. Bisa berhari-hari dibahas atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun akan terus diungkit. Saking jengkelnya seseorang terhadap sesuatu, lalu ia membuat postingan (baik di FB, Twitter, Instagram, atau media sosial lain). Semua yang dilontarkan dalam postingan tersebut hanyalah pesan subyektif yang kemudian beberapa orang tidak sependapat. Kemudian postingan tersebar di media sosial dalam bentuk capture-an. Kian banyak yang tidak sependapat, kian viral postingan tersebut. Sampai-sampai media online ikut turun tangan. Apakah postingannya berfaedah? Saya kira tidak. Karena informasi yang muncul hanya secuil dan hanya berupa potongan-potongan komenar dari warganet.
Bagaimana dengan yang sengaja? Banyak pelaku yang dengan sengaja korbankan dirinya agar viral untuk tujuan tertentu. Saya selama ini mengamati sih, ya bisa jadi salah bisa jadi benar, tapi polanya rata-rata sama, fake account, berita yang sedang booming, dihujat banyak fake account dan real account (jumlahnya lebih sedikit. Belum pernah menghitung sih, cuma terlihat dari jumlah followers, foto, dan postingan-postingannya). Saya menduga, sekumpulan fake account itu sebagian memang diseting dan sebagian yang lain di balik itu adalah pemilik akun yang bersembunyi dari identitasnya agar bisa lebih bisa berekspresi saat sedang kesal.
Perjalanan drama selebriti medsos masih panjang. Mereka sudah jauh-jauh hari perhitungkan dan rencanakan itu. Semua cerita dibuat sehalus mungkin sehingga orang-orang hanya mengikuti alur dan tergugah emosinya. Pintar. Tentu saja. Artikel ini bersambung dulu ya. Terlalu panjang nanti kamu bosan. Tunggu update-annya! (Uwan Urwan)
Comments