Pernah melihat sebuah acara di televisi pada saat ulang tahun DKI Jakarta, hampir semua orang di dalam acara tersebut mengenakan pakaian sejenis? Tentu pernah ya. Tidak hanya di televisi, tapi di berbagai acara offline di Jakarta pasti mengenakan pakaian khas Betawi. Pria biasanya mengenakan baju sadariah, celana komprang dengan ukuran ranggung, gulungan sarung yang dililit di leher, sabuk hijau, dan peci berwarna merah. Lumrahnya begitu, tapi biasanya pakaian tersebut dimodifikasi. Sementara itu untuk perempuan biasanya mengenakan baju kurung dengan warna menyolok, selendang berwarna senada, kain batik, dan kerudung yang dililitkan di kepala.
Saking khasnya, hanya dengan melihat foto, kita dapat sebut pakaian yang digunakan orang itu dengan mudah mengenali kekhasannya. Bagaimana dengan Situbondo? Hem, saya sering bingung menjawab. Saat saya merantau ke beberapa kota pun sering ditanya, “Apa sih yang khas di Situbondo?” Seringkali bingung untuk menjawabnya.
Ternyata tak hanya saya sendiri yang bingung. Hampir semua masyarakat Situbondo pun bingung, sampai apatis. Kemudian lebih memilih untuk banggakan daerah lain karena dianggap lebih maju. Melihat kondisi memprihatinkan ini, Dewan Kesenian Situbondo kumpulkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya untuk gali dan formulasikan pakaian khas Situbondo. Kenapa sih harus pakaian khas? Perlu digaris bawahi, pakaian khas, bukan pakaian adat. Pakaian khas yang dimaksud adalah pakaian yang bisa digunakan oleh siapa saja dan kapan saja, tapi memiliki ciri spesifik.
Oh ya masih ingat dengan tulisan saya sebelumnya “Seniman dan Budayawan Siapkan Tari Khas Situbondo”? Setelah melalui drama yang cukup membuat kepala panas, akhirnya tari khas Situbondo sudah sampai ke tahap perekaman. Ternyata tidak mudah satukan ide dari banyak kepala. Pasti banyak drama yang terjadi. Tidak sabar? Sama. Jangan khawatir. Sambil menunggu, Dewan Kesenian Situbondo persiapkan pakaian khasnya. Cukup adil bukan? Kamu? Yes, saya yakin kamu yang apatis akan mulai bangga saat ditanya, “Situbondo punya apa?”.
Kembali ke topik utama. Pertemuan yang diadakan di Aula Hotel Lotus, Situbondo, itu mengumpulkan banyak data dari berbagai sumber, baik dari internet, foto, bukti sejarah, buku, budayawan, dan seniman. Kemudian dari data-data tersebut diidentifikasi secara historis, filosofis, dan etnografi, untuk kemudian diidentifikasi motif, corak, dan warnanya.
Situbondo termasuk daerah yang kaya sumber daya alamnya, sehingga banyak pendatang dari berbagai suku, termasuk Suku Madura (terbanyak). Masing-masing suku yang datang membawa budaya sendiri-sendiri. Tak heran jika terdapat perbedaan signifikan di beberapa wilayah. Secara geografis, Situbondo dibelah dua oleh jalan poros Jakarta—Banyuwangi. Sisi utara lebih dekat dengan laut dan sisi selatan berupa perbukitan.
Kemudian dibentuklah tim inti untuk merumuskan pakaian khas tersebut dari perwakilan Formapaksi, pegiat sejarah, perias, MGMP Sejarah, desainer, penulis, perupa, budayawan, dan perwakilan dari Besuki juga Asembagus. Penentuan kekhasan ini memang tidak bisa dibentuk asal. Apalagi menyangkut nama Situbondo. Ada banyak orang yang terlibat dalam membangunnya. Dengan sumbangsih semacam itu, masyarakat dapat saling memiliki karena identitasnya tercermin dalam busana tersebut. Pakaian memang menjadi penanda identitas kedaerahan.
Melalui diskusi seru itu, saya mencatat garis besar yang harus mencerminkan pakaian tersebut, antara lain punya nilai sejarah, bisa diterima secara agama, nyaman digunakan, punya nilai-nilai yang dikombinasikan, layak dipakai, bisa diproduksi secara masif, terjangkau, menarik, estetis, kekinian, dan bisa dipakai semua kalangan. Oh ya tambahan, udeng harus harus diganti. Udeng di Situbondo ternyata ada beberapa versi, yaitu Udeng Rato, Udeng Obet, dan Udeng Geleng.
Kira-kira seperti apa ya pakaian khas Situbondo? Apakah yang pria hanya pakai sarung an yang perempuan pakai kebaya? Ah, bagaimana kalau sambil menunggu, kita bikin sesuatu, apa gitu, misal wisata kebun melon atau persiapkan cemian khas Situbondo yang berbeda. Akan sangat menarik, bukan? Apalagi kalau Situbondo makin maju, makin banyak wisatawan yang datang. Ya kan? (Uwan Urwan)
Referensi:
Kamerabudaya.com
Comments