Apakah kamu orang tua yang pernah panik karena anak menangis berjam-jam dan sulit ditenangkan? Atau punya anak tetangga/saudara yang mengalami hal serupa? Itu kolik, di mana bayi mengalami sakit perut intens dan terjadi tiba-tiba. Sakit yang diderita bayi bisa ringan sampai berat, bahan bisa berlangsung berjam-jam. Puncak gangguan ini biasanya terjadi pada usia 6 minggu dan umum menyerang bayi berusia 2 bulan. Setelah usia 3-4 bulan akan berkurang.
Kredit: Pixabay (Ben Kerckx) |
Menurut website alodokter kolik menyebabkan bayi menangis lebih dari tiga jam dalam sehari dan terjadi setidaknya selama tiga hari dalam seminggu. Penyebab kolik belum bisa diketahui pasti. Dugaannya bayi mengalami gangguan pada pencernaannya, lingkungan tidak nyaman (terlalu dingin atau panas), bayi lahir prematur, punya ibu perokok, atau sistem sarafnya belum berkembang dengan baik.
Sebenarnya kolik adalah hal wajar tapi bila diisertai tanda-tanda menghawatirkan seperti, usia bayi lebih dari 4 bulan, berat badan bayi tidak bertambah, pola buang air kecil/besar tidak normal, tidak nafsu makan, beberapa bagian kulit pucat/membiru, ubun-ubun menonjol, dan susah bernapas, harus segera dibawa ke dokter.
Anak usia kurang dari 2 tahun rentan terpapar bakteri, virus, dan benda asing
Dua tahun pertama kehidupan merupakan masa emas bagi bayi, yang bisa terganggu bila ada masalah di saluran cerna. Bila masa emasnya terjaga, tumbuh kembang optimal kayak tinggi dan berat badan, perkembangan kognitifnya bagus (meliputi bahasa, atensi, dan IQ), juga bagus perkembangan emosi dan sosialnya (mengontrol emosi adaptasi perilaku, dan interaksi sosial). Berbeda dengan anak yang masa emasnya kurang terjaga, biasanya anak sering infeksi sehingga kehilangan kesempatan memanfaatkan masa emas tersebut.
Dua tahun pertama kehidupan anak rentan sekali terpapar ribuan bakteri, virus, dan zat asing karena mukosa di saluran cernanya masih terbuka. Akibatnya anak jadi mudah mengalami diferensiasi FGID dan gejala alergi di saluran cerna dan gampang sakit. Nah gangguan yang umum terjadi di saluran cerna bayi adalah alergi susu sapi dan gangguan saluran cerna fungsional. Gangguan saluran cerna fungsional terjadi jangka panjang dan yang paling umum terjadi antara lain kolik seperti yang sudah dijelaskan di awal paragraf, gumoh, dan konstipasi. Sementara itu, anak yang berusia di atas dua tahun lapisan mukosanya lebih rapat sehingga daya tahan terhadap bakteri, virus, dan benda asing lebih bagus.
Beberapa bulan pertama kehidupan, bayi sangat rentan mengalami gangguan saluran cerna. Bayi akan berusaha keras beradaptasi dengan lingkungan agar proses digestif, absorbsi, dan immunologisnya berfungsi optimal. Tersebab bayi belum dapat menyampaikan apa yang dirasakan dengan baik, pengamatan klinis yang teliti dan interpretasi yang disampaikan orang tua menjadi masukan penting saat konsultasi dengan dokter.
Gangguan saluran cerna fungsional
Kredit: orami.co.id |
Gangguan saluran cerna selanjutnya adalah konstipasi, di mana termasuk gangguan saluran cerna yang terjadi pada bayi usia di atas 6 bulan yang kesulitan atau jarang buang air besar. Gangguan ini bisa terjadi sampai dua minggu. Konstipasi sendiri ada dua, ada yang biasa tarjadi pada anak dan yang kedua karena kelainan organ yang sifatnya bisa berbahaya dan mengganggu tumbuh kembang optimal pada anak.
Gangguan saluran cerna fungsional disebabkan oleh beberapa hal, kadang jadi kompleks karena saling berinteraksi, yaitu faktor biologis, psikososial, lingkungan, dan budaya. Secara biologis biasanya karena kelainan anatomi, biokimia atau struktur organ saluran cernanya. Secara psikologis kalau misalnya ibu depresi karena tidak bisa menenangkan bayi karena kolik, tentu akan berpengaruh pada perkembangan mental, sosial emosi, kognitif bayi selanjutnya, dan tumbuh kembang optimal anak.
