Siang itu langit cerah, awan-awan
putih bergelombang diterpa sinar mentari, angin berembus lembut di pipi.
Daun-daun palem bergerak-gerak seperti penari-penari tradisional memainkan
tangan gemulainya. Saya tersenyum sambil memastikan perjalanan beberapa menit
lagi sangat menyenangkan.
Walking tour, istilah yang masih cukup asing di telinga. Meski
saya sering melakukannya sendiri, biasanya, untuk mengunjungi tempat-tempat
tertentu, walking tour dengan dipandu
tour guide sebagai fasilitas tambahan
dari hotel IBIS Tamarin, Jakarta, adalah tawaran menggiurkan yang tak boleh
dilewatkan. Pasar Baru menjadi tujuan wisata kami berempat, saya dan Imawan
Anshari, teman bloger; Gracia Vega Setiawan, Assistant Sales Manager IBIS
Tamarin; serta Erik, guide kami dari meetcation.com.
Mobil melaju dengan mantap, jalanan cukup lengang untuk dilalui, dan saya
terlena dalam perbincangan-perbincangan kecil di dalam mobil. Beberapa saat
hening, lalu kami sibuk dengan pikiran masing-masing, seperti sedang membaui
masa depan. Ada jalan cerah di sana.
Dari kiri: Erick, Vega, Imawan |
Dari jauh terlihat sebuah pintu gerbang menjulang tingginya bertuliskan “Passer
Baroe”. Pasar Baru adalah salah satu pusat belanja di Jakarta. Pasar Baru
adalah pusat perbelanjaan tertua di Jakarta. Letaknya di Jalan Pasar Baru, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan
Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pasar itu dibangun tahun 1820. Untuk masuk ke
dalam, jika melalui jalan utama, saya harus melewati sebuah jembatan. Toko-toko
di Pasar Baru bergaya arsitektur Tiongkok dan Eropa. Tak heran jika banyak
orang keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah sekitar.
Blusukan ke China town di Jakarta
Salah satu sejarah besar yang menciptakan Jakarta, kota terbesar di
Indonesia, terdapat di Pasar Baru. “Pasar Baru itu salah satu China town di Jakarta,” kata Erick. Memang
benar, sebagian besar penjual di Pasar Baru keturunan orang berkulit putih dan
bermata sipit. Sebetulnya mata saya juga tergolong sipit, meski sebenarnya
bukan keturunan Tionghoa (apasih
wkwkwk). Beberapa bangunan di wilayah tersebut mempertahankan keaslian
bangunannya, beberapa sudah dipugar dan diperbaiki.
Salah satu gang di Pasar Baru (Captured by Imawan) |
Saya kemudian diajak menelisik sebuah toko berlabel ‘Toko Kompak’, sebuah bangunan bersejarah yang terlihat tidak
terawat. Teras bangunan digunakan sebagai area berjualan pakaian, sementara di
dalam bangunan hanya digunakan untuk meletakkan perabotan dan tempat
bercengkrama. Pengunjung tidak diizinkan untuk mengambil gambar di dalam
ruangan, hanya bisa mengambil gambar di bagian depan saja.
Toko Kompak adalah bangunan khas Cina Eropa, berlantai dua. Sayangnya
lantai dua aksesnya ditutup. Konon, bangunan ini cukup luas dan tersohor.
Sebagian bangunan dijual dan saat ini digunakan sebagai toko. Banyak bagian
dalam bangunan dibiarkan tidak tersentuh, padahal kalau dipugar, pengunjung
bisa memanjakan diri untuk melihat keelokan bangunan ini pada zamannya. Toko
Kompak semula bernama Sin Siong Wouw. Kemudian ada larangan pemerintah semua
nama toko berbau Tionghoa, akhirnya diganti dengan nama Toko Kompak. Harapanya
sih, agar semua anggota keluarga tetap kompak.
Toko Kompak dilihat dari luar (Captured by Imawan) |
Karena tersohor, Toko Kompak dulunya sering dipakai untuk pesta-pesta etnis
Tionghoa. Barongsai biasa bermain di dalam ruangan tersebut untuk menghibur
tamu. Kalau ada pertunjukan barongsai, penonton bisa melihat dari lantai dua.
Awal mula bangunan itu berdiri adalah sebuah rumah besar yang kemudian beralih
fungsi menjadi toko yang menyediakan banyak perlengkapan. Pemiliknya dulu
seorang mayor Tiongkok, Mayor Tio Tek Ho. Saat ini kepemilikannya belum jelas,
apakah milik seseorang atau sudah masuk cagar budaya. Namun, sampai saat ini
belum ada tanda-tanda bangunan itu akan dipugar.
Kemudian saya berkunjung ke sebuah toko Lee le Seng. Di depan toko bertuliskan tahun 1873. Saya menduga,
toko ini berdiri sejak tahun 1873 (ya karena bertuliskan begitu ya. Hehe). Lee
Ie Seng menjual berbagai peralatan tulis, termasuk sisir, permen masa lampau,
dan beberapa hal lain. Bisa dibilang agak acak jenis barang yang dijual, tapi
penataan di dalam toko terstruktur.
Toko Lee Ie Seng (Captured by Imawan) |
Ada pedagang uang jadul (Captured by Imawan) |
Lalu mata saya tertuju pada pedagang koin jadul. Saya menemukan banyak koin
dan uang kertas yang masih belum saya miliki. Mengobrol sebentar dengan
penjualnya saya rasa adalah salah satu cara saling berbagi energi positif,
meski saya tidak membeli satu pun barang yang dijual. Wkwkwk.
