Tak perlu jauh-jauh melakukan 1000 pohon di daerah tandus kalau tidak didukung oleh orang sekitar, pengetahuan, dan tidak dirawat. Selain butuh banyak biaya, tenaga, dan waktu, keberlangsungan hidup tanaman reboisasi juga masih jadi tanda tanya. Pasti ada yang mati tapi akan jadi sedih sekali kalau semua tanamannya mati, seperti yang pernah dilakukan beberapa komunitas, menanam bakau di pantai. Asal mengadakan kegiatan tapi tidak didukung dengan pengatahuan, semua tanaman bakau yang mereka tanam hilang terbawa arus. Artinya gagal.
Padahal selamatkan bumi dari krisis iklim dari perubahan iklim yang kian brutal akibat global warming bisa dilakukan di rumah setiap hari, ya lewat makanan yang kita makan, mengetahui prosesnya dari awal sampai akhir. Tidak perlu juga melakukan usaha berlebihan, semampunya saja, yang penting konsisten. Mungkin apa yang aku lakukan bisa jadi inspirasi kamu.
Lebih pilih beli produk dan makanan lokal untuk mengurangi dampak krisis iklim
Aku rutin beli produk dan makanan lokal, ikan untuk kucing setiap dua hari sekali ke pasar. Tak hanya beli ikan, kadang juga sekalian beli sayur, tempe, tahu, jajanan pasar, buah, dan lain-lain. Aku biasanya memilih belanja di area terdekat, paling jauh ke area kota Situbondo, kecuali tidak ada, baru belanja online.
Kenapa belanja makanan lokal sangat bagus untuk lingkungan? Sebab makanan lokal tidak perlu menempuh perjalanan panjang buat sampai di tangan kita. Pendistribusian produk biasanya menggunakan kendaraan, di mana menggunakan bahan bakar fosil. Tak hanya soal mengurangi emisi gas rumah kaca yang mana berakibat pada global warming, tapi juga mengurangi penggunaan kemasan berlebih. Produk hasil belanja online biasanya menggunakan kemasan dobel, ditambah stiker, double tip, dan lain-lain yang nantinya juga berakhir menjadi sampah.
Membeli produk dan makanan lokal menguntungkan petani dan produsen lokal dan mendorong pertanian berkelanjutan. Yaa secara tidak langsung kita mendukung petani lokal. Kita bisa menghidupi banyak keluarga hanya dengan berbelanja produk olahan teman sendiri. Apalagi jika dikasih bonus dan pelayanannya menyenangkan, biasanya aku akan beli lagi. Itu juga membantu mereka tetap berjualan karena masih ada yang beli. Selamatkan bumi sekaligus selamatkan orang-orang di sekitar kita.
Habiskan makanan di piring bisa selamatkan bumi
Suka sedih melihat orang-orang tidak menghabiskan makanannya hanya karena rasanya kurang sesuai di lidah (bukan berarti tidak enak). Paling parah sih biasanya terjadi di acara kondangan yang makannya prasmanan. Beuh, orang-orang dengan rakusnya mengambil makanan sampai penuh di piring, belum habis sudah kenyang, dan akhirnya bersisa. Kebiasaan buruk lain adalah meski sudah tahu perut kenyang tapi masih belum mencoba semua makanan yang dihidangkan, orang-orang masih berusaha berebut mengambil makanan. Ya akhirnya tidak dihabiskan dan menambah sampah lagi. Tidak ada manajemen food waste.
Tahun 2019, Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terdua terbesar setelah Saudi Arabia. Tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat bahwa sampai sisa makanan kita mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini justru memberi komposisi terbesar dari total sampah berupa plastik (26,27 ton). Itu baru yang tercatat ya, belum yang tidak masuk dalam survei. Artinya sebenarnya jumlah sampah makanan di Indonesia bisa jauh lebih besar dari itu.
Menjadi sangat ironis, mengingat isu stunting dan gizi yang sedang digalakkan pemerintah masih diperdebatkan hingga saat ini. Kemungkinan besar ada ketimpangan ekonomi, di mana yang mampu berlebihan soal makanan, sementara yang miskin, untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga saja belum bisa.
