Saya dirundung (bully)
selama 12 tahun. Terhitung sejak Sekolah Dasar (SD) sampai lulus Sekolah
Menengah Atas (SMA). Sebetulnya lebih dari itu, karena saat sebelum masuk SD
dan waktu kuliah pun saya mengalaminya, hanya saja tidak sesering saat masih
bersekolah. Bahkan itu masih terjadi juga hingga kini.
Saya masih berusaha ingat selalu memisahkan diri dari teman-teman, pura-pura tidur di atas meja menutup muka, berpura-pura tertidur di kamar,
atau bersembunyi di kamar mandi untuk menangis. Hampir setiap hari menangis dan
beruntungnya tidak ada satu pun yang menyadari itu.
Saya adalah korban perundungan verbal dari teman-teman sendiri juga
orang-orang sekitar yang saya kenal. Saya sebetulnya tak paham apa yang menjadi
masalah orang lain hingga dengan mudah menertawakan, mengolok-olok, bahkan
berteriak dari kejauhan hanya untuk menyakiti saya. Respon saya? Diam dan
bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, kemudian perlahan melakukan hal yang disebutkan
di paragraf sebelum ini.
Percobaan bunuh diri
Pada suatu waktu, karena saya pikir sudah tidak sanggup berada di tengah-tengah
itu, tidak punya teman yang bisa menerima, terkucilkan, lemah, dan tidak bisa
melawan. Yang bisa saya lakukan hanyalah bersekolah, menjadi anak yang rajin,
berdiam diri di dalam rumah sepanjang waktu, dan mengutuk diri sendiri.
Kemudian saya membuka laci yang berisi obat-obatan yang sudah tidak terpakai. Ada
sebungkus pil warna kuning, jumlahnya sekitar 10. Rencananya pil itu kutegak
dalam sekali teguk, tapi tidak jadi. Saya belum siap.
Lalu saya simpan baik-baik pil itu di dalam laci. Besok atau lusa mungkin
akan diminum, atau mungkin saya menemukan metode lain biar mati dengan cepat
tapi tidak merasa sakit. Sempat berpikir untuk menggorok pergelangan tangan, meneguk
obat nyamuk, bahkan gantung diri. Namun lagi-lagi saya berpikir ulang. Saya
bukan orang yang berani untuk melakukan itu. Waktu itu saya masih anak SD, lupa
pada usia ke berapa saya punya niat kuat untuk bunuh diri. Jadi jangan pernah
menganggap anak kecil tidak akan melakukan hal nekat saat mereka sedang
terpuruk.
Baca juga : Belajar energi spiritual bikin saya merasa sakti
Dari kesekian kali niat untuk mati, tidak ada satu pun yang terlaksana. Ketika sudah berusia belasan tahun, tidak ada sama sekali keinginan itu lagi. Justru saya harus hidup. Saya ingin tahu apa tujuan Tuhan menciptakan saya. Menjalani hidup menurut saya bukan serta merta harus mengikuti kemauan orang. Sejak kecil sudah terbiasa terasing bahkan awal masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), sama sekali tidak ada teman dari yang satu sekolah.
Kehidupan baru
Saya kira, dengan berada di lingkungan baru, saya aman. Ternyata tidak.
Saya harus melakukan rangkaian peraturan baru. Awal-awal masuk sekolah, saya
harus ikut kegiatan masa orientasi siswa selama tiga hari, di mana pada hari
ketiga saya harus ikut lomba sepak bola antarkelas, baik perempuan atau yang
laki-laki. Setiap kelas dilombakan.
Saya panik karena saya tidak suka pelajaran olahraga. Sayalah satu-satunya
siswa dari sekian ratus siswa yang tidak suka pelajaran olahraga. Pelajaran
olahraga membuat saya kehilangan teman. Saya ditunjuk untuk bermain bola tapi
menolak karena tidak bisa bermain. Sejak saat itulah saya kian benci jam-jam
pelajaran olahraga. Meski ada banyak jenis olahraga di dunia ini, sepak bola
adalah permainan wajib bagi para prianya. Usai guru selesai mengajar, masih ada
waktu kosong untuk bermain. Biasanya saya hanya bisa berdiri di tepian,
berpura-pura menyemangati teman-teman, berpura-pura senang melihat mereka
bermain.
