Ramai teman-teman membahas Film Gundala tidak layak tayang untuk anak-anak. Setengah jiwa saya bilang iya dan setengahnya lagi tidak. Joko Anwar pun bilang kalau film Indonesia terbaru itu bisa ditonton semua umur, tapi apa daya Lembaga Sensor Film Indonesia mengklasifikasikan penonton harus berusia di atas 13 tahun.
Film Gundala ramai karena dianggap tidak layak ditonton anak-anak
Menurut saya adegan kekerasan di Film Gundala masih tergolong wajar, mengingat benar-benar minim darah. Kalau kiblat masyarakat Indonesia adalah superhero di Holywood, harusnya masih tergolong layak ditonton anak-anak. Film Indonesia terbaru ini juga tidak terlalu menunjukkan luka atau lebam yang cukup jelas. Berbeda dengan di film superhero barat, luka bisa terlihat jelas oleh penonton.
Saya tidak akan membahas sinopsis karena pasti sudah banyak berseliweran di media sosial. Ada banyak pujian, tidak sedikit juga yang memberi kritik. Wajar sih, setiap karya akan selalu ada dua pendapat yang berseberangan. Yang paling disoroti memang kesesuaian film Gundala untuk anak-anak.
Kredit : Instagram Joko Anwar |
Ada komentar yang menurut saya cukup lucu, “Harusnya kayak film superhero luar yang bisa untuk semua umur!” Benarkah? Saya sampai browsing loh, mencari kebenarannya. Oke, satu, Spider-Man: Far from Home dikelompokkan oleh Lembaga Sensor Film Indonesia boleh ditonton semua umur. Faktanya? Tidak. seharusnya film Spider-Man: Far from Home untuk usia di atas 10 tahun mengingat ada banyak adegan kekerasan dan penggunaan kata makian (dalam bahasa Inggris tentunya), dan adegan ciuman.
Film Gundala vs film superhero luar
Film Avenger: Endgame bagaimana? Meski sudah ditetapkan hanya untuk usia di atas 13 tahun oleh Lembaga Sensor Film Indonesia, tak sedikit orang tua yang mengajak anaknya juga menonton di bioskop. Sama, ada juga adegan kekerasan dan bahkan tergolong sadis, seperti pemotongan anggota tubuh, penikaman, penghancuran, penembakan, ledakan yang merusak, dan lain-lain. Tak hanya itu, ada juga kata-kata kasar dan adegan ciuman yang hanya beberapa detik. Bagaimana dengan film lain, misalnya Captain Marvel, Batman and Robin, Hulk, X-Men Origin: Wolverin, Man of Steel, dan lain-lain? Sama saja, ada adegan kekerasannya bahkan ada adegan intimnya. Ya wajar, namanya juga film superhero.
Baca juga : Masak sih Film Makmum tidak layak tayang?
Bahkan film sekelas Shazam yang digolongkan sebagai film paling ramah anak ini juga mengandung kekerasan dan makian. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, ada satu adegan yang perlu dapat catatan khusus buat orang tua, yaitu adegan kecelakaan mobil dan seorang pria terlempar ke kaca depan. Pria tersebut tidak mati tapi tampak jelas darah yang belepotan. Harusnya ini juga jadi salah satu catatan dong, mengingat Film Shazam juga masih diberi label R13 (artinya hanya untuk usia 13 tahun ke atas) oleh Lembaga Sensor Film Indonesia.
Bagi saya masyarakat Indonesia haruslah objektif menilai karya orang kita sendiri. Kalau misalnya memang film Indonesia terbaru ini sama-sama tidak layak untuk ditonton anak, ya jangan memaksakan kehendak harus layak tonton anak, ya kalau mau ditonton ya silakan. Tidak ada larangan keras juga bukannya? Hanya saja memang orang tua harus benar-benar mendampingi juga tidak berdiskusi di bioskop karena akan mengganggu penonton lain.
Film superhero luar juga sama saja kok. Jangan bilang adegan kekerasan di film superhero luar masih tergolong aman? Kutabok juga kamu nih!
Nih ya, setelah nonton superhero yang terbang-terbang pakai sayap itu dan Spiderman, saya malah ingin melakukan hal yang sama. Untung saja di Situbondo tidak ada gedung-gedung tinggi dan dana tergolong cemen untuk melakukan hal gila. Baru sampai ke tahap “ingin”. Saya mau pakai kain lalu terbang dari ketinggian atau punya cita-cita digigit laba-laba biar punya kekuatan seperti Spiderman. Malah sempet saya sengaja biar digigit laba-laba. Bayangkan saja kalau itu laba-laba beracun? Bukannya jadi pahlawan super, malah dikubur!
Terus agak merasa lucu aja membaca komentar yang mewajarkan ungkapan kotor berbahasa Inggris, “Ya kan anak-anak belum mengerti.” Hem, maaf, boleh diulang? Secara prikologis bukannya hal-hal negatif itu lebih cepat dicerna dibandingkan hal-hal positif? Ya mungkin memang tidak mengerti pada saat itu, tapi tidakkah Anda berpikir bahwa anak akan mencari tahu? Saya beri contoh, dulu di koran ada banyak sekali iklan, “Obat pembesar alat vitalitas pria.” Saya tidak paham lalu bertanya pada kakak, “Vitalitas pria itu apa sih?” Kakak saya tidak menjawab. Hari berlalu, saya mencari tahu sendiri dan akhirnya tahu kalau yang dimaksud adalah penis. Apakah pencarian berhenti? Tentu tidak. Oh ya, saat remaja saya juga harus mencari tahu apa makna dari motherfucker, bitch, fuck, dan ungkapan kasar lain diam-diam. (Lah, waktu itu kan bukan anak-anak? Hem, iya sih, tapi kan ini sebuah contoh dari saya sendiri. Hem...).
Jadi, masih mau nonton Film Gundala bersama anak? Setengah jiwa saya menyarankan dan setengahnya lagi tidak. Ya, kembali kepada hati masing-masing. Saya kira juga tiap anak penerimaannya berbeda, setelah menonton film Indonesia terbaru ini, anak belum tentu akan melakukan aksi kekerasan. Kadang orang tua berlebihan tapi bisa juga benar. Ya selama penerimaan anak baik, saya yakin outputnya juga akan baik. selebihnya orang tua tetap harus mendampingi. Filmnya bagus kok, serius, saya sudah nonton Film Gundala loh!
Comments