Saya masih ingat bagaimana rasanya
harus melewati masa kecil hingga remaja dirundung (dibuli) oleh teman-teman
sendiri. Saya sempat utarakan ingin pindah sekolah, tapi tidak ada alasan yang
bisa dikemukakan sehingga keinginan itu hanyalah sebuah angan.
Saya adalah orang yang bisa dibilang punya masa kecil tidak bahagia. Saya
harus berjuang keras untuk diterima lingkungan meski seringkali gagal. Kalau
pun berhasil, saya harus merundung teman lain yang lebih lemah. Terjadilah
rantai buli-membuli yang tak kunjung putus. Mengapa bisa begitu? Ubuat anak
kecil, teman adalah mutiara. Semakin banyak teman semakin bahagia, sebaliknya
jika tidak punya teman, dunia terasa seperti tidak berpihak pada kita.
Saya tidak akan menceritakan sebab kenapa saya dilecehkan oleh orang-orang,
juga oleh orang-orang dewasa kala itu. Akibatnya saya jadi anak yang punya
sedikit sekali teman, terkucilkan, dihindari, antisosial, takut bertemu dengan
orang baru, dan benci sekali keramaian. Hari-hari saya kemudian lebih banyak
dihabiskan di rumah, ke sana ke mari di dalam ruangan. Kalau pun keluar rumah,
saya pergi ke tempat yang tidak ramai, bisa menikmati kesendirian dan alam.
Lingkungan pengaruhi perkembangan mental anak
Saya tahu kalau terlihat lemah, tapi tidak semua orang mampu bertahan hidup
saat diolok-olok selama berpuluh-puluh tahun oleh orang lain. Namun ternyata
saya kuat dan bahagia saat ini. Hanya saja, saya seperti kehilangan sesuatu.
Ada bagian yang seharusnya sudah melejit ke atas, tapi ternyata masih belum
beranjak. Trauma, ketakutan, dan kesedihan masih terngiang-ngiang. Kalau kamu
melihat saya sedang tertawa, asyik berbincang dengan orang lain, atau kelihatan
baik-baik saja saat berada di tengah keramaian, kamu perlu tahu kalau saya
sedang takut. Saya pernah ditertawakan oleh banyak orang di satu tempat juga
diteriaki sesuatu hal beramai-ramai.
Hem, alhamdulillah sampai saat ini saya sehat walafiat, masih bisa makan
dengan nikmat, tidur nyenyak, dan menghirup aroma cinta dari kekasih. Wkwkwk...
Itu masa lalu saya dan beberapa teman akrab saya saat ini ternyata pernah
mengalami hal yang sama, korban rundung. Saya dan teman-teman itu punya
kecenderungan trauma yang berbeda, tapi beruntungnya kami berhasil melewati
masa-masa itu. Sebagian orang mungkin masih menyimpan dendam untuk membalas
perbuatan orang-orang yang pernah menyakitinya.
Saya ulangi lagi untuk masalah yang saya hadapi sekarang, saya seperti
kehilangan banyak momen saat saya masih anak-anak. Kalau saja kehidupan saya
lebih baik, lingkungan sekitar positif, lingkungan keluarga mendukung tumbuh
kembang, mungkin saya akan jadi orang yang lebih baik lagi sekarang (salah satu
faktornya). Sepertinya memang begitu sih, karena proses saat masih anak-anak berpengaruh
pada saat dewasa. Jadi kalau misalnya ada temenmu yang murung, pemarah tanpa
sebab, dan lan-lain, bisa jadi ada masalah di lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut Reynitta Poerwito, Bch. Of Psych., M.Psi, psikolog klinis dari Eka
Hospital, BSD, “Lingkungan yang buruk memang berpengaruh terhadap tingkatan
stres anak bahkan berpengaruh pada perkembangan mental.” Sebenarnya cukup
kompleks jika kita bahas ini karena kaitannya bisa ke mana-mana. Misalnya nih
di dalam rumah selalu sumpek, kualitas udara dan airnya buruk, minim ruang
terbuka hijau, sempit, dan lain-lain biasanya sebabkan stres tinggi. Bisa jadi
mood di dalam keluarga kurang bagus sampai akhirnya menjadi sebuah kepribadian
berjamaah.
