“Aku pengen bisa melaksanakan amanah utama di rumah sebagai istri dan ibu di rumah, biar gak kehilangan momen-momen berharga melihat perkembangan anak. Apalagi setelah tahu kondisi putriku berkebutuhan khusus jadi makin ga pengen kerja kantoran,” ungkap Hilmiyyah, ibu rumah tangga yang saat ini tinggal di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur.
Mahkota daun dan bunga kering yang aku pesen di Aisy Bros, belum sempet kupake buat foto2
Aisy Bros, wadah rezeki untuk anak
Meski Hilmiyyah sempat menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Bali, tergerak juga hatinya untuk keluar dari pekerjaannya tahun 2015. Selain karena lelah memenuhi tuntutan perusahaan, ia juga sulit pulang ke keluarganya di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Blitar saat ada keperluan keluarga yang mendesak. Harap mahfum, ia lahir di kabupaten Bondowoso yang terletak di antara Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Jember. Kini ia tinggal di Kabupaten Blitar bersama anak dan suaminya.
Baca juga: Himiyyah Yulianti: Melewati Fase Berat Bertahun-tahun Punya Anak Sindrom Down
Tak ingin mengandalkan pendapatan suami untuk penuhi kebutuhan hidup, perempuan yang kerap dipanggil Iing itu putuskan untuk menjadikan hobi baking-nya sebagai tambahan penghasilan keluarga. Ia membuat aneka kue kering dan cokelat praline. “Aku dibantu suami, dititipin ke kantin-kantin kantor, toko-toko, pusat oleh-oleh, kantin karyawan hotel, dan tempat lain,” ungkapnya. Usaha menjual kue dan cokelat ia kerjakan saat masih tinggal di Bali lalu terhenti begitu hamil karena kondisi yang belum memungkinkan.
Hilmiyyah sempat berjualan aneka kue (kredit: Hilmiyyah) |
Begitu pindah ke Blitar, Iing tak mampu berdiam diri begitu saja. Ia ke tukang jahit langganannya untuk meminta kain perca. Ia berniat mengisi waktu luang dengan hobinya yang lain, yaitu membuat kerajinan tangan dan aksesoris handmade costum. Tak hanya itu, ia juga membeli manik-manik, lem tembak, peniti, diamond, dan lain-lain.
Iing sulap kain perca dan bahan lain menjadi menjadi bunga-bunga pita, gelang, bando anak dan bayi, aksesoris untuk pernikahan, dan aksesoris lain. Kemudian ia coba jual ke teman-teman yang dikenalnya, ternyata laku. Dari situlah ia kemudian pindah usaha ke bidang aksesoris karena lebih mudah dikerjakan.
Perempuan lulusan Biologi, Univesitas Brawijaya itu kemudian menjadikan nama anaknya sebagai brand aksesoris yang ia geluti, Aisy Bros. Ia berharap usahanya jadi salah satu wadah rezeki untuk anaknya dan buah hatinya bisa melanjutkan usahanya kelak. Tak dipungkiri, hasil penjualan aksesoris kerap ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari dan tambahan biaya terapi dan pengobatan anaknya.
Ibu rumah tangga yang punya usaha aksesoris handmade custom
Sebagai ibu rumah tangga yang juga ingin mengembangkan hobinya, Iing mengaku agak kesulitan dalam mengembangkan bisnisnya. Ia mendahulukan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga, baru menggunakan waktu luangnya selesaikan pesanan. Ia bangun pagi kemudian memasak untuk keluarga, melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak dan mengantar anak terapi sesuai jadwalnya, dan sekolah. Di sela-sela waktu itu baru mengerjakan pesanan Aisy Bros, bahkan begadang sampai tengah malam.
Saat orderan membludak, Iing memang perlu bantuan asisten atau mengalihkan pesanan aksesoris handmade costum ke orang lain. Sulitnya medapatkan asisten untuk membantu pekerjaannya juga jadi salah satu penyebab bisnisnya belum berkembang. “Handmade kan unik ya, jadi meski udah diajarin dengan caraku, hasilnya itu gak sama. Customer yang loyal tahu itu hasil buatan tanganku atau bukan,” ungkapnya.
Perempuan yang kini berusia 33 tahun itu pernah menangis dan tidak bisa tidur karena mendapatkan pelanggan perfeksionis di mana detail-detail aksesoris handmade costum yang diinginkan harus dipenuhi, ditambah pesanan harus selesai dalam waktu singkat. Saking perfeksionisnya, pernah produk dikembalikan karena ada sedikit perbedaan warna.
Baca juga: Hilmiyyah Yulianti: Punya Anak Sindrom Down bukan karma
Produksi aksesoris handmade costum di Aisy Bros pun tak tentu. Iing biasa membuka sistem made by order di mana baru akan dibuat jika ada pesanan. Biasanya ia mampu membuat 2-3 lusin bunga dari pita per hari, “Untuk produk kayak bros atau headband itu tergantung mood. Kalo mood-nya bagus bisa cepet, kalo ga mood seharian ngutek-ngutek sebiji aja gak jadi-jadi,” ujarnya.
Kesulitan lain yang Iing hadapi adalah saat punya pelanggan yang suka terburu-buru. Saat setuju pesanan selesai dalam waktu seminggu, dua hari kemudian menanyakan kabar produknya, seperti sedang meneror. Bila sudah begini, ia meminta bantuan asisten dadakan. Kalau pun tidak memungkinkan, ia akan meminta rekannya yang punya bisnis serupa untuk menangani.
Meski begitu, Iing bahagia bisa punya bisnis kecil yang tidak mengharuskan bekerja penuh delapan jam. Berbekal keuletan, ia mampu menjual 2-10 gross per bulan untuk produk bunga lusinan dan yang satuan berkisar antara 10-100 pcs per bulan. Meski hobi, ia mengaku bahagia menjalaninya apalagi saat jerih payahnya terbayar dengan banyak yang membeli.
Pun Iing bisa menjaring komunitas dan reseller sehingga tak kesulitan dalam penjualan. Produk aksesoris handmade costum yang menyasar kepada teman-teman dan ibu-ibu berhijab pun sebenarnya laris manis karena memang unik dan dijamin kualitasnya. Tak hanya untuk ibu-ibu berhijab, Aisy Bros juga menyasar ibu-ibu yang punya anak, fotografer bayi dan keluarga, MUA dan pekerja salon, serta mereka yang suka craft. Melalui reseller, ia juga pernah menjual produk aksesoris handmade costum nya ke orang-orang penting dan melanglang buana ke negeri orang.
Meski selama pandemi pesanan Aisy Bros sempat ada yang dibatalkan dan penjualan turun hingga 80%, ia optimis menjalankannya. Ia percaya pelanggan-pelanggan setianya akan tetap percaya pada hasil tangan Iing. “Model aksesoris yang kubuat beda dengan hasil pabrikan. Customer bisa request model dan bahan sesuai yang dimau. Bisa dibilang produkku eksklusiflah,” ungkapnya mengakhiri percakapan.
Comments