Aku mengenal pesona teh hangat Camelia sinensis pada suatu pagi yang cerah. Cahaya matahari membelai jendelaku, dan aku merasakan desiran kehangatan yang menyapa. Tahun 2016, itulah awal dari kisah cintaku dengan teh. Dulu, teh hanyalah teman saat ada acara khusus atau kunjungan ke rumah teman dan keluarga.
Awal mula kisah cintaku dengan teh Camelia sinensis dimulai
Semuanya berubah saat ritual minum teh Camelia sinensis dimulai. Suatu pagi, sambil mengantarkan aku ke kosan baru, seorang teman berkata, "Bu, tolong buatin teh anget ya, buat Uwan biar badannya anget." Awalnya, aku enggan, harus turun setiap pagi untuk memesan teh. Namun, ibu kos dan anaknya dengan penuh keramahan mengantarkan teh manis yang lezat. Lama kelamaan, aku yang menjadi penggoda, ketuk pintu dan berkata, "Bu, tehnya ya." Begitulah setiap pagi.
Awalnya, teh itu terlalu manis bagiku, aku kurangi tingkat kemanisannya. Juga, aku lebih suka teh yang tawar. Menikmati kehangatan teh Camelia sinensis yang lembut adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Tubuhku yang kaku dan malas setelah bangun tidur kembali hidup setelah menyeduh teh Camelia sinensis. Maka, aku mulai menjadikan minum teh ini sebagai rutinitas pagi.
Tidak ada yang lengkap tanpa secangkir teh hangat di pagi hari. Aku lebih memilihnya daripada minuman lainnya. Merek apa yang aku suka? Ada beberapa, tapi sejak aku kembali ke kampung halamanku di Situbondo, aku lebih suka membuat teh sendiri. Teh-teh yang aku nikmati selalu terjangkau dan tersedia di swalayan dan toko modern. Pilihan beragam, tapi aku lebih suka teh tubruk. Aku suka aromanya yang kental, terutama ketika melati kering ikut serta dalam kehangatannya. Aku suka menyeruputnya sambil menjelajahi dunia media sosial.
Aku menyebutnya sebagai "teh premium" meskipun hanya teh yang harganya tidak sampai 10ribu rupiah. Sebenarnya Indonesia juga produksi teh Grade A berkualitas terbaik, tapi biasanya yang di pasaran bukan yang premium. Aku pernah wawancara dengan orang yang bekerja di pabrik teh Camelia sinensis di Bandung. Menurutnya, kebanyakan teh Grade A diekspor dan dijual dengan merek asing di luar negeri. Perkebunan teh tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Aku bahkan melihat beberapa teh Camelia sinensis dengan harga yang jauh lebih mahal, karena mereka adalah produk impor. Jelas, kualitasnya lebih baik daripada teh-teh Indonesia di pasaran.
Mencoba inovasi teh daun murbei (Morus alba)
Setiap pagi, aku merasa lebih baik setelah menikmati secangkir teh hangat. Itu sebabnya, aku menjadikannya sebagai kebiasaan pagiku. Namun, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Aku mulai mencari tahu apakah tanaman di sekitarku bisa dijadikan teh. Kemudian aku menemukan postingan teman memanen daun murbei dan mengeringkannya untuk dibuat teh herbal.
Aku mengikuti jejaknya dengan memanen daun murbei di halaman rumahku. Awalnya, aku hanya mencoba teh daun murbei, rasanya unik apalagi saat ditambah sedikit pemanis, rasa tehnya jadi lebih nikmat.
Lama-lama aku malas membuat teh daun murbei karena tampilannya kurang menarik, menyeduh daun murbei utuh yang kering di dalam gelas seperti mencelupkan daun-daun yang jatuh di tanah, terasa kotor. Kurang estetik. Wkwk. Beberapa bulan kemudian, aku mendapat ide untuk mengemasnya dalam kantong teh, tentu menyeduh teh daun murbei lebih menarik. Aku mencari kantong teh di toko online dan membeli yang paling terjangkau. Namun lagi-lagi kantong-kantong teh itu berada di dalam kotak berbulan-bulan tanpa aku sentuh.
Memulai bisnis teh daun murbei, teh daun kelor, dan teh serai
Pada Februari 2023, aku akhirnya memutuskan untuk menjual teh daun murbei (Morus Alba). Karena kontrak kerjaku akan berakhir, aku harus mencari sumber penghasilan tambahan. Tak hanya murbei yang kumanfaatkan, tapi juga kelor (Moringa oleifera) yang tumbuh di halaman. Aku mulai memanen daun murbei dan daun kelor serta membeli serai (Cymbopogon citratus) di pasar.
Aku mengeringkan bahan-bahan tersebut. Untuk membuat teh daun kelor (Moringa oleifera) dan teh serai (Cymbopogon citratus) aku mengiris dengan ukuran lebih kecil agar lebih cepat kering dan tampilannya menarik.
Kemudian aku mengemas semua bahan itu dengan rapi dalam kantong teh. Aku juga sudah menyiapkan kemasan dan label, meskipun masih dalam uji coba. Dan begitulah, bisnisku bernama "lamina tea" lahir. Ya aku berjualan teh daun (Morus Alba), teh daun kelor (Moringa oleifera), dan teh serai (Cymbopogon citratus) awalnya. Hanya saja, karena keterbatasan bahan, produknya tak selalu ada. Yang selalu tersedia adalah teh daun kelor (Moringa oleifera), teh serai (Cymbopogon citratus). Bahannya lebih mudah didapat.
Bulan Maret 2023, aku mulai mendapatkan pelanggan. Alhamdulillah, banyak dari mereka berasal dari Twitter. Namun, setelah akun Twitterku di-suspend, aku kehilangan pangsa pasar itu. Promosi di Instagram tidak seefektif di Twitter, sehingga jumlah pembeli jauh berkurang.
Meskipun begitu, aku tidak terlalu khawatir jika bisnisku tidak berjalan dengan lancar. Aku tetap minum teh daun (Morus Alba), teh daun kelor (Moringa oleifera), teh serai (Cymbopogon citratus), dan teh-teh lainnya setiap hari karena aku suka dan merasakan manfaatnya sebagai suplemen harian. Bahkan jika hari ini aku tidak minum teh, aku akan menggantinya dengan jus buah dan sayur, atau mungkin kopi. Yang pasti, aku selalu berusaha memberi yang terbaik untuk tubuhku, seperti makan lebih banyak buah dan sayur, berolahraga lebih rutin, tidur cukup, dan mengurangi stres. Aku tahu bahwa aku masih belajar, tapi aku berharap bisa menjalani semua ini dengan konsisten. Semoga aku istiqomah...
Comments