Kaitannya juga dengan peningkatan hormon kortisol di dalam tubuh hingga
75%. Hormon kortisol adalah hormon yang dilepaskan saat seseorang sedang stres.
Sayangnya hormon ini pengaruhnya cukup mengerikan, yaitu menekan sistem
kekebalan tubuh, meningkatakan tekanan darah, meningkatkan gula darah, dan
menyebabkan obesitas. Tidak heran orang yang mengalami stres jangka panjang
sakit-sakitan.
Nah bahayanya lagi kalau anak-anak di dalam rumah ikut stres. Efeknya bisa
jangka panjang loh. Biasanya anak stres tan -tadanya tidak percaya diri, mudah
cemas, daya tangkapnya kurang, dan tidak seimbang antara penerimaan stimulus
dan reaksi emosi. Zata Ligouw, Editor in-Chief Lolamagz.id, juga setuju jika
anak perlu didampingi dandiberi perhatian lebih. Anaknya sempat menjadi korban
rundung juga, tapi untunglah melalui pendekatan yang cukup baik, anak mau
bercerita dan Zata bisa mencarikan solusinya. Sebagai orangtua, anak tidak
hanya harus dirawat dengan diberi makan, tapi juga perlu kasih sayang dan
perhatian orangtua. Ibaratnya, rumah harus menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali
karena rumah adalah tempat berlindung, tempat yang seharusnya penuh kasih
sayang dan kehangatan, sekaligus tempat untuk melepas stres.
Quality time bersama keluarga
Saya rasa berkumpul bersama keluarga itu penting. Harus rutin dilakukan.
Kalau pada hari-hari biasa ya hanya formalitas karena menghadapi rutinitas
kerja, sekolah, dan lain-lain, sempatkanlah waktu bersantai saat sore, malam,
atau hari libur bermain di luar ruangan. Bermain di taman mungkin atau di
halaman rumah. Yang jelas bareng keluarga. Waktu berkumpul bareng keluarga
jangan hanya fokus menggosipkan tetangga sebelah ya ibu-ibu. Soalnya kebiasaan
ibu-ibu kalau sudah berkumpul jadinya bukan quality time, malah bergosip.
Padahal anak-anak juga butuh didengar ceritanya.
Apalagi zaman sekarang, saya dan kebanyakan orangtua lain sibuk dengan
gawai. Sibuk sendiri dengan grup Whatsapp arisan atau grup alumni sekolah xxx
atau sibuk dengan media sosial yang sekarang sudah jauh lebih menarik ketimbang
di dunia nyata. Anak pun begitu, banyak yang tergiur untuk bermain gawai
ketimbang bermain di luar rumah. Akhirnya kurang bergerak secara fisik, padahal
organ tubuh kita juga perlu difungsikan untuk melakukan sesuatu.
Beberapa studi merekomendasikan pentingnya beraktivitas fisik di alam
terbuka, terutama untuk anak, ya karena bagus untuk perkembangan mental dan
psikososial anak. Kegiatan di luar rumah selama 30 menit bisa membantu anak
dengan gangguan perhatian dan hiperaktivitas menjadi lebih konsentrasi di
sekolah dan lebih tenang di rumah. Anak juga harus mengekplorasi lingkungan
sekitar. Kalau dibatasi justru perkembangannya terganggu. Kalau melihat
rumah-rumah di kota besar cukup memprihatinkan sih. Di depan rumah sudah jalan
umum. Karena lingkungan tidak aman, akhirnya orangtua melarang anak bermain di
luar rumah. Bisa jadi kecelakaan saat bermain, diculik, dan gampang sakit
karena lingkungan sekitar kotor.