Prevalensi gangguan saluran cerna fungsional cukup besar pada bayi kurang dari 12 bulan, mencakup kolik infantil sebesar 20%, regurgitasi 30%, konstipasi fungsional 15%, masing-masing diare fungsional dan diskesia kurang dari 10%. Gangguan tersebut dikhawatirkan memberi dampak kepada kesehatan anak di masa akan datang jika tidak ditangani dengan tepat.
Alergi susu sapi (ASS) pada bayi
Kredit: waraswiris.com |
Gejalanya bisa muncul pada kulit (kemerahan, pembengkakakan di mata/bibir) sebesar 20-40%, saluran napas sistemik (batuk, bersin, hidung berair) sebesar 4-25%, dan saluran cerna (gumoh, muntah, diare, konstipasi, anemia, darah pada feses, dan kolik) sebesar 50-80%. Umumnya anak mengalami dua jenis gejala ringan sampai sedang tidak hanya di satu lokasi. Gejala alergi bisa terjadi di saluran cerna dan mirip dengan gejala gangguan saluran cerna fungsional. Gejala bisa muncul cepat (kurang dari dua jam setelah minum susu sapi) atau lambat (2-72 jam setelah minum susu sapi).
Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah penderita alergi susu sapi pada bayi dan anak dengan perkembangan dan dampak bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat. Alergi susu sapi merupakan reaksi sistem pertahanan tubuh terhadap faktor (fraksi protein) yang terkandung dalam susu. Alergi susus sapi berbeda dengan intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa sendiri adalah reaksi non-alergi yang disebabkan oleh kurangnya laktase (enzim yang bertugas memecah laktosa, jenis gula di dalam susu).
Alergi susu sapi bisa dibagi dua, yaitu
Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE
Sebanyak 54% reaksi alergi disebabkan oleh reaksi antibodi IgE terhadap fraksi protein dalam susu dan 46% disebabkan oleh reaksi non-antibodi IgE, biasanya karena hipersensitivitas yang dimediasi oleh sistem imun. Reaksi IgE terjadi melalui dua tahap, yaitu sensitisasi dan aktivasi. Pada tahap sensitasi, sistem imun teraktivasi secara abnormal sehingga muncul antibodi IgE yang melawan protein susu sapi.
Alergi ini melibatkan antibodi IgE yang lebih banyak ditemukan pada anak-anak dan membuat anak punya risiko besar mengalami alergi terhadap lingkungan (polutan, debu, dan lainnya).
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE biasanya diperantarai oleh IgG. Tidak ada gejala spesifik, biasanya muncul setelah 1-3 jam setelah mengonsumsi protein sapi. Mekanisme alergi susu sapi ini biasanya terjadi ketika antigen protein melewati barrier epithelial mukosa usus melalui transitosis. Protein akan berdifusi masuk ke dalam lapisan epitelial da menyebabkan aktivasi sitokin proinflamasi.
Berdasaran penelitian yang dipublikasikan The American Society for Parenteral & Enteral Nutrition menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan alergi pada anak saat menginjak usia setahun adalah 56%, 77% pada usia dua tahun, 87% pada usia tiga tahun, 92% pada usia lima dan 10 tahun, serta 97% pada usia 15 tahun.
Bila terdapat gejala apalagi gejalanya berat, langsung konsultasi ke dokter spesialis anak. Salah satu cara mengatasi alergi susu sapi memang menghindari segala bentuk produk susu sapi, seperti biskuit susu, keju, mentega, yogurt, dan lain-lain. Meski begitu orang tua tetap perlu memberikan nutrisi seimbang yang tepat. Usahakan memberi asupan anak dengan air susu ibu (ASI) karena ASI merpakan nutrisi terbaik bagi bayi. Konsultasikan juga tentang merek dan jenis susu formula soya sebagai sumber nutrisi alternatif.
Kabar baiknya adalah, Danone Indonesia akan merilis inovasi digital Allergy Tummy Checker tanggal 1 November 2021. Allergy Tummy Checker bisa digunakan orang tua sebagai alat deteksi dini gangguan diferensiasi FGID dan gejala alergi di saluran cerna pada anak dan mempermudah orang tua membedakan gejala gangguan saluran cerna yang disebabkan oleh alergi atau gangguan saluran cerna fungsional. Allergy Tummy Checker nantinya dirilis lewat website www.bebeclub.co.id. Tentunya ini bagus sebagai langkah pencegahan dini sehingga orang tua dapat mendukung proses tumbuh kembang optimal dan jadi anak hebat.
Catatan : informasi yang ditulis dalam artikel ini berdasarkan hasil Webinar Bicara Gizi bersama Nutrisi untuk Bangsa-Danone Indonesia bertema Gejala alergi Saluran Cerna VS Gangguan Saluran Cerna Fungsional: Cara Membedakannya.
Comments