Kementrian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) pada Oktober 2018 mencatat ada 1.000 berita hoax
yang disebar sejak awal kampanye. Dari seribu hoax yang beredar, 20 akun media
sosial dibekukan karena jelas dibuat untuk menyerang tokoh tertentu terkait pemilihan
presiden 2019.
Data Kemenkominfo tersebut merupakan yang tercatat, belum akun-akun lain
yang secara tidak langsung menyebarkan hoax dan kebencian. Saya ingat betul pemilihan
umum presiden tahun 2014, di mana banyak orang saling tuding dari dua kubu
Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Termasuk teman-teman sendiri. Saya pusing
karena mereka sama-sama menjadi orang paling benar hanya karena beda pilihan.
Lalu saya mulai unfollow dan unfriend akun-akun yang senang sekali
menyebarkan hoax dan kebencian.
Selanjutnya timeline media sosial saya jauh lebih segar. Postingan yang
berkeliaran berupa curhatan remeh dan lucu, membuat kehidupan di media sosial
saya lebih nyaman dipandang. Tidak seperti sebelumnya yang seolah penuh api di
sana sini hanya karena mau pemilihan umu presiden. Kan tidak lucu!
Masyarakat resah pada pemilu Indonesia 2019
Penyebaran hoax dan kebencian tidak hanya berlangsung di dunia maya, justru
lebih keras di dunia nyata. Tokoh-tokoh yang ingin jadi pemuka negara biasanya
melakukan pendekatan ke banyak tempat, mulai dari area pendidikan, komunitas,
sampai ke tempat ibadah. Setiap pemilihan umum presiden, termasuk pemilihan
gubernur di DKI Jakarta selalu membuat masyarakat resah. Sebab, penyebaran
isu-isu negatif menjadi makanan empuk bagi mereka yang bekerja untuk mengadu
domba masyarakat.
Masih ingat kasus Ahok yang dianggap penistaan agama dan dihujat
beramai-ramai? Itu salah satu contohnya. Media massa, media sosial, dan
masyarakat menjadi jarum tajam untuk menghakimi seseorang. Meski sudah diadili
dan dihukum sesuai undang-undang, Ahok tetap dihujat.
Timeline media sosial saya tetap segar karena
penyebar kebencian sudah saya sembunyikan. Kalau pun ada, nanti saya bersihkan
lagi. Saat ini saya hanya membaca keluhan teman-teman yang masih suka ribut
dengan temannya sendiri akibat perbedaan pendapat dan berakhir dengan
bermusuhan. Juga saya banyak menghindari percakapan yang berhubungan dengan
politik jika terasa berbeda. Saya hanya ingin hidup tenang tanpa energi negatif
yang disebar orang lain. Masalah hidup saya sudah banyak belum lagi ditambah
kerusuhan pemilihan umum presiden 2019.
Rasanya kegerahan itu bukan hanya saya saja yang mengalami. Apalagi tokoh-tokoh
tersebut harus melakukan pendekatan yang jauh lebih baik untuk mendapat suara. Sejak
dulu biasanya tempat ibadah menjadi ruang berpolitik paling diminati, apalagi
Indonesia mayoritas muslim. Masjid-masjid, pondok pesantren, gereja, dan lain-lain
jadi makanan empuk untuk kampanye pemilihan umum presiden. Biasanya dari
situlah bermula pandangan-pandangan orang yang dituangkan di media sosial.
Masyarakat jadi resah dibuatnya.
Tolak kampanye di tempat ibadah
Tak tanggung-tanggung untuk menyikapi itu, Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Jakarta Barat dengan tegas tolak kampanye di tempat menunaikan kewajiban.
FKUB tidak sendiri, mereka beserta jajaran 3 Pilar, Polres Jakarta Barat,
Dandim 0503, dan Walikota Jakarta Barat, serta Kajari, Ketua Pengadilan,
Kakankemenag, Ketua KPUD sekaligus komisioner Kota Jakarta Barat mendukung
gerakan itu. Gerakan itu ditandai dengan pemasangan spanduk di tempat ibadah di
wilayah Jakarta Barat. Pemilu Indonesia 2019 harus berlangsung damai dan
sejahtera. Iya kan?
Kebetulan saya diundang untuk hadir pada acara tersebut di Masjid Al
Amanah, Grogol, Jakarta Barat, 11 Januari 2019. Tak tanggung-tanggung, Ketua
Bawaslu, Ketua FKUB Jakarta Barat, Tokoh Lintas Agama, Ketua MUI Jakarta Barat,
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Wali Umat
Budha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI), serta Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) hadir untuk mendukung kegiatan
tersebut. Kegiatan itu bertujuan untuk mengajak masyarakat, khususnya
masyarakat Jakarta Barat untuk menjaga keutuhan Indonesia, menjalin
kebersamaan, dan membangun demokrasi yang berkualitas dan memilih pemimpin di pemilu
Indonesia 2019 tanpa paksaan.
Kegiatan itu tentunya agar kita tetap menjaga kebersamaan dalam perbedaan,
menghindari penyebaran hoax dan
kebencian, serta menangkal perpecahan di antara kita selama pemilu Indonesia
2019 berlangsung. Pemasangan spanduk itu dilakukan di 860 masjid, 237 gereja,
satu pura, dan wihara. Total ada 1000 spanduk yang akan menjadi tanda bahwa
tidak boleh ada kampanye di tempat tersebut. Beberapa info yang disampaikan,
tempat ibadah sering sekali dipakai untuk menyisipkan ujaran-ujaran kebencian
atau permintaan untuk mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden
dalam pemilihan presiden 2019.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 ayat 1 huruf h
mengatur pelaksanaan pemilu, di mana kegiatan kampanyenya dilarang menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Tempat ibadah
adalah untuk beribadah, sekolah dan kampus untuk belajar, tentu tidak sesuai
jika digunakan untuk kepentingan berkampanye, apalagi menyebarkan isu SARA, hoax dan kebencian. Kegiatan ini tentu
saja menjadi pemicu masyarakat lain untuk melakukan hal serupa, tolak kampanye
di rumah ibadah. Acara itu ditutup dengan ikrar bersama tolak kampanye di rumah
sembahyang, isu hoax, SARA, dan
radikalisme di tempat sembahyang demi pemilu 2019 yang aman dan lancar. (Uwan Urwan)
Comments