Sampah sisa makanan berasal dari pasar tradisional, supermarket, hotel, restoran, UMKM, dan rumah kita sendiri, berupa produk kadaluarsa; sisa potongan sayur, daging, dan buah; kebiasaan menyisakan makanan; masak berlebih dan tidak habis, membeli makanan yang tidak disukai, gengsi menghabiskan makanan di tempoat umum, dan lain-lain.
Sampah sisa makanan jika dilihat sekilas hanyalah sampah yang kemudian akan terurai begitu saja, tapi tidak sesederhana itu. Sampah sisa makanan yang menumpuk akan menghasilkan gas metana, di mana gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dampaknya pada global warming. Penumpukan sampah di TPA berbahaya, bisa jadi menumpuk kemudian longsor, menyebabkan air lindi, merusak ekosistem, dan membuat lahan tidak produktif.
Selain itu, produksi makanan akan membutuhkan air dan minyak bumi/gas bumi. Kan kalau dirunut panjang juga masalah yang disebabkan sampah sisa makanan. Menghabiskan makanan memang terlihat remeh tapi akan berdampak besar jika semua orang melakukan itu. Ini langkah kecil yang bisa selamatkan bumi.
Makan makanan minim sampah mengurangi sampah dan efek global warming
Karena hal di atas, aku berusaha makan makanan yang minim sampah. Kalau berupa ikan sisa alhamdulillah kucingku selalu siap sedia menampung. Aku rasa sejak kucingku bertambah, makanan sisa di rumahku semakin sedikit. Selain itu aku juga tidak mau menambah sampah plastik dengan membawa tas belanjaan ke mana pun (otomatis sering menolak kresek), saat makan pepaya aku juga makan bersama dengan bijinya. Aku belum berani makan kulit pepaya. Tak hanya itu, saat makan mangga, aku lebih suka makan dengan kulitnya karena menurut beberapa riset kulit mangga juga kaya nutrisi. Itu juga terjadi pada saat makan buah naga, kulitnya aku bersihkan, potong-potong, kemudian dijemur. Sayangnya aku masih belum berhasil mengeringkan kulit buah naga karena selalu berjamur.
Selama aku bisa, aku akan menghindari membeli makanan yang menghasilkan sampah meskipun di zaman sekarang sangat sulit dilakukan. Namun setidaknya untuk beberapa sampah, bisa aku pakai sebagai wadah makan kucing dan sampah pasir kucing.
Share konten manajemen food waste untuk selamatkan bumi
Aku bukan orang yang ahli di bidang manajemen food waste sih, tapi aku selalu dapat sedikit-sedikit ilmu dari akun-akun yang aku follow, terutama di Twitter (Paling sering aktif). Mengenai bagaimana cara mengolah sisa makanan, beberapa hal aku terapkan, seperti memanfaatkan kulit nanas untuk dijadikan tepache, minuman fermentasi yang mengandung probiotik dari Meksiko. Percobaan kedua aku langsung jual dan laris. Hehe. Alhamdulillah.
Tak hanya itu, aku juga memanfaatkan kulit buah naga untuk dijadikan minuman tapi gagal karena ya berjamur sebelum benar-benar kering. Sering dapat ilmu juga soal kompos dan eco-enzym tapi aku belum bisa melakukan itu. Banyak hal yang kupelajari tapi aku masih bisa sedikit mengimplementasikannya. Sisanya biasanya aku sering share di Twitter dan bantu RT untuk membantu memperluas informasi mengenai manajemen food waste.
Meski langka-langkah yang aku lakukan kecil, setidaknya aku tidak sendirian. Ada teman-teman pecinta lingkungan lain yang melakukan gerakan yang sama dan lebih besar daripada yang aku lakukan. Harapannya sih menjadi inspirasi buat kamu. Kita bisa melakukan bersama-sama, semakin banyak orang yang melakukan semakin baik.
Aku juga mau mengajak kamu, yang baca tulisan ini untuk ikut challenge dari Team For Impact, di mana ada enam kategori, challengenya setiap hari bisa diikuti. Sederhana kok. Jika challenge ini dilakukan oleh banyak orang, tentu dampaknya lebih besar untuk bumi, setidaknya dampak global warming dan krisis iklim melambat. Kamu bisa klik tautan ini ya https://teamupforimpact.org/team-up-everyday/play untuk ikuti challengenya, demi selamatkan bumi.
Comments