Taufiqurrahman, salah satu warga Kampung Grumbul Bulakan, Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, mampu menjual mutiara hitam Rp250.000 hingga Rp300.000 per kilogramnya. Kopi jenis robusta ia banderol seharga 25ribu per 100 gram dan kopi liberika seharga 30ribu. Untuk mendapatkan harga setinggi itu tentu bukan hal mudah. Ia melalui jalan panjang dalam rentang waktu tak singkat. Pasalnya ia membeli biji kopi berkualitas baik dari warganya sendiri, seharga 25ribu sampai 45ribu per kilogram, tergantung kualitasnya. Padahal warga terbiasa menjual di bawah harga 17ribu di pasar.
Kopi yang Taufiq dapatkan, diproses lagi untuk dikemas dan dipasarkan ke pelanggan-pelanggannya. Tak heran, ia mampu menjual seharga ratusan ribu per kilogram selain tersebab mutu, sebagian laba ia pakai untuk biaya pemeliharaan, panen, sortir, roasting, pengemasan, hingga pendistribusian.
Bermula dari mengelola sampah
Desa Langgongsari adalah salah satu penghasil kopi terbaik sejak zaman penjajahan Belanda. Dua jenis kopi yang dihasilkan, yaitu kopi robusta dan kopi liberika, ibarat mutiara hitam yang tak ternilai derajatnya. Meski berpuluh-puluh tahun sempat terkubur, berkat Taufiq, mutiara hitam itu kembali menemukan cahayanya.
Sebelumnya, tak pernah terpikir oleh Taufiq mengembangkan kopi di kampungnya. Tak muluk-muluk, ia hanya ingin memajukan kampung, mengelola sampah dengan menerapkan zero waste, sekaligus mendukung program pemerintah mencapai target Indonesia bersih dan bebas sampah tahun 2025.
Zero waste management tak hanya dapat membuat lingkungannya lebih bersih, tapi juga bisa mengubah nilai dari sampah itu sendiri. Metode zero waste yang ingin Taufiq lakukan adalah 5R, bukan lagi 3R, yaitu refuse (menolak), reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan rot (membusukkan sampah). Namun ternyata, langkahnya tak sederhana.
Dusun Bulakan yang memiliki 800 jiwa manusia tak mudah digerakkan. Harap mahfum, tingkat pendidikan yang cukup rendah menjadi persoalan utamanya. Edukasi mengenai program yang akan dijalankan meski Taufiq harus mendatangkan ahli dari pusat dan provinsi pun tak mampu menjadi pemicu. Harus ada contoh keberhasilannya dulu, baru mereka mau, ungkapnya.
Meski begitu, pria yang saat ini berusia 42 tahun tak pantang arang. Ia dan rekan seperjuangan tetap mengajak masyarakat sekitar untuk bergerak walaupun pergerakan kecil. Seolah kejatuhan durian matang pohon, tahun 2014, kegiatannya terendus PT Pamapersada Nusantara (PAMA), anak perusahaan milik PT United Tractors Tbk, distributor kendaraan konstruksi berat Komatsu di Indonesia, PT Astra International Tbk. Sejak lama PAMA juga menjadi bagian dalam kegiatan lingkungan untuk enanggulangi perubahan iklim dan pengurangan gas emisi rumah kaca. PAMA juga menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk itu.
Sebagai bagian dari organisasi Program Kampung Iklim (PROKLIM) Bulakan Asri yang gerakannya sudah dimulai sejak tahun 2014, Taufiq dan rekan mendapat embusan angin segar. PAMA mendukung penuh kegiatan PROKLIM. Tahun 2017 pun ia menjabat sebagai koordinator PROKLIM dan menggencarkan penanganan sampah di lingkungannya.
Program Kampung Iklim (PROKLIM) adalah program nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai kondisi wilayah masing-masing. Pemerintah menargetkan ada 20.000 desa tahun 2024 yang terlibat dalam POKLIM. PROKLIM Bulakan Asri, Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, adalah salah satunya.
Taufiq membangun bank sampah sebagai tempat pengepul sampah warga. Warga kemudian diminta berkontribusi mengirimkan sampah-sampahnya untuk dipilah dan diolah menjadi pupuk cair untuk sampah organik dan sampah anorganik yang bernilai ekonomis dijual ke pengepul. Uang yang dihasilkan ditabung untuk digunakan warga kembali bila dibutuhkan.
Lagi-lagi pria kelahiran 1 Januari 1980 itu tersandung. Program itu tak berjalan semestinya karena banyak warga yang enggan mengirimkan sampahnya ke bank sampah. Ia pun putar otak dan menugaskan pemuda-pemuda yang tergabung dalam Forum Fata Bulakan (FFB), sebagai sukarelawan untuk menjemput sampah ke rumah-rumah penduduk. Ternyata, penjemputan sampah pun terkendala biaya. Timnya perlu bahan bakar untuk mengisi transportasi penjemputan.
Terpanggil mengembalikan kejayaan mutiara hitam di kampungnya
Dulu, warga di lingkungannya menganggap kopi sebagai flora anggun dan berwibawa. Berdasarkan riwayat sejarah, pada zaman penjajahan, Belanda memaksa warga lokal menanam kopi di tanah di Jawa karena kualitasnya mumpuni. Data dari Steven Topik tahun 2004 yang ditulis kembali di republika.co.id, pada 1721 sekitar 90% kopi yang diperdagangkan di Amsterdam berasal dari Micha, Yaman, tetapi lima tahun setelahnya, Jawa sudah menjadi produsen utama kopi bagi Belanda dengan presentase yang sama (90%).
