Persoalan tanah selalu jadi topik hangat baik di skala keluarga sampai ke nasional. Di dalam keluarga biasanya tersebab warisan leluhur, kemudian jadi permasalahan yang berkepanjangan karena suatu hal. Begitu juga di ranah nasional, berita-berita mengenai perebutan wilayah termasuk pembebasan lahan untuk kepentingan ekonomi pun ada. Seperti yang dialami masyarakat di Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Provinsi Sumatera Selatan yang nyaris saja jadi perkebunan sawit.
Berawal dari transmigrasi ke Desa Nusantara
Desa Nusantara adalah pemukiman transmigrasi program pemerintah tahun 1982. Nama Desa Nusantara ini pun tercetus karena perusahaan yang dapat tender pembukaan lahan dan pembangunan kawasan transmigrasi tersebut bernama PT Nusantara. Meski masyarakat yang menempati semula adalah warga transpigran dari Pandegrang dan Subang, Jawa Barat, mayoritas penduduknya berasal dari Kediri, Madiun, Tulung Agung, Nganjuk, dan Mojokerto.
Total luas wilayah Desa Nusantra pun awalnya mencapai 259.300 hektar. Lahan seluas itu pun sebelumnya berupa hutan gambut yang lalu berubah menjadi area pertanian pasang surut. Masing-masing transmigran hanya disediakan rumah panggung, lahan usaha seluas 2 hektar, drum untuk menampung air hujan, serta parang dan arit untuk mengelola lahan.
Tanpa fasilitas yang memadai, seperti jalan, aliran listrik, layanan kesehatan, dan fasilitas lain, masyarakat tersebut dipaksa untuk bertahan hidup. belum lagi sebagian areanya masih berupa rawa gambut, di mana untuk menjangkau area tertentu harus menggunakan perahu motor selama berjam-jam dari Palembang.
Mengandalkan peralatan yang ada, masyarakat itu mau tidak mau mengolah lahan secara bertahap, dengan menanam singkongm sukun, dan jagung. Memasuki musim panen pun, tak semua hasil kebun mereka bisa dinikmati karena sudah dipanen terlebih dahulu oleh hewan liar (monyet, babi, gajah, dan lain-lain). Harap mahfum, Desa Nusantara kala itu berdampingan dengan hutan.
Belum lagi, masyarakat Desa Nusantara harus melewati ancaman wabah kolera, yang menyebabkan muntah-muntah dan diare. Pengobatan dengan herbal pun tak mampu mengobati dan terpaksa harus dibawa ke puskesmas, di mana untuk tiba ke puskesmas terdekat, warga harus menggotong yang sait sejauh 2 km menuju dermaga. Setiba di dermaga pun harus menunggu perahu. Sulitnya medan menyebabkan tak ada satu pun yang berhasil tiba di puskesmas untuk mendapat penanganan karena mereka meninggal di dalam perjalanan. Masalah kian pelik karena dalam sehari korban yang meninggal bisa sampai lima orang.
Wabah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dan berangsur pulih sejak ada bantuan dari Jakarta. Masyarakat Desa Nusantara diberi bantuan dan penyuluhan mengenai cara hidup bersih dan membagikan oralit.
Tahun 1982, ada warga yang berhasil panen padi dan tahun berikutnya gagal. Penyebabnya adalah serangan hewan liar, seperti babi dan monyet. Perjuangan masyarakat Desa Nusantara untuk bertahan hidup sangat berat meski pada saat itu kebutuhan pangan dibantu oleh pemerintah.
Desa Nusantara nyaris berubah jadi perkebunan sawit
Kredit: kompas.com |
Namun naas, tahun 2005, sebuah perusahaan dapat izin mengolah lahan dari bupati setempat. Perusahaan tersebut hendak menjadikan lahan masyarakat Desa Nusantara sebagai lahan sawit. Perusahaan tersebut melakukan pengukuran lahan sampai membangun kanal-kanal agar lahan tak dipenuhi air.
Ada 17 desa yang bersedia, hanya Desa Nusantara yang menolak. Masyarakat melakukan perlawanan dan menolak alih fungsi lahan itu. Hingga terbentuklah Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB) sebagai wadah aspirasi warga dan perwakilan untuk mediasi dengan perusahaan tersebut.
Sayangnya, aksi penolakan itu menyebabkan tiga warga harus ditangkap polisi. Perjuangan masyarakat Desa Nusantara pun tak berhenti di situ, masyarakat itu memperkuat pengaruhnya dengan mempersiakan warganya untuk menjadi kepala desa. Sejak tahun 2017, tekanan dari perusahaan dan kepolisian berkurang dan tahun 2019 bebas dari tekanan.
Bagi masyarakat Desa Nusantara, menjadikan lahan mereka sebagai lahan sawit tak sepadan keuntungannya jika dibandingkan dengan mengolah lahannya sendiri. Mereka kini tak hanya memanfaatkan lahan untuk menanam padi, tapi juga kopi, nanas, cabai, buah naga, dan lain-lain.
Selain mandiri, masyarakat Desa Nusantara juga dapat dukungan dari WALHI Sumatra Selatan untuk mendapatkan Dana Nusantara. Bantuan Dana Nusantara tersebut menjadikan masyarakat Desa Nusantara berdaya dan mandiri secara ekonomi, mampu mengelola sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersama.
Catatan: Materi di atas didapatkan langsung lewat webinar Mengenal Desa Nusantara dengan Sustainable Land Use Planning (SLUP) di mana narasumbernya merupakan perwakilan dari Desa Nusantara.
Comments