Lahan kelapa sawit
seluas 300 hektar (kurang lebih) di Desa Sungai Pelang, Kecamatan Mata Milir
Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menghasilkan uang empat tahun
lamanya, menunggu siap panen.Produksi Sawit Indonesia memang sedang tumbuh-tumbuhnya. Sambil menunggu, masyarakat pun menanam nanas sebagai tanaman di
antaranya. Enam bulan kemudian nanas siap panen dan bisa menghasilkan uang.
Namun, masalahnya saat panen raya, nanas pun menjadi tidak punya harga.
Sawit Indonesia terbesar salah satunya dihasilkan di Kalimantan Barat
Kalimantan Barat
memang termasuk provinsi yang lahan kelapa sawit terluas nomor tiga di
Indonesia setelah Riau dan Sumatra Utara, tetapi justru paling miskin kalau
dibandingkan dengan di wilayah lain di Kalimantan. Berdasarkan informasi dari
katadata.co.id yang melakukan wawancara dengan Sutarmidji, Gubernur Kalimantan
Barat, 12 September 2019, Kalimantan Barat merupakan salah satu penghasil crude
palm oil (minyak sawit mentah) terbesar di Indonesia, tetapi tidak berimbas
langsung kepada kesejahteraan masyarakat. Sawit Indonesia memang meningkatkan perekonomian negara, tapi tidak ke masyarakat sekitar.
Sementara itu
lahan yang ditanami Elaeis guineensis Jacq. adalah tipe gambut, di mana tidak
semua tanaman bisa tumbuh di atasnya. “Yang bisa hidup di lahan gambut cuma
nanas. Selain nanas buah naga juga bisa, justru paling bagus buah naga
tumbuhnya di lahan gambut, juga cincau,” kata Jaswadi Jabir, Ketua Forum Hutan
Desa Ketapang, saat kutemui di Festival Panen Raya (PARARA) 2019, 7 Desember
2019 lalu.
Lahan gambut adalah jenis lahan yang terbentuk dari kumpulan sisa-sisa bahan organik (tumbuhan berkayu) yang setengah membusuk. Lahan gambut terbentuk secara alami 10-40 ribu tahun yang lalu. Sayangnya, bahan-bahan organik itu gak terurai dengan baik dan menumpuk di satu area dan membentuk endapan tebal. Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon daripada hutan tanah mineral yan ada di seluruh dunia. Untuk itu, lahan ini harus tetap basah, kalau tidak karbon yang tersimpan akan terlepas ke udara atau terjadi kebakaran. Itulah yang menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.
Selain itu
masyarakat setempat sempat budidaya rosela di lahan kelapa sawit itu, tapi produksi rosela waktu itu
melimpah tapi mereka tidak tahu harus menjual ke mana. Kemudian tanaman rosela
dimusnahkan karena dianggap tidak punya nilai jual. Oleh karena itu nanaslah
yang jadi pilihan terakhir.
Tak lagi monokultur di lahan kelapa sawit, ada nanas di sela-selanya
Jarak antar
kelapa sawit adalah 8 meter. Ruang di antara itu dipakai sebagai lahan nanas. Bayangkan kedalaman gambut sejauh 7 meter dan hanya 5 cm di permukaan yang bisa
ditanami, sementara itu lapisan di bawahnya asam. Ada sebanyak 200 kepala
keluarga di Desa Sungai Pelang. Masing-masing kepala keluarga punya lahan dan
memanfaatkan nanas sebagai tanaman tumpang sarinya.
“Nanas yang
ditanam di lahan gambut rasanya lebih manis dan kadar airnya lebih banyak,”
ujar Jaswadi. Meski begitu, saat panen raya, nanas pun tidak laku. Akhirnya
berdiskusi secara berkelompok dan mendapat binaan juga dari Tropenbos Indonesia.
Tropenbos Indonesia adalah yayasan berbadan hukum Indonesia yang bergerak di
bidang lingkungan, di mana menjadi salah satu Technical Support Organization
(TSO) dari HCSA Streering Group dan berbagi komitmen untuk melindungi kawasan
hutan, seraya tetap menghormati hak, mata pencaharian, dan aspirasi masyarakat.
Jaswadi Jabir, Ketua Forum Hutan Desa Ketapang (kiri) dan Dr. Edi Purwanto, Direktur Yayasan Tropenbos Indonesia |
Sistem polikultur menguntungkan dari segi banyak hal. berbeda dengan jika hanya ada Elaeis guineensis Jacq. di lahan seluas 300 ha, ekosistem rusak karena adanya perlakuan khusus hanya untuk satu tanaman. Itu menyebabkan akan adanya ledakan populasi tanaman tertentu. selain itu, sistem monokultur rakus unsur hara. Ada banyak pertimbangan lain juga yang membuat sistem polikultur jauh lebih unggul. Lahan sawit Indonesia harusnya melakukan hal serupa, sebab jarak tanam antar tanaman juga cukup lebar.
Akhirnya
masyarakat sepakat untuk mengolah nanas menjadi selai nanas dan dodol nanas.
aku sudah mencoba dodolnya, euhm, enak. Rasa nanas pada dodolnya lebih terasa
kalau dibandingkan dengan dodol lain yang biasanya rasa buahnya hilang.
Pemberdayaan masyarakat dan sumber daya alam dengan cara tersebut meningkatkan
nilai ekomoni. Selain itu tidak ada yang terbuang di alam, semua termanfaatkan.
Lahan kosong termanfaatkan terus. Masyarakat pun tidak harus mengandalkan
kelapa sawit sebagai sumber uang utamanya.
Tak hanya itu, masyarakat di Desa Sungai Pelang juga punya produk madu hutan, kripik jamur, kopi, kerajinan, dan lain-lain. Aku juga sempat beli gelang buatan pemuda Desa Sugai Pelang. Bahagianya karena makin banyak orang yang sadar kalau alam akan mengupah kita jika kita sama-sama berusaha memperbaiki nasib, baik itu nasb diri sendiri, nasi orang lain, dan nasib alam.
Kini perekonomian
di Desa Sungai Pelang, Kecamatan Mata Milir Selatan, Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat tak hanya mengandalkan panen kelapa sawit empat tahun
kemudian, tapi juga sudah melakukan upaya lain dengan memanfaatkan potensi alam
yang ada. Produksi sawit Indonesia jalan, hal lain pun berkembang.
Comments