Blusukan di Situbondo, Menemukan Bunga Telang
Blusukan ke pinggiran kota Situbondo membuka mataku pada keindahan bunga telang yang bermekaran. Tanaman ini tumbuh liar, dan tanpa disangka, aku mulai panen secara berkala untuk dikeringkan dan diolah menjadi teh bunga telang yang menggoda selera. Selain memenuhi kebutuhan pribadi, perjalanan ini membawa aku pada peluang bisnis teh dedaunan yang tak terduga, lamina tea yang sedang kugeluti saat ini.
Aku, yang sebelumnya hanya gemar membuat minuman dari rempah-rempah dapur, kini menemukan kebahagiaan dalam membuka bisnis lamina tea. Pasokan teh selalu tersedia di rumah, memudahkan aku memilih varian untuk dinikmati setiap pagi. Namun, kisah ini bukan hanya tentang teh, melainkan tentang sebuah penemuan baruku—bunga telang.
Mengubah Sudut Pandang tentang Makanan
Akun TikTok Ayuna's Life sering posting makan bunga edible dan makanan berbasis Alam lain |
Dalam perjalanan eksplorasi ini, teringat sebuah video di akun TikTok Ayuna's Life yang menginspirasi. Seorang perempuan berkacamata dengan kreativitasnya menghadirkan mukbang unik, memakan bunga telang dengan berbagai paduan rasa. Tak hanya bunga telang, tapi juga pare mentah, ujung batang pepaya, kaktus, bunga zinnia, dan lain-lain. Meskipun komentar-komentar negatif menghiasi tanggapannya, hal ini menarik perhatianku pada eksplorasi makanan sehari-hari yang sering diabaikan.
Mengingat zaman dulu, di mana masyarakat menghadapi tantangan hidup dengan mencoba berbagai tanaman, terpikir olehku, kenapa tidak mencoba makan langsung bunga telang? Meski tak sepenuhnya terbebas dari komentar negatif, percobaan ini menjadi bagian dari upaya mengedukasi masyarakat akan keberagaman sumber pangan di sekitar kita.
Sementara kita tenggelam dalam kemudahan mendapatkan makanan di era modern, kita sering melupakan keberadaan bahan-bahan makanan sehat dan murah di sekitar kita. Makanan dari alam, seperti daun bayam dan biji jagung, juga pernah diuji coba oleh nenek moyang kita untuk bertahan hidup. Meski tidak semua cocok di lidah, eksplorasi ini mengingatkan kita pada kekayaan alam sebagai sumber pangan alternatif.
Mengenang zaman penjajahan, di mana kelangkaan mendorong kreativitas dalam memanfaatkan bahan sekitar sebagai makanan, kita belajar bahwa sederhana tidak selalu buruk. Singkong direbus, waluh direbus, atau ubi direbus menjadi cara hemat untuk menyajikan makanan. Saat nasi berlebih, menggorengnya sebagai cemilan adalah langkah bijak dalam mengelola sumber daya.
Apakah Kita Harus Kembali ke Zaman Dulu?
Meskipun zaman sekarang menyajikan beragam makanan enak, terkadang proses pengolahan dan penambahan bahan membuatnya kurang sehat. Kita cenderung mengandalkan indera lidah, menambahkan bahan penyedap, bahkan melebihi batas konsumsi yang seharusnya.
Konsumsi makanan kurang sehat dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai penyakit degeneratif, yang kini juga diderita oleh anak muda. Meskipun penyakit ini dulunya lebih umum di kalangan orang tua, kini merambah generasi muda, menunjukkan perubahan pola konsumsi yang perlu diperhatikan.
Mengedukasi orang mengenai gaya hidup sehat memang sulit, terutama bagi yang terbiasa dengan konsumsi junk food dan fast food. Aku pun tidak luput dari kesukaan akan makanan cepat saji. Namun, sulitnya ini tidak menyurutkan langkah untuk terus memberikan informasi mengenai keberagaman sumber pangan alami.
Mengedukasi Gaya Hidup Sehat Berbasis Alam
Suka dibilang "kayak Suzanna" karena memanfaatkan bunga telang, bunga melati, dan bunga zinnia yang kupetik dari halaman |
Kebetulan, ketertarikan aku pada hal-hal berbasis alam, didukung latar belakang sebagai lulusan Biologi, memberikan daya tarik tersendiri. Di media sosial, aku aktif mengikuti konten-konten berkebun, biologi, wildlife, dan sejenisnya. Semakin banyak informasi yang aku peroleh, semakin banyak pula yang aku pelajari, seperti buah pare yang tidak pahit ketika dikonsumsi langsung, kaktus yang dapat dimakan, atau bahkan pucuk batang pepaya yang kulitnya dikupas enak dimakan.
Postingan mengenai hal-hal ini di media sosial menjadi cara aku untuk memberi tahu teman-teman. Ketika aku berbagi bahwa pare mentah tidak pahit, ada yang tidak percaya dan menganggap itu sebagai lelucon. Namun, beberapa dari mereka akhirnya mencoba dan menyadari kebenarannya.
Pucuk batang pepaya sangat enak dimakan, tidak pahit |
Saat aku membuat review makanan bunga seperti zinnia, melati, dan bunga telang, komentar yang aku terima tidak jauh berbeda. Meskipun respon negatif mungkin tak terhindarkan, aku tetap berharap dapat mengubah sudut pandang orang terdekat bahwa mengonsumsi bunga-bunga edibel adalah hal yang wajar dan dapat memberikan manfaat kesehatan yang luar biasa jika dijadikan bagian dari rutinitas konsumsi kita.
Menjadikan Bunga Telang sebagai Pengganti Sayur di Piring
Bunga telang menjadi pendamping makan siangku |
Sambil menutup cerita ini, aku merasa berbagi pengalaman mengonsumsi bunga telang sebagai pengganti sayur adalah langkah kecil menuju hidup yang lebih sehat. Rutinitas sebulan ini membuktikan bahwa adaptasi terhadap rasa yang awalnya aneh dapat membawa manfaat positif bagi kesehatan, terutama ketika dikombinasikan dengan sambal lezat buatan ibu.
Meski terkadang malas memanen karena kehadiran tamu atau situasi ramai di luar, bunga telang yang tumbuh di halaman selalu menanti untuk dipetik. Sebuah kebiasaan kecil yang menjadi bagian dari hidup sehari-hari.
Selain rasa yang unik, manfaat bunga telang juga tak bisa diabaikan. Kandungan antosianin di dalamnya, senyawa organik yang memberikan warna ungu pada bunga ini, membawa manfaat besar sebagai penangkal radikal bebas. Bukan hanya untuk menjaga kesehatan, tapi juga mencegah berbagai penyakit serius seperti kanker, jantung koroner, diabetes, dan lainnya.
Jadi, ketika aku menikmati secangkir teh bunga telang atau menyantap hidangan dengan bunga ini, aku merasa memberi nutrisi alami pada tubuh. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan untuk mengedukasi masyarakat akan keberagaman sumber pangan alam yang dapat diandalkan.
Mempersiapkan Masa Depan yang Tak Pasti
Melihat ke depan, kita menyadari bahwa dalam situasi ketidakpastian seperti teknologi yang musnah, huru hara, atau bencana alam, satu-satunya yang dapat kita andalkan adalah alam. Maka, sudah saatnya kita mulai mengeksplorasi, memperbanyak tanaman, memberikan edukasi pada masyarakat, dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita bisa lebih siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan, sambil tetap menjaga keseimbangan dengan alam.
Comments