Pilih hunian yang ramah anak
Hem, jadi orangtua tidak gampang. Mau tidak mau semua kebutuhan anak harus
dipenuhi, tidak hanya kebutuhan makan, minum, sandang, dan lain-lain, tapi juga
ruang gerak dan dukungan. Kalau sudah mau apa-apa dilarang, bagaimana anak bisa
tumbuh dan berkembang seperti seharusnya. Bagaimana kalau anak sedang stres di
sekolah, lalu pulang ke rumah makin stres karena ruang lingkupnya dibatasi?
Kira-kira saat dewasa bagaimana si anak?
Menurut hemat saya sih, sebelum memutuskan berkeluarga dan pisah rumah
dengan orangtua, selalu perhatikan lingkungan tempat tinggal yang akan dihuni.
Ya mulai dari bagaimana kondisi di dalam dan di luar. Jangan hanya memikirkan
sebagus apa interior di dalamnya kan. Melihat kebutuhan penting ini, Familia
Urban, sebagai kawasan hunian di belahan timur Jakarta, berusaha menjawab
permasalahan di atas. Lokasinya tidak jauh dari gerbang tol Bekasi Timur,
tentunya mudah dijangkau. Kawasan itu luasnya 176 hektar tidak hanya dipakai
untuk membangun rumah-rumah, tapi benar-benar rumah tinggal seperti pada zaman
dulu. Penghuni bisa menyatu dengan alam dengan adanya hutan buatan, ruang
terbuka hijaunya akan cukup tentunya kebutuhan oksigen terpenuhi, jalur
pedestriannya aman, rumahnya ada halaman agar keluarga bisa beraktivitas fisik
da bisa bercengkrama dengan tetangga sekitar.
Konsep Familia Urban memang “Green Spaces” dan “Walkable Neighbourhood” banget.
Area hijau tentu bermanfaat sebagai rumah bagi hewan-hewan dan tempat berteduh.
Biodiversitas yang tinggi dalam suatu lokasi justru menguntungkan manusia,
karena keseimbangan ekosistemnya terjaga. Area hijau juga melindungi dari
bencana seperti banjir atau hujan lebat sehingga kita masih bisa berteduh di
bawahnya, juga menghindari kekeringan (tanah yang gersang dan berdebu). Debu
kan cukup mengganggu ya apabila volumenya berlebih. Apa lagi ya? Oh iya,
pepohonan dan kanopi bisa mengurangi kebisingan. Saat musim serangga, mereka
akan mengeluarkan bunyi indah seperti sedang berada di hutan.
Familia Urban juga dikembangkan dengan pendekatan kenyamanan bagi
penghuninya. Nanti ada 28% lahannya untuk kawasan residensial, selebihnya untuk
CBD 11%, ruko 5%, Fasum Fasos 3%, greenery 11%, pond 9%, main boulevard 11%,
dan jalan kawasan 11%. Kawasan landed house ini dikembangkan oleh perusahaan
dari PT Timah (PERSERO) Tbk. Dengan memanfaatkan lahan milik PT Timah
menjadikan kawasan ini punya status tanah yang sudah jelas ya. Tidak ada
permasalahan lagi di kemudian hari.
Untuk harganya kamu tidak perlu khawatir, mulai dari 460jutaan. Aksesnya
mudah, bisa lewat Tol Jati Asih, Tol Bekasi Barat, Tol Bekasi Timur, dan Tol
Tambun. Tidak hanya mengembangkan Familia Urban, Timah Properti juga
mengembangkan kawasan hunian lain, yaitu Payon Ponca di Pondok Cabe, Payon
Kaladia di Kelapa Dua Depok, dan Kawasan Industri Berikat Yogyakarta. Yang
terakhir masih rencana yang akan direalisasikan. (Uwan Urwan)
Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Marketing Gallery Familia Urban
Jl Mandor Demong, Kel Mustikasari, Kecamatan Mustikasari, Bekasi
Telp : 0813 1777 1171
Twitter : @familia_urban
IG : @familia_urban_official
Comments