Asian Para Games 2018 membuktikan pada dunia
bahwa difabel pun mampu berkarya. Sebanyak 3.000 atlet dari 43 negara peserta
berpartisipasi dalam kompetisi olahraga terbesar untuk penandang disabilitas.
Hasilnya, Cina mendapatkan medali terbanyak sementara itu Indonesia berada di
posisi ke-5.
Masalah pekerjaan jadi perhatian penyandang disabilitas saat memasuki akhir
masa remaja atau usai taman SMA. Mereka, terutama yang berpendidikan rendah
punya kemampuan lebih sedikit dibandinhkan dengan mereka yang normal.
Penelitian tahun 2000 di Amerika, lebih sedikit difabel yang punya pekerjaan
dan mereka yang sudah bekerja pun penghasilannya jauh lebih rendah dibandingkan
mereka yang bukan difabel. Tingkat pengangguran difabel pun berkisar antara
40-60% lebih tinggi dibandingkan orang normal.
Difabel bisa berkarya, tapi masih dimarjinalkan
Selain itu, perusahaan tidak ingin mempekerjakan pegawai dengan disabilitas
karena dianggap produktivitas lebih rendah, tingkat kecelakaan tinggi, dan pergantian
karyawan tinggi. Sebenarnya untuk urusan pekerjaan, difabel sudah diatur dalam
Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa setiap badan usaha milik negara dan sawata harus
mempekerjakan individu dengan disabilitas yang memenuhi kualifikasi,
sekurang-kurangnya 1% dari jumlah seluruh karyawan. Tahun 2009, rasio
penyandang disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan masih kurang dari 0,5%
sehingga dapat dibilang bahwa penyandang disabilitas ini masih dimarjinalkan
dari pasar kerja.
Menteri ketenagakerjaan (Menaker) mengklaim penyandang disabilitas di
Indonesia yang masih menganggur tinggal 4% dari 11 juta jiwa tahun 2017. Jumlah
total penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 21 juta jiwa. Dari jumlah
tersebut, yang usia angkatan kerjanya kurang lebih sebanyak 11 juta jiwa dan
96,31% di antaranya telah bekerja di berbagai sektor pekerjaan.
Meski tiap tahun terjadi peningkatan jumlah yang difabel bisa berkarya di
perusahaan, di Indonesia masih belum mencapai target. Selain itu tidak semua
difabel diterima di masyarakat. Masih banyak juga yang mendapatkan perlakuan
tidak layak karena berbeda, termasuk dikucilkan.
Sejak kecil, difabel berada di sekolah khusus. Mereka punya teman-teman
yang juga difabel. Sementara itu, begitu keluar dari lingkaran difabel, mereka
seolah tidak punya tempat. Ada sih beberapa masyarakat yang peduli, tapi tidak
banyak. Difabel dianggap tidak mampu berkarya, padahal difabel bisa berkarya
sama seperti kita. Banyak perusahaan juga yang tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk bekerja. Alhasil semakin terkucilkan mereka. Di beberapa perusahaan memang diterima dengan baik, tapi
tidak selalu. Kenyataannya para difabel menemui banyak kesulitan karena
perbedaannya terlalu mencolok jika dibandingkan dengan mereka yang bukan
difabel.
Difabel diperhatikan setengah hati
Jumlah difabel bisa dibilang minoritas. Beberapa masyarakat, komunitas, dan
pemerintah sebenarnya sudah lama peduli mengenai fakta itu. Beberapa fasilitas
disediakan untuk difabel, misalnya kursi khusus di TransJakarta dan CommuterLine,
lantai pemandu berwarna kuning di trotoar, memberikan ramp dan lift yang punya
railink, mata uang kita yang bisa dideteksi oleh tuna netra, dan lain-lain. Meski
begitu tidak semua fasilitas digunakan dan dijaga dengan baik oleh mereka yang
bukan difabel. Trotoar dengan lantai pemandu sering digunakan oleh pedagang
kaki lima untuk berjualan sehingga untuk tuna netra yang berjalan kaki,
kesulitan untuk melewatinya. Belum lagi fasilitas kursi untuk orang
berkebutuhan khusus masih saja digunakan oleh mereka yang bukan difabel dengan
alasan “daripada tidak digunakan”.
Di sekitar lingkungan saya beberapa kali bertemu dengan anak berkebutuhan
khusus dan difabel. Beberapa dari mereka tetap didukung oleh orang tuanya
sehingga bisa berkembang dengan baik dan difabel bisa berkarya saat dewasa. Namun,
ada beberapa yang justru tidak mendapat perlakuan baik. Malah mereka sengaja
dikurung di dalam rumah oleh keluarganya lantaran malu. Belum lagi perlakuan
tidak menyenangkan dari orang tua berupa penyiksaan. Penyandang disabilitas
seringkali dianggap sebagai beban keluarga. Hal yang paling ekstrim adalah nama
anak tidak dicantumkan dalam Kartu Keluarga.
Pemerintah dan industri berkolabrasi
Beruntungnya sebagian orang, komunitas, dan pemerintah yang peduli dengan
difabel terus bergerak dan melakukan sosialisasi. Memang sih, ada perubahan. Pemerintah
melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Perindustrian sepakat melakukan
kerja sama untuk tingkatkan kompetensi penyandang disabilitas di Indonesia agar
siap bekerja di sektor industri. Upaya itu sejalan dengan arahan Presiden Joko
Widodo yang ingin lebih masif melaksanakan kegiatan pembangunan kualitas sumber
daya manusia Indonesia.
Komitmen itu dituangkan dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU)
tentang Pelatihan, Sertifikasi, dan Penempatan Kerja Bagi Penyandang
Disabilitas di Indonesia. Tahun 2019 targetnya sebanyak 72.000 orang ikut dalam
program diklat 3 in 1 yang akan segera dijalankan bulan Februari 2019. Program
itu akan berjalan selama tiga minggu yang nantinya diharapkan untuk mengurangi
pengangguran. Selain itu harapannya agar bisa berkarya dengan baik dan berkontribusi
untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Dalam perjanjian itu, tugas Kementerian Perindustrian adalah menentukan
jenis pendidikan dan pelatihan yang akan dilaksanakan bagi difabel,
melaksanakan pendidikan dan pelatihan difabel, melakukan sertifikasi
kompetensi, serta memfasilitasi penempatan kerja di perusahaan industri. Sementara
itu tugas Kementerian Sosial bertugas untuk menyediakan data potensi difabel,
melaksanakan rekruitmen peserta pendidikan dan pelathan, serta memfasilitasi
sarana dan prasarana termasuk operasionalisasi pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan.
Tahun 2019 akan jadi tahun emas bagi difabel. Karena beberapa perusahaan sudah
menyiapkan diri merekrut difabel yang mampu bekerja di perusahaan tersebut. Itu
pun berkat kerjasama Kementerian Sosial dan Kementerian Perindustrian. Semoga dengan
kerjasama ini, difabel lebih bisa ekplorasi kemampuan dan bakatnya sehingga
tidak ada lagi diskriminasi. Kita yang bukan difabel bisa berdampingan hidup
dengan difabel tanpa sekat.
Comments