Tak ada yang lantas bahagia mendapatkan anak sindrom down, tapi takdir tidak selalu sejalan dengan keinginan. Begitu berat perjalanan Hilmiyyah, ditambah sebagian pandangan orang yang menghakimi atau mengintimidasinya. Bertahun-tahun ia marah pada diri sendiri, pada keadaan, pada Tuhan, seolah-olah ia adalah orang paling tidak beruntung di dunia ini. Ia pun sempat menghilang dari media sosial demi menenangkan diri. “Gara-gara itu temen-temen banyak yang telat tahu kalo anakku spesial. Begitu cerita mereka langsung kasih support,” ujarnya. Tak hanya itu, ia pun beruntung berada di keluarga yang selalu memberi dukungan penuh, termasuk suami.
Cerita sebelumnya : Punya Anak Down Sindrome bukan Karma
Hilmiyyah kini menerima dan pasrah atas ujian yang diberikan
Menurut Hilmiyyah, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus sepertinya itu akan melewati beberapa fase, yaitu denial, angry, bargaining, depression, dan acceptance. Selama fase denial, orang tua tidak percaya dengan vonis dokter, bingung, malu, bahkan tidak mengakui. Memasuki fase kedua, orang tua biasanya sudah sadar mengenai kondisi anak tapi marah, yang bisa jadi dilampiaskan ke anak, dokter, pasangan, keluarga. Jika cukup serius, orang tua bahkan sampai tidak mau mengasuh anaknya.
Berhasil melewati fase marah, orang tua bisa memasuki fase bargaining, di mana orang tua berusaha menawar keadaan sebagai upaya menghibur diri sendiri. Ada fase depresi juga yang harus dilewati orang tua, di mana keputusasaan dan kehilangan harapan menjadikan mereka menarik diri dari lingkungan, seperti yang dilakukan Hilmiyyah. Lama orang memasuki fase-fase itu tergantung dirinya sendiri dan dukungan lingkungan.
Hilmiyyah sudah melewati fase-fase yang berat itu. Kini ia sudah berada di fase menerima. “Sekarang huznudzon sama Allah, sama titipan spesial yang dikasih ke aku, ya pasrah. Yang penting optimis untuk cari pengobatan dan terapi terbaik, konsultasi sama dokter. Mungkin Aisy keliatan anak berkekurangan, jadi bisa saja di dunia ini ga bisa kayak anak lain. Mungkin dia dititipin ke aku buat nanti di akhirat,” ungkapnya.
Hilmiyyah bersyukur melahirkan Aisy, meski sempat ada di fase-fase yang berat, ia masih bahagia karena orang-orang sekeliling selalu memberi dukungan positif. Ia juga bergabung dengan komunitas di mana anggotanya adalah orang tua yang memiliki anak yang berkebutuhan khusus dan/atau berpenyakit langka. Di situlah ia menjadi lebih kuat karena Hilmiyyah tak berjuang seorang diri, ada orang lain yang juga menghadapi hal serupa. Melewati perjalanan yang tak mudah itu, menurutnya, Aisy banyak mengajarkan bersyukur dengan hal-hal kecil sekali pun.
Anak berkebutuhan khusus itu spesial termasuk dari segi biaya
Anak berkebutuhan khusus seperti Aisy itu spesial, termasuk dari biaya. Tak terhitung berapa uang yang harus Hilmiyyah keluarkan untuk kontrol anaknya ke dokter dan menjalankan terapi yang rutin dilakukan sejak usia delapan bulan. Ia tak boleh membawa anaknya berobat sembarangan, harus dengan dokter spesialis anak yang sudah menanganinya sejak kecil. Dokter yang harus merawat anak berkebutuhan khusus harus tahu riwayat penyakit dan pengobatan seja awal agar tahu perkembangannya. Pemeriksaan echocardiografi dan terapi-terapi yang dilakukan juga tidak murah, belum ditambah biaya perawatan termasuk menyiapkan asupan terbaik untuk anaknya.
Tanpa keluarga dan teman-teman yang mendukung, Hilmiyyah mungkin saat ini ia masih meratapi nasib dan menyalahkan diri sendiri. Perlahan ia bangkit dari keterpurukan. Ia menggeluti hobinya membuat aksesoris sebagai hiburan sekaligus menjualnya sebagai tambahan biaya untuk perawatan Aisy. Ia tak lagi berjualan kue kering dan cokelat praline sejak hamil. “Masak lagi hamil masak-masak di dapur? Iseng dulu, aku coba aja minta kain perca ke tukang jahit langganan. Sekalian ngisi watu luang aku beli manik-manik, peniti, diamond, dan lain-lain terus dijadiin aksesoris, eh keterusan,” ungkapnya.
Baca juga: Apakah Dapur Freelancer selalu Menyenangkan?
Sambil merawat anaknya, Hilmiyyah menyulap kain perca dan bahan lain menjadi bunga-bunga pita, gelang, bandana anak dan bayi, aksesoris untuk pernikahan, dan aksesoris lain. Perempuan lulusan Biologi, Univesitas Brawijaya itu kemudian menjadikan nama anaknya sebagai brand aksesoris yang ia geluti, Aisy Bros. Ia berharap usahanya jadi salah satu wadah rezeki untuk anaknya dan buah hatinya bisa melanjutkan usahanya kelak. Tak dipungkiri, hasil penjualan aksesoris kerap ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari dan tambahan biaya terapi anaknya.
Bersyukur anaknya tumbuh dengan progress yang baik, membuat Hilmiyyah punya harapan. Meski pertumbuhannya berbeda dengan anak normal pada umumnya, ia tetap optimis Aisy kelak bisa mandiri dan diarahkan untuk tumbuh optimal sesuai dengan bakat dan minatnya
Comments
salut dan salam sayang untuk mbak Himiyyah, perjuanganmu akan berbuah manis insya ALlah
Tuhan berikan anak spesial pada mbak Hillmiyyah karena dianggap mampu
Semoga Tuhan berikan kemudahan untuk mbak Hillmiyyah sekeluarga