Diajak berjelajah ke dalam gang-gang membuat kaki saya kian bergairah
melangkah. Keringat memang jadi salah satu kendala, tetapi bukan berarti saya
harus minta Tuhan perintahkan awan turunkan air hujan, kan. Saya merasa sedang
berada di negeri orang bermata sipit tetapi dengan penggunaan bahasa yang saya
pahami. Beberapa orang berwajah kejawa-jawaan, kejakarta-jakartaan,
kebatak-batakan, kemadura-maduraan, dan lain-lain juga beberapa kali saya
temui. Kombinasi dan toleransi yang cukup membuat merinding bagi saya begitu
melihat orang-orang yang berbeda suku dan agama menyatu dalam perbincangan
kecil dan perdagangan. Menurut saya, perselisihan karena perbedaan itu
sebenarnya hal sia-sia. Sebab, selain tidak berfaedah, memutus rantai
pertemanan melalui kebencian sungguhlah tidak bijak.
Tak lama, tibalah tubuh saya di sebuah bangunan bernuansa merah, Klenteng Sin Tek Bio di bawah naungan
Yayasan Wihara Dharma Jaya. Klenteng itu berdiri tahun 1698, jauh lebih tua
dibandingkan Pasar Baru sendiri. Klenteng Sin Tek Bio bisa dibilang cukup
sempit karena bersebelahan dengan perumahan penduduk dan bangunan lain. Dulu,
klenteng ini bisa dilihat dari jalan utama, tetapi seiring waktu berjalan,
klenteng itu tersembunyi dan terhalang oleh bangunan di depannya. Lebih dulu
lagi, Klenteng itu terletak di tengah kebun. Artinya, dari jauh kita bisa
melihat bangunan itu.
(Captured by Imawan) |
Klenteng Sin Tek Bio penuh dengan lilin menyala di dalam (Captured by Imawan) |
Bagian dinding dan atap tampak menghitam, peninggalan hasil pembakaran
lilin-lilin yang tersebar di banyak titik. Itu menandakan klenteng itu ramai
dikunjungi orang setiap harinya dan jadi pusat beribadah bagi penganutnya. Dari
luar bangunan terlihat sempit, tapi ternyata Klenteng Sin Tek Bio memiliki
banyak ruangan sejenis tapi berbeda
dewanya. Saya bisa menjelajah ke hampir semua ruangan, mencoba pelajari dan
mendengar cerita tentangnya. Pengunjung bisa datang sampai lantai tiga. Saya
yakin kalau sedang ramai, bagian dalam ruangan akan terasa panas dan sesak
karena ada banyak lilin, baik yang kecil-kecil sampai yang berukuran besar
menyala apinya.
Tak jauh dari Klenteng Sin Tek Bio, terdapat salah satu warung makan
populer di Pasar Baru, Bakmi A Boen. Untuk menuju lokasi, saya hanya perlu masuk
ke Gang Kelinci, mengikuti jalan, saat berbelok kamu akan melihat toko di ujung
belokan bertuliskan Bakmi A Boen. Sebenarnya Bakmi A Boen terletak di belakang
Klenteng Sin Tek Bio. Terlihat kecil dari luar, tapi kalau kamu masuk ke dalam
akan menyadari bahwa tempat makan itu cukup luas dan punya beberapa ruang yang
bisa digunakan. Warung ini selalu ramai pengunjung, kebanyakan memang yang
bermata sipit. Oh ya, menunya beragam dan saya harus bilang kalau tidak halal.
Hehe...
Penampakan Bakmi A Boen dari luar (Captured by Imawan) |
Usai mengunjungi Bakmi A Boen, saya menyusuri pasar kembali beberapa ratus
meter menuju Masjid Lutze Jakarta. Bangunan itu dari jauh tampak mencolok
karena berwarna merah dan kuning. Memang sangat berbeda jika dibandingkan
masjid-masjid pada umumnya yang tidak punya gubah dan menara. Jika dari jauh,
orang-orang tidak akan sadar bahwa bangunan itu adalah masjid. Masjid Lautze
terletak di Jalan Lautze, yang merupakan kawasan pecinan.
Sayang sekali masjid itu tutup, jadi saya hanya bisa melihatnya dari luar.
Masjid itu memang tidak buka setiap saat karena tujuan utamanya untuk membantu
orang-orang yang ingin menjadi mualaf. Jadi Masjid Lautze hanya buka pada hari
kerja hingga pukul 17.00 WIB, sebab di luar itu tidak ada jemaah yang
beribadah.
Sebenarnya, di Pasar Baru masih banyak yang bisa dijelajahi untuk
dipelajari. Kala saya punya waktu lebih banyak, perilaku masyarakat di Pasar
Baru bisa saya amati dalam kurum waktu tertentu atau mungkin menelisik sejarah
bangunan tiap bangunan yang ada sana untuk diangkat dan dijadikan buku. Waw,
sepertinya itu bisa jadi langkah yang cukup melelahkan tapi indah pada
akhirnya. Jadi, beginilah perjalanan saya bersama IBIS Tamarin menjelajah area
Pasar Baru. Beruntunglah saya menginap di IBIS Tamarin, saya tidak kesulitan berkunjung ke Pasar Baru, karena bisa ditempuh dengan transportasi apapun. Saya masih punya cerita walking
tour lagi loh. Tunggu ya! (Uwan Urwan)
Referensi
antaranews.com
thetravelearn.com
albertna.com
Comments