Sendiri, hem, udah gak kaget aku ke mana-mana sendiri. Atau lebih sering mendekam di dalam kamar. Teman banyak, udah gak diragukan, tapi persoalannya bukan tentang teman, tapi tentang diriku sendiri yang selalu sengaja mengasingkan diri. Dan aku bangga mengakui itu.
Aku gak suka keramaian
Sampai sekarang aku masih trauma dengan keramaian. Pertama aku nyadar itu saat SMA, setiap senin pagi pasti upacara kan, entah kenapa tiba-tiba aku merasa diawasi banyak orang dan gemeteran sepanjang upacara. Paling benci saat hormat, karena tanganku bergetar hebat. Rasanya pengen nangis dan gak mau ikut upacara setiap senin, tapi gak bisa.
Sejak itulah aku benci kalau harus berkumpul dengan banyak orang, apalagi orang-orang baru. Dalam ketakutan-ketakutan yang ada, aku selalu berusaha nyembunyiin kalo aku baik-baik aja. Kalo ada seminar atau workshop lebih suka memilih duduk paling belakang atau yang sekiranya pemateri gak terlalu merhatiin.
Aku mengalami trauma hebat, sampek sekarang sih sebenernya tapi gak separah dulu. Sepuluh tahun aku dirundung (dibully) bikin selalu ngerasa tenang kalau sendirian. Semakin banyak mata ngeliat aku, makin panik dan makin takut aku menghadapinya. Gak heran, kalau gak terpaksa aku lebih memilih diam daripada mengajukan pertanyaan kalau di forum.
Baca juga : 10 tahun dibully rasanya....
Paling benci kalau aku harus datang ke pernikahan seseorang, siapapun itu. Aku gak suka. Beberapa kali datang ke nikahan temen, selalu berakhir aku ke kamar mandi lalu nangis. Aku takut, gemeteran. Setelah itu biasanya aku selalu ngerasa bodoh karena untuk hal-hal sepele seperti itu aja aku gak bisa kontrol.
Lebih sering sendiri main handphone
Sebelum ada handphone, dulu-dulunya aku lebih suka main ke perpustakaan. Cari-cari buku apa aja yang pengen dibaca, keseringan sih novel. Ke perpustakaan aja aku lebih seneng sendirian. Pulang ke rumah atau kosan, berjam-jam baca buku atau menulis puisi dan menggambar. Ya duniaku memang sesempit itu, kadang suka cemburu dengan teman-teman yang sudah berkelana ke sana ke mari dan sibuk bercerita tentang keseruan dan keindahan selama perjalanan.
Ya, tapi apa daya, aku bukan orang sosial yang senang berinteraksi dengan banyak orang. Sejak punya handphone, ya rasanya kalo gak pegang handphone, duniaku serasa hilang. Pelan-pelan keberadaan buku bergeser. Yang dulunya suka beli buku (dan memang jarang dibaca) malah lebih suka main handphone.
Nyalain handphone buat ngobrol secara virtual dengan teman-teman, mencari hiburan di media sosial, mengupload kesedihan sekaligus curahan hati, kadang juga menulis puisi di note. Sudah jarang sekali menulis di buku. Atau kalau enggak ya main games. Tak terhitung berapa kali aku install game satu dan yang lainnya. Kalau bosan ya uninstall, tinggal install game baru.
Gak khawatir kesepian
Kesepian? Kesepian itu temanku. Setiap hari aku merasa sepi, menikmatinya sih. Meski aku senang sendirian, bukan berarti akugak seneng kumpul-kumpul dengan teman-teman. Aku suka sekali kalau berkumpul dengan mereka. Akan kumanfaatin waktu sebaik mungkin tertawa, bercerita, dan bermain. Namun rasanya emang gak bisa setiap waktu aku harus meluangkan waktuku bersama orang lain.
Begitu ada momen di mana aku harus bertemu dengan orang yang sama sepanjang waktu dan setiap hari, akan selalu ada masa di mana emosiku akan meledak tentang orang itu, karena aku jadi tahu sifat aslinya, aku gak punya waktu sendiri, dan aku gak bisa setiap saat bertemu dengan orang baru yang aku belum tentu siap. Bukan berarti menolak, tapi setidaknya aku harus memberi waktu untuk mencerna.
Makanya begitu ada pandemi Covid-19 dan anjuran untuk bekerja di rumah, ya aku gak begitu khawatir. Udah terbiasa juga sendirian di kosan dan menikmati kebosanan. Ya bosan sih, siapa yang ga bosan. Biasanya aku ada waktu satu atau dua kali dalam seminggu keluar kosan, entah itu kumpul dengan teman-teman, ke perpustakaan, atau sekadar foto-foto. Aku suka foto langit. Buat aku punya hp kamera terbaik aja udah cukup jadi hiburan. Aku bisa foto-foto, bikin video puisi. Beberapa udah aku upload di Youtube dan Instagram. Ya maksudnya, alhamdulillah sih, aku punya alat dan otakku masih bekerja untuk menghasilkan sesuatu meski lebih sering dilakukan sendiri.
Bahagia? Enggak juga. Samalah dengan orang-orang yang setiap hari ketemu orang, apakah mereka bahagia? Engak juga. Setidaknya sekarang aku punya lebih banyak waktu untuk belajar. Bertemu orang setiap hari buat aku beban berat karena banyak sekali pertimbangannya. Bagaimana dengan traumaku? Entahlah, aku masih belum begitu siap meski pelan-pelan aku paksa. Saat ini aku merasa jauh lebih baik dibandingkan 5 tahun lalu, 10 tahun lalu, 15 tahun lalu.
Untuk soal kesepian, aku baik-baik aja kok dengan itu. Gak usah khawatir. Aku bisa mengatasinya. Yang belum bisa kulakukan adalah melawan diri sendiri sih dari banyak hal yang menggangguku.
Comments