Bila ditanya, kenapa tidak ikut? Jawabannya tidak diajak. Kenapa tidak minta bergabung saja? Saya tidak bisa bermain bola. Saya malu, saya takut ditertawakan kalau salah. Kenapa tidak belajar? Kenapa saya harus belajar sesuatu hal yang tidak disukai? Kenapa saya harus melakukan apa yang orang lain mau, bukan yang saya ingin? Ya, kalau begitu pergilah, cari kegiatan lain. Jangan jadi orang bodoh yang berpura-pura. Justru itu masalahnya. Saya tidak melakukan apapun karena tidak ada solusi apapun yang ditugaskan otak. Masalahnya ada di dalam diri saya sendiri.
Kadang saya memang senang
sekali menyiksa diri sendiri.
Diterimakah di lingkungan?
Saya selalu bersembunyi di balik nilai akademik, meski bukan orang yang
sepintar yang lain. Bukan anak yang bodoh tapi juga tak pandai, nilai di atas
rata-rata ‘sedikit’. Hanya itu yang bisa saya lakukan selain itu, bagaimana pun
usaha untuk diterima teman-teman, lebih banyak gagal. Pernah saya harus
berusaha terlihat serampangan dan menindas teman yang lemah. Kemudian menyesal
setelah tahu teman saya menahan tangis. Pernah juga melakukan hal-hal gila,
lalu berbalik ke diri saya sendiri. Saya lebih malu dan terpuruk karena itu.
Memasuki SMA, saya banyak melakukan hal baru. Ikut beberapa
ekstrakurikuler. Begitu saya putuskan untuk ikut ekstrakurikuler Pecinta Alam
(yang programnya kebanyakan mendaki gunung), teman-teman satu kelas bersorak-sorai,
bertepuk tangan. Mungkin teman-teman mengangap saya yang ringkih dan lemah itu
berani juga memilih bergabung di situ. Saya merasa diterima.
Apakah perundungan sudah berakhir? Tidak. Itu sudah jadi makanan sehari-hari,
meski intensitasnya berkurang. Karena saya juga lebih banyak menarik diri dari
orang-orang, sibuk di ekstrakurikuler. Kadang saya jijik melihat diri sendiri,
menyalahkan Tuhan, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, dan selalu
bertanya, “Kenapa harus saya?”
Kemudian pada suatu waktu, kakak kelas perempuan dalam sebuah pertemuan
ekstrakurikuler tiba-tiba bilang, “Saya dikasih tahu temen, gak boleh temenan
sama kamu.” Pada detik itu juga langit terasa cukup gelap. Begitu mendengar
penjelasannya, saya terdiam, tidak bereaksi. Lalu berbincang hal lain. Dalam perjalanan
pulang, saya menangis. Kebetulan saya sudah membawa motor ke mana-mana. Kok rasanya
susah menjadi saya, hanya karena berbeda, punya teman saja tidak bisa. Lalau saya
harus bagaimana?
Baca juga : Pengalaman bekerja di media sosial
Beberapa kali saya diteriaki, diolok-olok, dan ditertawakan satu gerombolan teman yang jumlahnya 20-40 orang. Pertama kali mengalami waktu masih kelas 1 SD. Yang saya lakukan hanyalah bersembunyi di balik pintu kelas, tidak berani masuk kelas. Pernah juga dikerjain geng yang sok jagoan. Mereka mengambil barang saya. Kemudian mempermainkan saya untuk merebut barang itu dari tangan mereka.
Punya teman senasib
Akhirnya saya punya teman juga, senasib, korban perundungan juga, dengan
kasus yang berbeda, perempuan, sebut saja Linda (bukan nama sebenarnya). Kami saling
buka diri tentang hal itu. Setiap ada masalah, kami berbagi. Begitu ada teman
yang mengolok-olok dan menertawakan, saya menceritakan itu kepada Linda. Hal
pertama yang dia ajarkan adalah menerima diri sendiri terlebih dahulu. “Jangan
lemah, jangan nangis. Kalo kamu nangis, kamu kalah.”
