Transisi energi sebenarnya sudah manusia lakukan dari masa ke mana, tergantung kebutuhan pada saat itu. Sebelum ada transportasi berbahan bakar fosil, manusia memanfaatkan tenaga hewan untuk melakukan perjalanan (seperti kuda) dan berjalan kaki. Transisi energi kemudian jadi cukup signifikan sejak munculnya kendaraan berbasis bahan bakar fosil. Kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, mobil, perahu nelayan, bahkan pesawat terbang.
Kredit: Smithsonian Magazine |
Dampak dari maraknya transisi energi (dengan memanfaatkan sumber energi yang tak dapat diperbarui) yang berlebihan membuat lingkungan rusak secara masif dan mengglobal. Dampaknya sehari-hari kita rasakan, seperti suhu bumi kian panas, cuaca tidak menentu, bencana alam yang terjadi selama beberapa tahun terakhir kian parah, dan lain-lain.
Mengapa perlu transisi energi lagi?
Transisi energi sebenarnya adalah peralihan energi. Istilah ini saat ini banyak digunakan sebagai upaya mengurangi penggunaan energi dari bahan bakar fosil ke energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca. Beruntung sekali aku, Uwan Urwan, ikut webinar kesekian kalinya bersana Eco Blogger Squad, di mana merupakan komunitas peduli lingkungan. Eco Blogger Squad mengadakan pertemuan secara online rutin setiap bulannya untuk membahas isu-isu lingkungan dengan narasumber kompeten di bidangnya. Kebetulan tema kali ini adalah transisi energi yang jadi usaha untuk mengurangi selimut polusi.
Terdapat peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil dari tahun ke tahun. Bahan bakar fosil juga jadi bahan bakar utama pembangkit tenaga listrik. Juga kasus pembabatan hutan untuk produksi sumber energi meningkatkan efek gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer bumi.
Tak cuma sekali, tapi mungkin lebih dari ratusan sampai jutaan kali digaungkan oleh perorangan, organisasi, sampai pemerintah bahwa gas rumah kaca menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat, perubahan cuaca secara luas dan tidak menentu dalam jangka waktu panjang, perubahan iklim yang terjadi menyebabkan terjadinya banyak bencana lingkungan dan jika kerusakan alam main parah, bencana juga akan lebih hebat.
Meski makin banyak yang sadar dan melakukan aksi untuk memperbaiki kerusakan itu, masih banya orang yang abai. Sebenarnya bukan abai, tapi seolah tidak punya pilihan lain karena tuntutan pekerjaan, kesibukan, dan kurangnya eduksi sekaligus kesadaran.
Transisi energi sangat diperlukan. Jika saat ini kita berada di fase bergantung sekali dengan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon, kita bisa beralih ke energi alternatif yang lebih ramah lingkungan atau menghemat penggunaan bahan bakar fosil, misalnya
- Beralih menggunakan transportasi umum jika tidak sedang terburu-buru
- Mematikan listrik saat tidak digunakan
- Beralih dari menggunakan bahan bakar fosil ke bahan bakar sebagian fosil atau yang ramah lingkungan sepenuhnya
- Beralih dari penggunaan listrik yang memanfaatkan energi fosil ke listrik yang ramah lingkungan (PLTS, PLTA, dll)
- Beralih ke produk rumah tangga ramah lingkungan
- Menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle)
Dengan melakukan transisi energi ke aktivitas yang mengurangi penggunaan bahan bakar fosil memang diharapkan agar selimut polutan di atmosfer berkurang.
Transisi energi di sektor transportasi
Sebenarnya transisi energi bisa dilakukan secara menyeluruh, tak hanya dari satu sektor saja. Namun sektor transportasi saat ini di seluruh dunia punya peran besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Banyak solusi yang diberikan oleh pemerintah, peneliti, dan organisasi lingkungan untuk melakukan transisi energi yang lebih bijak lingkungan.
Di transportasi darat, kita bisa mulai beralih menggunakan biodiesel B30 di mana kandungannya terdiri dari 30% biodiesel dan 70% solar. Alternatif lain adalah menggunakan kendaraan listrik.
Transportasi laut bisa beralih menggunakan bahan bakar biodiesel B100 yang kandungannya murni biodiesel, tanpa campuran solar. Sementara itu untuk transportasi udara bisa beralih menggunakan biovaktur B 2,4 di mana kandungannya 2,4% biovaktur dan 98,6% avtur.
Apakah bahan bakar yang dianggap ramah lingkungan benar-benar ramah? Tidak. Masih ada banyak tantangan yang dihadapi dunia sebab meski bahan bakar non fosil dapat diperbarui dan memangkas jumlah emisi gas rumah kaca, nyatanya bahan utama biodiesel masih menggunakan minyak CPO dari kelapa sawit. Di mana untuk membuat kebun kelapa sawit, dibutuhkan lahan yang semula sebagian adalah hutan gambut yang kaya flora dan fauna diubah dengan cara dibakar.
Pembakaran hutan meningkatkan emisi gas rumah kaca secara signifikan sekaligus membunuh banya flora dan fauna, termasuk yang endemik. Permintaan biodiesel yang tinggi berisiko memperluas lahan sawit. Artinya hutan alami yang seharusnya dijaga akan dibuka.
Sementara itu, kendaraan listrik dan berbagai peralatan listrik yang sedang digaungkan oleh pemerintah, pembangkit tenaga listriknya masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama, meski tidak 100%. Tantangannya juga di sektor huu, kendaraan listrik belum sepenuhnya bebas dari emisi gas rumah kaca.
Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk melakukan transisi energi. Meski sudah banyak yang berubah. Setidaknya ada perubahan yang lebih baik meski pun harus dibenahi.
Hm, sebenarnya masih banyak yang ingin kubahas, tentang biofuel, biodiesel dari minyak jelantah, penggunaan peralatan listrik bertenaga surya, dan lain-lain. Namun sepertinya aku harus menuliskannya di lain waktu ya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Comments