Kredit: Hilmiyyah Yulianti |
Hilmiyyah adalah satu dari sekian banyak ibu yang melahirkan anak berkebutuhan khusus (ABK). Ia tak menyangka bahwa putrinya akan mengalami kelainan genetik pada kromosom nomor 21 yang juga disebut down sindrome (sindrom down). Down sindrome (sindrom down) berkaitan dengan gangguan intelektual yang ditandai dengan kemampuan mental atau intelegensi di bawah rata-rata, berwajah mirip, bentuk mata sipit, sudut mata ke atas, jembatan hidung datar, mulut kecil dengan lidah besar, dan lidah sering terjulur. WHO menyatakan ada sekitar 3.000 sampai 5.000 bayi lahir dengan sindrom down setiap tahunnya.
Tidak ada satu ibu pun di dunia ini yang ingin anaknya lahir tidak normal
Waktu Aisy, nama putrinya, lahir, dokter langsung memasukkan ke NICU inkubator karena mengalami beberapa masalah, seperti kemasukan ketuban (asfexia) dan tak spontan menangis saat lahir. Semua ibu menginginkan anaknya lahir normal, tapi nampaknya itu tidak terjadi pada Hilmiyyah.
Hilmiyyah tak serta merta tahu mengenai kelainan yang dialami anaknya. Dua minggu pasca persalinan, saat kontrol ke rumah sakit di Blitar, dr. Sukardi Sp.A menemukan suara bising dari jantung bayinya. “Dokter langsung bilang, ini kayaknya jantungnya bocor,” ungkapnya.
Tak ada alat kardiografi di Blitar sehingga dokter hanya memberi obat-obatan sambil melihat kondisi anak Hilmiyyah. Jika kondisi bayinya sudah dianggap mampu, baru bisa dirujuk ke Malang. Ia juga diminta untuk tetap memberi air susu ibu (ASI) karena memang merupakan sumber nutrisi terbaik. Dua bulan kemudian anaknya baru dirujuk ke rumah sakit di Hermina Malang untuk melakukan echocardiography, dan baru tahulah bahwa tipe penyakit jantung bawaan (PJB) Aisy adalah tipe VSD ukuran kecil dan PDA ukuran sedang, tidak termasuk PJB sianotik yang memerlukan tindakan operasi. Menurut dokter, kebocoran tersebut akan menutup spontan dan sempurna seiring perkembangannya.
Baca juga : Penyakit Jantung Bawaan Bukan kutukan
Hilmiyyah tak melakukan tes kromosom untuk tahu tripelnya di kromosom 21 untuk down sindrome (sindrom down)-nya karena apa? Dokter pun sarankan untuk mengalihkan biaya tes kromosom yang tidak murah ke biaya pengobatan lain. Tak hanya menderita penyakit jantung bawaan, Aisy juga mengalami gangguan pada hormon pertumbuhannya sehingga perlu dilakukan terapi hormon selama tiga bulan.
Aisy menjalani berbagai terapi bertahun-tahun
Kredit: Hilmiyyah Yulianti |
Sejak usia dua minggu hingga kurang lebih dua tahun, Aisy harus mengonsumsi obat jantung untuk penyakit jantung bawaan, yang tidak menyembuhkan, tapi meringankan kerja jantung. Tak hanya itu, banyak treatment khusus yang Aisy jalani, mulai dari
- Terapi fisioterapi
- Terapi hormon
- Terapi hidroterapi
- Terapi okupasi, hingga
- Terapi wicara.
Aisy melakukan fisiotrapi sejak usia delapan bulan sampai tiga tahun. Fisoterapi pada sindrom down bisa membantu Aisy menstimulasi otot-ototnya agar belajar menggerakkan tubuhnya secara tepat. Anak dengan sindwom down memang lemah karena bawaan sindromnya. Hidroterapi ia lakukan pada usia 9 sampai 18 bulan. Hidroterapi adalah terapi air untuk mengurangi kekakuan pada otot-ototnya agar lebih mudah bergerak. “Terapinya kayak renang-renang gitu,” ungkap Hilmiyyah.
Memasuki usia dua tahun, setelah bisa duduk tegak secara mandiri, Aisy melakukan terapi wicara. Terapi wicara dan bahasa sangat diperlukan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi, termasuk percakapan, pengucapan, pemahaman, dan belajar mengingat kata-kata. Begitu berumur empat tahun, Aisy melaukan terapi okupasi. Terapi okupasi mengajarkan Aisy cara makan, berpakaian, menulis, atau memegang benda yang sesuai dengan kondisinya. Sampai saat ini, terapi wicara dan okupasi masih ia lakukan.
Pada usia empat tahunan, Aisy melakukan pemeriksaan echocardiography kembali di RSSA Malang. Dr. Dyahris Sp.A(K) mengatakan bahwa kondisi jantungnya membaik dan ukuran bocor VSD menjadi sangat kecil dan bocor PDA pun kecil. Meskipun anak Hilmiyyah penyakit kelainan jantung-nya tidak kritis, ia harus tetap rutin kontrol ke dokter. “Alhamdulillah Aisy udah bisa ngomong beberapa kata, bisa jalan, ngerti instruksi, jawab pertanyaan secara verbal, kasih kode dan isyarat, bisa diajak interaksi, kontak matanya udah bagus, dan lari-lari ngajakin emaknya olahraga,” imbuhnya.
Baca juga: Pengobatan Kusta Gratis di Puskesmas
“Harus berapa lama terapinya? itu ga ada yang tahu, jadi tak lakoni aja. Stop terapi kalo udah bisa bicara lancar, kalo udah bisa fokus. Jadi gak ada patokan sampek usia berapa. Dokter juga ga bisa ngasih kepastian itu selesainya kapan? Sama-sama anak down sindrome, temennya terapi ada yang gak sampek 2 tahun udah ada yang bisa jalan, ada yang usia sampek 7 tahun belum bisa jalan juga. Beda-beda.” tambah Hilmiyyah.
Bagi Hilmiyyah kini, memiliki Aisy yang menderita down sindrome (sindrom down), penyakit jantung bawaan, dan gangguan hormon adalah anugerah. Ia sempat tidak menerima takdir yang harus ia jalani selama bertahun-tahun. Selama masa yang berat itu, ia menarik diri dari media sosial. Ditambah lagi menurutnya, rata-rata pandangan masyarakat menganggap orangtua ABK sebagai karma, akibat perbuatan buruk di masa lalu. “Temenku ngalamin, dianggap ortunya ngelakuin pesugihan sampek anaknya cacat, sebagai karma,” ungkapnya. Padahal anak adalah titipan, anugerah, sekaligus ujian, sama seperti anak-anak normal lain.
Comments
Padahal banyaaak anak DS yg aku tau juga sangat berprestasi. Mereka mungkin ada kekurangan, tapi banyak diberkati Ama kelebihan2 di bidang lainnya. Ada yg jago olahraga, ada yg jago bahasa dll. Semoga aisy nantinya bisa semakin bagus perkembangannya dan juga berprestasi saat besar ❤️