Kopi robusta |
Saking tinggi derajatnya, kopi jadi sajian bagi tamu khusus atau pada acara-acara besar, seperti acara pernikahan, khitanan. Sajian kopi juga menunjukkan status sosial. Menyajikan kopi berarti punya derajat sosial tinggi. Namun, perlahan-lahan mutiara hitam mulai kehilangan sinarnya sekitar tahun 1990-an diiringi dengan munculnya kopi-kopi instan berbagai merek. Kopi-kopi yang dulunya menjadi potensi unggulan, terbengkalai begitu saja di lahan warga. Bila pun ada, kebun kopi ibarat tanaman liar, yang bila kering pun, tak akan ada yang menangisi.
Pertemuan Taufiq dengan Heri, pemilik coffee shop di Purwokerto tahun 2018 menjadi jembatan penghubung dengan warganya. Kemudian ia berserta pemuda Forum Fata Bulakan mendata tanaman kopi warga yang hanya menghasilkan kopi robusta (Coffea canephora) dan kopi liberika (Coffea liberica). Ia juga melakukan rehabilitasi pohon agar hasil panen optimal, menyajikan kopi, dan mengedukasi warga untuk tingkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen kopi.
Kopi liberika |
Kopi robusta di Pulau Jawa pamornya menjulang hingga ke Eropa. Kopi robusta banyak dipakai sebagai bahan baku kopi siap saji dan campuran kopi racikan. Selain itu, kopi robusta Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi robusta terbesar di dunia. Sementara itu, kopi liberika diduga berasal dari Liberia. Tak banyak yang membudidayakan kopi jenis ini.
Bersama-sama warga, Taufiq memanen, menyortir, dan mengeringkan biji kopi, mengupas kulit, kembali menyortir, dan dikemas. Sebelum di-roasting. Proses roasting masih dibantu teman karena kami masih belum punya alat, ungkapnya. Kopi hasil panen kemudian ia beri nama kopi Langgongsari untuk dikenalkan ke rekannya.
Ternyata Heri suka dan menurutnya kopi Langgongsari tak kalah mantap jika dibandingkan dengan kopi dari daerah lain, terutama kopi liberika yang punya aroma kuat mirip buah nangka, lanjutnya. Dibantu Heri, kopi Langgongsari mendapat respon baik dan ada peningkatan permintaan di kafe lain.
Terkendala modal, PAMA pun mengulurkan tangan untuk juga mendukung penuh setiap kegiatan yang berkaitan dengan kopi dari hulu ke hilir. Kopi Langgongsari pun berubah nama menjadi Kopi Iklim karena berasal dari Kampung Iklim Bulakan Asri. Beragam upaya dilakukan, mulai dari penanaman kembali, perawatan, dan edukasi mengenai kopi pun membuahkan hasil. Masyarakat menyambut gembira, kini mampu menjual biji kopi lebih mahal dibandingkan sebelumnya.
Berkat Taufiq, kopi kembali berjaya di lingkungannya tak hanya sebagai peningkatan kesejahteraan warganya, tapi juga sebagai salah satu potensi yang mampu membuat lingkungannya berkembang dan maju di berbagai aspek, pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan lain-lain.
Kampung bersih, tanah menghijau, cuan datang ramai-ramai
Desa Langgongsari, tempat Taufiq tinggal, kini menuai banyak kisah inspiratif tak hanya dari kopinya |
Perjuangan Taufiq bukan hanya angin berembus, tapi sudah menjadi kisah keberhasilan yang mendatangkan akibat dahsyat. PROKLIM yang dijalankannya dan dibina PAMA, meski aspek-aspek (lingkungan, kewirausahaan, kesehatan, dan pendidikan) belum tidak sepenuhnya maksimal, setidaknya perjalannya kini lebih mudah.
Sampah-sampah warga mulai terkendali dengan adanya bank sampah, yang sebagian diolah menjadi pupuk organik. Pupuk organik tersebut dimanfaatkan dalam budidaya sayuran organik. Tanah-tanah kian menghijau bukan hanya karena sayur organik, tapi karena pengembangan tanaman kopi yang kian menggelegar, tapi juga karena penghijauan yang dilakukan di Kampung Iklim Bulakan Asri, yaitu penghijauan dengan menanam tanaman buah dan bernilai ekonomis (rambutan, sirsak, jambu, dan matoa). Tak hanya itu, Taufiq juga juga melakukan penambahan gizi untuk balita di kampungnya.
Kedekatan antar warga pun kini bukan hanya sekadar silaturahmi, tapi juga meningkatkan edukasi melalui pembelajaran sederhana tentang lingkungan, pentingnya menerapkan zero waste, pengetahuan tentang tanaman kopi dan segala proses yang berkaitan dengan proses produksi, juga sinergi antara warga dengan usia yang berbeda untuk menjalankan visi dan misi sejalan. Tak hanya itu, program yang dijalankan Taufiq dan warga sekitar secara tidak langsung membantu program pemerintah dan antar-negara dalam mengendalikan krisis iklim. Salut!
Comments