Bencana alam di bumi tidak akan pernah berhenti, mengingat manusia tinggal di bumi yang terus bergerak, ditambah lagi aktivitas manusia yang menambah parah kerusakan di bumi. Selama tahun 2022 sampai 17 Juni 2022, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia, ada total 1.833 bencana alam di Indonesia, dengan 12 kejadian gempa bumi, 89 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), satu kejadian kekeringan, 707 banjir, 329 tanah longsor, 664 cuaca ekstrem, dan 11 gelombang pasang dan abrasi. Tercatat 93 orang meninggal dunia, 14 orang hilang, 2.361.443 menderita dan mengungsi, dan 668 luka-luka.
Kebakaran hutan dan lahan melepas karbon sekaligus membunuh penyerap karbon di atmosfer
Melihat data itu, aku pikir kebakaran hutan dan lahan cuma terjadi di tahun-tahun tertentu saja, tapi ternyata tidak. Setiap tahun pembakaran hutan terjadi. Bencana kebakaran tahun 2015 adalah salah satu yang paling parah selama dua dekade terahir. Bagaimana tidak, lahan seluas 1,6 juta hektar hangus dimakan api bahkan negara tetangga pun mendapat imbas kabut asap.
Sementara itu, tanaman/pohon dikenal sebagai penyerap karbon karena kemampuannya menyimpan karbon. Proses alami yang terjadi pada setiap tanaman dan aku yain banya yang mengerti bahwa pohon menyerap karbondioksida melalui daunnya dan mengubahnya menjadi gula yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Saat tumbuh, pohon mengunci karbon di cabang, akar, juga dbatangnya.
Karhutla yang terjadi terus di berbagai wilayah Indonesia juga negara lain otomatis menghabisi pohon sekaligus melepas karbondioksida dan emisi gas rumah kaca lainnya, seperti metana ke atmosfer. Dampaknya ke atmosfer lebih besar setelah kebakaran karena pohon-pohon yang mati akan terurai selama beberapa dekade mendatang, melepaskan lebih banyak emisi gas rumah kaca (karbondioksida) ke atmosfer. Kita juga kehilangan pengikat karbon, karena dengan tidak adanya tanaman, kabon yang bebas di atmosfer tidak ada yang mengikat kembali, sudah tidak ada pohon lagi.
Sebanyak 89 kejadian karhutla yang terjadi di Indonesia salah satunya dilaporkan oleh Balai Pengendalian Perubahan Iklim Kebakaran Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup Wilayah Sumatera Selatan, bahwa luas karhutla di Sumatera Selatan meningkat mencapai 240 hektare, tahun lalu hanya seluas 16 hektare. Di Riau pun dilansir darikompas.com, bahwa sejak Januari sampai Maret 2022 sudah tercatat 168,66 hektare hutan dan lahan yang terbakar.
Karhutla disebabkan oleh manusia dengan motif land clearing
Karhutla yang kerap terjadi, menjadikan Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Kemarau panjang (el nino) selalu dituduh sebagai pemicu terbakarnya hutan, tetapi faktanya kebakaran terus terjadi bahkan di tahun-tahun tanpa kemarau panjang. Karhutla tahun 2019 di Indonesia melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca, hampir dua kali lipat dibandingkan yang terjadi di sebagian Amazon, Brasil.
Menurut data dari Auriga Nusantara, sebagian besar titik panas sepanjang 20 tahun terakhir terjadi di lahan gambut, terutama di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua. Kebakaran di lahan gambut membuat proses pemadaman jadi sulit karena api menjalar di perut gambut, memicu bencana asap. Selain itu, persentase kebakaran di area baru kalau dilihat dari tahun 2016 sampai 2019, lebih banyak terjadi dibandingkan kebakaran di area yang sama.
Menurut Cecilinia Tika Laura, Spatial and Landscape Specialist Auriga Nusantara, dalam Online Gathering #2 yang bertema “Cek Fakta Kebakaran Hutan dan Lahan” awal Juni 2022, untuk membakar hutan gambut perlu proses dan waktu yang cukup lama. Hutan gambut tidak serta merta terbakar begitu saja, sebab lapisan gambut seperti spon yang menyimpan air. Perlu membuat kanal-kanal terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya. Begitu kemarau hutan gambut lebih mudah terbakar karena kandungan airnya tidak sebanyak sebelumnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo yang dilansir di kompas.com tahun 2019, juga mengatakan bahwa karhutla disebabkan oleh manusia dengan motif land clearing, di mana motif ini terbilang lebih murah dibandingkan cara lain. Sebanyak 80% lahan yang terbakar berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan. Meski begitu, pelaku pembakaran hutan bukan hanya oknum, tapi masyarakat sekitar hutan yang sudah punya kebiasaan tersebut secara turun-temurun.
Akibat karhutla dan kabut asap di berbagai sektor
Kredit: belum diketahui sumber aslinya
Dampak pun tak hanya soal pelepasan karbon ke atmosfer yang menyebabkan emisi gas rumah kaca meningkat, juga bisa dirasakan di banyak sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian, dan lingkungan hidup.
Sektor kesehatan
Wilayah-wilayah yang mendapat kabut asap tahun 2015 (yang terparah) menyebabkan 24 orang meninggal dunia, 600ribu orang terjangkit infeksi saluran pernapasan (ISPA), masyarakat yang menderita ISPA mulai dari bayi sampai yang kakek-nenek (batuk, flu, sesak napas, muntah)
Sektor lingkungan hidup
Kredit: belum diketahui sumber aslinya
Karhutla menyebabkan banyak hewan dan tumbuhan mati, sebagian yang masih selamat melarikan diri ke area lain bahkan sampai ke pemukiman warga. Terjadi kepunahan pada tumbuhan dan hewan endemik yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia. Hasil hutan berupa kayu atau pun non kayu juga hilang. Akibat terbesarnya adalah krisis iklim semakin parah. Itu menyebabkan bencana alam lebih sering terjadi di Indonesia juga lebih hebat dibandingkan sebelumnya.
Sektor transportasi
Di sektor ini, pembakaran hutan menyebabkan jalur transportasi terganggu akibat kabut asap. Orang-orang yang seharusnya sampai tujuan lebih awal, harus memelankan laju kendaraan karena jarak pandang semakin dekat. Jika tida berhati-hati terjadi kecelakaan.
Sektor ekonomi
Tak dipungkiri sumber daya alam yang ada di hutan juga dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar dan pemerintah. Kebakaran hutan diperkirakan membuat
kerugian cukup besar secara ekonomi karena kerusakan aset dan kehilangan
potensi dari kegiatan ekonomi. Selain itu kegiatan perdagangan jadi terganggu
akibat kabut asap.
Sektor pendidikan
Di sektor pendidikan sendiri, karhutla bisa membuat siswa ketingalan pelajaran akibat sekolah libur. Tentu tidak memungkinkan belajar dalam kabut asap juga karena kualitas udara buruk.
Masih banyak kerugian lain yang harus ditanggung apalagi dalam jangka panjang. Secara luas dan menyeluruh, akibat pembakaran hutan sudah bisa kita rasakan setiap hari, seperti suhu udara semain hari semakin panas dan gerah, bencana alam (hujan, badai, banjir, abrasi, dll) semakin parah. Oleh sebab itu kebakaran hutan dan lahan memang harus diatasi juga dicegah, apalagi oknum-oknum yang mau memanfaatkannya menjadi perkebunan sawit atau hal lain harusnya ditindak oleh aparat dan pemerintah.
Comments