Tidak perlu kesulitan memutuskan, begitu
melihat trailer film Petualangan Menangkap Petir, dalam hati langsung berkata,
“Saya harus nonton.”
Betapa beruntungnya saya mendapat undangan Press Screening, Gala Premiere,
dan nonton bareng film Petualangan Menangkap Petir. Bukan sebuah kebetulan sih
sebenarnya, karena memang sudah beberapa kali diundang untuk datang dan
menghadiri acara seperti itu. Namun, yang selalu saya kagumi adalah saya dan
beberapa teman lain mendapatkan kesempatan perdana menikmati film sebelum
tayang di bioskop.
Petualangan Menangkap Petir adalah film bergenre anak-anak, hem, keluarga
lebih tepatnya ya. Daftar film yang wajib ditonton anak-anak kian bertambah,
setelah Kulari Ke Pantai dan Koki-Koki Cilik. Ketiga film itu tidak
mengecewakan, tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi kalau
mau ambil energi positifnya, ketiga film ini sangat layak ditonton semua usia
dan bagus untuk menyadarkan diri sendiri tentang betapa pentingnya keluarga dan
teman-teman di dalam hidup.
Meski jumlah film anak minim, rumah produksi Fourcolour Films berani ambil
bagian menghadirkan Sterling (Bima Azriel), Gianto alias Jaiyen (Fatih Unru),
Neta (Zara Leola), Wawan (Jidate Ahmad), Kuncoro (Danang Parikesit) dan Yanto
(Siswanto) ke dalam karakter-karakter unik mereka. Film ini diawali dengan
sebuah adegan Sterling sedang membuat video untuk Youtube dan berinteraksi
dengan teman-teman dunia mayanya. Kemudian Mahesa, sang ayah (Darius Sinathrya)
dan Beth, ibunya (Putri Ayudya) memutuskan mengajak Sterling pulang ke rumah
kakeknya dari Hongkong ke Boyolali. Mahesa khawatir anaknya akan tumbuh jadi
orang yang antisosial karena tidak pernah punya teman di dunia nyata.
Melihat kemampuan dan ketenaran Sterling, Jaiyen memintanya untuk
membuatkan film yang terinspirasi dari legenda Ki Ageng Selo, kisah Sang
Penangkap Petir. Ada banyak kejadian selama proses membuat film sampai akhirnya
Beth melarangnya melakukan itu. Perselisihan pun terjadi. Apakah mereka
berhasil atau tidak? Hem, kamu pasti bisa menebaknya sih. Klise? Mungkin.
Cerita di film Holywood juga sebenarnya bisa ditebak, hanya saja poin utamanya
bukan di ending, tapi jalan
ceritanya. Film ini drama, sudah jelas, komedi, iya juga, hem, sedih, iya juga,
ceria, iya. Menurut saya kombinasi sedih, cerita, dan lucunya pas meski
sebenarnya yang jadi poin of view dalam film ini justru Jaiyen, bukan pemeran
utamanya. Hehe...
Baca juga : Review film Kulari ke Pantai
Saya rasa sutradara dan penulis skenario sudah memutuskan hal yang bagus. Tidak
semua tokoh utama harus selalu jadi yang diutamakan, tapi normalnya sih tidak
begitu, tapi, tapi, tapi, saya sih setuju-setuju saja kalau filmnya begitu.
Bagus kok. Film yang berdurasi 93 menit itu cukup menyita perhatian, pesan
moralnya cukup kuat. Film itu seolah menasehati saya tentang betapa pentingnya
mimpi anak dan orangtua kadang jadi penghalang semangat anak untuk mengejar
mimpi.
Yang unik dalam film ini, budaya yang sudah hampir punah dibangkitkan
kembali, yaitu layar tancap. Saya ingat dulu belum banyak yang punya televisi.
Saat ada layar tancap, saya, keluarga, dan orang-orang sekitar sengaja
berbondong-bondong dan membawa alas duduk untuk menonton layar tancap. Yang
diputar pun film laga yang berjaya pada eranya. Sayangnya lagi, film ini jadwal
tayangnya sama dengan Wiro Sableng, 30 Agustus 2018, serentak di bioskop
seluruh Indonesia. Semoga kamu, kamu, dan kamu juga membagi waktu untuk
menonton kedua film itu, sebab saya yakin kamu tidak akan kecewa. Saya jamin
itu. (Uwan Urwan)
Comments