Saya masih ingat nasehatnya, “Kalau kamu sakit hati dengan apa yang mereka
omongkan, berarti itu benar.” Sejak itu, pelan-pelan saya tidak serapuh
sebelumnya. Kemudian kami terpisah karena harus menempuh pendidikan di
universitas dan di kota berbeda. Semakin beragamlah teman-teman yang ditemui,
semakin masa bodohlah mereka juga dengan karakter orang. Saya lebih diterima di
lingkungan itu. Keinginan lepas dari kampung halaman pun tercapai. Saya benci
kampung halaman dengan segala ceritanya. Untuk itu, saat teman-teman sibuk
mengenang masa indah saat SMA, justru saya tidak sama sekali merasa masa-masa
SMA adalah yang paling indah.
Di kampus perundungan itu masih berjalan, meski jarang. Saya punya teman baru, teman-teman korban perundungan dengan cerita yang berbeda. Ada yang dirundung karena jelek, gendut, penyakitan, tidak populer, dan miskin. Kami-kamilah orang yang seolah tidak punya kesempatan untuk duduk paling depan. Tempat kami di belakang, dianggap tidak punya kemampuan apa-apa, menjadi anggota. Paling buruk, tidak masuk dalam daftar anggota apapun. Beruntunglah saya juga sibuk dengan organisasi di luar akademik. Saya juga makin masa bodoh. Walaupun begitu ada juga saat-saat lemah saya tidak kuat menghadapi itu.
Pada akhirnya...
Jangan lupa bahagia |
Perjalanan hidup saya masih panjang sepertinya. Tuhan memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, “Mengapa harus saya?”, “Apa tujuanMu menciptakan saya,” dll sedikit demi sedikit. Saya dibiarkan hidup sampai sekarang, menjalaninya dengan baik, dengan lebih banyak warna, sedih menggebu-gebu, bahagia berlebihan, monoton, gelap, tanpa arah, dan lain-lain. Masalah berat yang saya hadapi saat ini bukanlah seputar perundungan, tapi sudah beralih ke hal lain, hal yang lebih besar, lebih menyakitkan, lebih menyenangkan, yang jelas lebih-lebih dari sebelumnya.
Kalau ada yang mengolok-olok secara langsung atau membicarakan saya di
belakang, sebenarnya bukan masalah besar. Selama kebencian masih personal saya
tidak peduli. Jika kebencian itu tidak beralasan, berlarut-larut, dan melibatkan
orang lain, saya akan maju. Karena saya yang sekarang sudah berbeda bukan lagi
saya yang hanya bisa diam di pojokan seorang diri sambil sesenggukan menyeka
air mata, tapi inti dari cerita saya bukan di paragraf ini sih.
Pada akhirnya, para pembenci akan selalu ada. Manusia tidak akan pernah
kehilangan itu. Tinggal bagaimana saya harus menjalani sisa hidup yang sebelumnya
saya lalui dengan ratapan, berganti dengan hal-hal yang lebih berguna. Menerima
kekurangan diri, menjadi manusia biasa, dengan tidak menjadi pembenci juga. Saya bersyukur masih bisa bernapas hingga kini.
Baca juga : Jamur blotong nikmatnya tidak terkira
Pada akhirnya, kamu boleh berasumsi apa saja tentang saya, tapi jika kamu membenci seseorang atau bahkan membenci saya, bijaklah dalam bersikap. Sebab kebencian itu akan kembali pada diri sendiri, bukan pada orang yang dibenci. Kadang tanpa disadari Tuhan memberi balasan, dan kamu tak sadar kalau itu adalah balasan dari perbuatanmu di masa lalu “sama persis” tapi lebih menyakitkan, sampai orang yang kamu sakiti menyadari itu. Beberapa kali Tuhan menunjukkan itu pada saya.
Pada akhirnya lagi, cerita ini hanya berupa ringkasan. Masih banyak kisah yang bisa saya angkat, mulai dari seberapa besar efek buruk yang daya terima selama ini, bagaimana teman-teman saya yang mengalami nasib serupa menjalani hidup, dan lain-lain. Yang jelas korban perundungan bisa jadi saat dewasa makin kuat dan sukses, tapi bisa juga jadi orang yang jahat dan pendendam. Kita tidak tahu.... Ya kita tidak tahu...
Comments